Berita

Menteri Keuangan Sri Mulyani/Net

Publika

Pernyataan Sri Mulyani, Utang Meningkatkan Ekonomi: Penyesatan dan Pembodohan Publik

OLEH: ANTHONY BUDIAWAN*
MINGGU, 04 JUNI 2023 | 21:14 WIB

DALAM rapat kerja dengan Badan Anggaran (Banggar) DPR (30/5), Menteri Keuangan Sri Mulyani memberi pernyataan mengejutkan.


Sri Mulyani mengatakan, kenaikan utang Indonesia terbukti efektif, membuat pertumbuhan ekonomi lebih tinggi dari pertumbuhan utang. Sebagai bukti, Sri Mulyani memberi ilustrasi, untuk periode 2018-2022, setiap 1 dolar utang membuat pertumbuhan ekonomi naik 1,34 dolar AS.


Anggota Banggar manggut-manggut. Tidak ada yang komentar. Seperti kena hipnotis.


Pernyataan Sri Mulyani tersebut, dalam kapasitasnya sebagai Menteri Keuangan, sangat bahaya. Karena bermakna penyesatan, pembodohan dan pembohongan kepada publik, khususnya secara langsung kepada anggota Banggar DPR.


Sri Mulyani menyatakan, seolah-olah, ada korelasi langsung antara defisit anggaran atau utang terhadap pertumbuhan ekonomi. Dalam bahasa ekonomi, seolah-olah, ada efek multiplier antara utang dan pertumbuhan ekonomi sebesar 1,34.


Ada empat alasan, pernyataan Sri Mulyani tersebut menyiratkan penyesatan, pembodohan serta pembohongan publik.


Ada empat alasan, pernyataan Sri Mulyani tersebut menyiratkan penyesatan, pembodohan serta pembohongan publik.


Pertama, ekonomi terdiri dari dua sisi, yaitu sisi supply (produksi) dan sisi demand (permintaan atau konsumsi).


Sisi permintaan terdiri dari empat komponen, yaitu konsumsi masyarakat (C), investasi (I), belanja negara (G), dan ekspor dikurangi impor (E-M).


Dalam notasi: Y = C + I + G + (E-M). Teori demand ini dikembangkan oleh ekonom terkenal asal Inggris, John Maynard Keynes. Keynes berargumen, kalau konsumsi masyarakat (C) turun, maka harus dikompensasikan dengan kenaikan Belanja Negara (G), yaitu melalui defisit anggaran, atau stimulus fiskal, untuk menahan ekonomi agar tidak anjlok dan masuk resesi lebih dalam.


Keynes memberi contoh, kesalahan kebijakan pada saat depresi besar tahun 1930-an karena pemerintah tidak memberi stimulus fiskal cukup memadai, sehingga membuat ekonomi global mengalami depresi berkepanjangan.


Sebaliknya, ketika ekonomi “memanas”, artinya konsumsi masyarakat naik pesat, pemerintah harus mengurangi Belanja Negara, agar tidak terjadi hiperinflasi. Artinya, pemerintah harus menjalankan kebijakan destimulus fiskal, atau kontraksi, melalui surplus anggaran. Dalam hal ini, tanpa utang, ekonomi juga bertumbuh.


Jadi ini alasan pertama, pernyataan Sri Mulyani tersebut menyesatkan publik, dan membodohi anggota Banggar.


Dalam notasi persamaan ekonomi menurut Keynes, tidak ada korelasi langsung antara utang (defisit anggaran) dengan pertumbuