Berita

Dosen UIN Raden Mas Said Surakarta, Bakhrul Amal/RMOL

Publika

Parpol Dalam Kacamata Gen Z dan Milenial

OLEH: BAKHRUL AMAL*
SELASA, 13 JUNI 2023 | 17:25 WIB

AKSARA Research and Consulting menyebutkan bahwa partisipasi gen z dan milenial, kategori usia 17-39, terhadap Pemilu cukup tinggi. Hampir 70 persen lebih gen z dan milenial mengaku akan menggunakan hak pilihnya pada Pemilu 2024 mendatang.

Akan tetapi partisipasi yang tinggi tersebut berbanding terbalik dengan ketertarikan mereka untuk terlibat ke dalam partai politik. Dari seluruh responden, yang tentu berisi gen z dan milenial, hanya 13,6 persen dari mereka yang tertarik untuk masuk ke dalam partai politik.

Padahal jika kita urai lebih jauh keterlebitan di dalam politik pada hari ini tidak cukup hanya dimaknai ikut memilih. Meskipun dalam konteks Pemilu, pemilih merupakan salah satu bagian dari dua aktor politik lainnya (kontestan dan penyelenggara pemilu). Berpolitik haruslah tuntas, atau dalam arti yang lebih lugas, harus terlibat ke dalam partai politik.

Perlunya terlibat jauh di dalam politik, dengan masuk menjadi bagian kader Partai Politik, dikarenakan oleh kenyataan bahwa jabatan-jabatan publik, dalam kategori tertentu seperti Kepala Negara (Pasal 6A ayat (2) UUD 1945), Pemimpin Daerah (Pasal 1 angka (3) dan (4) UU 1/2015), hingga Anggota Legislatif (Pasal 22E ayat (3) UUD 1945), adalah jabatan yang ditempati oleh orang-orang yang wajib dan kudu melalui usulan Partai Politik. Beberapa Menteri pun dipilih berdasarkan pertimbangan koalisi Partai Politik.

Dengan Jabatan Publik tersebut, baik sebagai Pejabat Negara maupun Pejabat Pemerintahan, ide  dan gagasan tidak sekadar terbang bersama angin tetapi dapat segera direalisasikan. Sebagai contoh kebijakan Dana Desa, kebijakan Merdeka Belajar, kebijakan tentang BPJS, kebijakan afirmasi kepada kalangan disabilitas, dan lain sebagainya adalah kebijakan yang hanya dapat dilakukan oleh tangan-tangan Pejabat Publik.

Kerugian Gen Z dan Milenial

Keengganan gen z dan milenial untuk masuk ke dalam partai politik, pada era sekarang, dapat dikatakan sebagai sebuah kerugian. Jumlah suara yang besar, yang hampir kurang lebih mencapai posisi 60 persen dari keseluruhan pemilih, menjadi berhamburan tanpa arah. Bahkan terkesan percuma karena pada akhirnya yang harus duduk dan terpilih adalah "loe lagi, loe lagi" atau person yang kadang justru memperoleh kritik keras gen z dan milenial tiap periodenya.

Faktor Realitas
Di sisi yang lain gen z dan milenial juga tidak dapat sepenuhnya dipersalahkan atas kondisi yang paradoks ini. Sistem yang ada, baik aturan perundang-undangan maupun kebijakan internal partai politik, perlu diakui memang belum bisa secara utuh mengakomodasi karakteristik gen z dan milenial. Belum ramah terhadap gen z dan milenial yang cenderung berpikir lebih praktis dan pasti.

Risiko Pekerjaan

Gen z dan milenial, dari sisi aturan perundang-undangan, dipaksa untuk berpikir dua kali manakala ingin terlibat di dalam partai politik. Risiko paling jelas yang akan dialami oleh mereka manakala terlibat di dalam Partai Politik adalah kehilangan beberapa kesempatan pekerjaan.

Pekerjaan seperti ASN, PPPK, Komisioner Lembaga Negara, hampir dipastikan tidak bisa mereka peroleh karena secara administrasi pekerjaan-pekerjaan itu mensyaratkan calon pegawainya tidak terlibat di dalam Partai Politik.

Kekhawatiran selanjutnya bagi mereka ketika terlibat partai politik adalah dampak tak terlihat, invisible hand, pada karier atau usaha yang sedang dirintisnya. Budaya sentimen sebab berbeda baju partai yang dipertontonkan di televisi membuat mereka ragu untuk terlibat bahkan menjadi kader partai politik.

Persaingan Tidak Sehat

Selain karena aturan perundang-undangan, gen z dan milenial juga memandang politik di internal Partai Politik belum bisa dikatakan fair. Orientasi partai politik yang cenderung lebih mengedepankan pada orientasi hasil daripada orientasi kader juga membuat mereka merasa hanya membuang waktu dan tenaga manakala berada di dalam Partai Politik.

Kenyataan itu selaras dengan data yang disuguhkan oleh August Mellaz, Komisioner KPU RI, yang menyebutkan bahwa saat ini hanya ada 32 persen gen z dan milenial yang percaya terhadap partai politik.  

Mereka tidak mengetahui pasti tentang keuntungan mereka masuk ke dalam Partai Politik, tentang kapan dan apa ukuran seseorang diusulkan menjadi perwakilan eksekutif ataupun legislatif oleh partai politik dalam Pemilu. Fenomena dicalonkannya beberapa artis atau public figure yang tidak tercatat pengabdiannya terhadap partai dan tidak jelas kapasitas serta kapabilitasnya membuat mereka semakin skeptis. Terlebih bagi mereka yang merasa bukan 'sultan', tidak populer dan tidak memiliki garis keturunan atau kedekatan dengan pimpinan partai politik.

Rekomendasi Perubahan

Sesuai dengan jargon bahwa "sesuatu itu harus disusun berdasarkan pada kondisi dan situasi zaman" maka rasanya perlu ada hal-hal yang diubah dalam aturan perundang-undangan maupun sistem internal partai politik. Perubahan ini dilakukan agar gen z dan milenial, selaku pemilik masa depan, dapat terlibat lebih jauh dalam Partai Politik untuk kemudian turut menentukan kebijakan yang nantinya akan berdampak bagi mereka juga di kemudian hari.

Perubahan itu bisa dimulai dengan lebih mempermudah syarat dan resiko atas keterlibatan mereka di dalam partai politik. Hal-hal yang bersifat formalitas tidak perlu sampai menimbulkan dampak personal yang berkepanjangan.

Selanjutnya juga perlu dilakukan pembenahan internal di dalam partai politik untuk lebih mengedepankan persaingan berdasarkan meritokrasi sehingga memunculkan kompetisi yang sehat antar kader di dalamnya. Seperti syarat pengusulan dilihat dari lima aspek yang wajib dipenuhi yakni kemampuan intelektual, elektoral, manajerial, spiritual, maupun yudisial.

Perubahan yang nantinya dilakukan ini diharapkan mampu membawa kesegaran dalam dunia politik kita di masa mendatang. Dunia politik yang komunikasinya dapat menghubungkan antara pesan dan harapan dalam sebuah kebijakan. Dunia politik yang maslahat, yang penuh keriangan dan kegembiraan.

*Penulis adalah Dosen UIN Raden Mas Said Surakarta

Populer

Bangun PIK 2, ASG Setor Pajak 50 Triliun dan Serap 200 Ribu Tenaga Kerja

Senin, 27 Januari 2025 | 02:16

Gara-gara Tertawa di Samping Gus Miftah, KH Usman Ali Kehilangan 40 Job Ceramah

Minggu, 26 Januari 2025 | 10:03

Viral, Kurs Dolar Anjlok ke Rp8.170, Prabowo Effect?

Sabtu, 01 Februari 2025 | 18:05

KPK Akan Digugat Buntut Mandeknya Penanganan Dugaan Korupsi Jampidsus Febrie Adriansyah

Kamis, 23 Januari 2025 | 20:17

Prabowo Harus Ganti Bahlil hingga Satryo Brodjonegoro

Minggu, 26 Januari 2025 | 09:14

Datangi Bareskrim, Petrus Selestinus Minta Kliennya Segera Dibebaskan

Jumat, 24 Januari 2025 | 16:21

Masyarakat Baru Sadar Jokowi Wariskan Kerusakan Bangsa

Senin, 27 Januari 2025 | 14:00

UPDATE

Karyawan Umbar Kesombongan Ejek Pasien BPJS, PT Timah Minta Maaf

Minggu, 02 Februari 2025 | 15:37

Sugiat Santoso Apresiasi Sikap Tegas Menteri Imipas Pecat Pelaku Pungli WN China

Minggu, 02 Februari 2025 | 15:30

KPK Pastikan Tidak Ada Benturan dengan Kortastipikor Polri dalam Penanganan Korupsi LPEI

Minggu, 02 Februari 2025 | 15:27

Tabung Gas 3 Kg Langka, DPR Kehilangan Suara?

Minggu, 02 Februari 2025 | 15:10

Ken Martin Terpilih Jadi Ketum Partai Demokrat, Siap Lawan Trump

Minggu, 02 Februari 2025 | 14:46

Bukan Main, Indonesia Punya Dua Ibukota Langganan Banjir

Minggu, 02 Februari 2025 | 14:45

Larangan LPG di Pengecer Kebijakan Sangat Tidak Populis

Minggu, 02 Februari 2025 | 14:19

Smart City IKN Selesai di Laptop Mulyono

Minggu, 02 Februari 2025 | 13:59

Salah Memutus Status Lahan Berisiko Besar Buat Rakyat

Minggu, 02 Februari 2025 | 13:45

Hamas Sebut Rencana Relokasi Trump Absurd dan Tidak Penting

Minggu, 02 Februari 2025 | 13:26

Selengkapnya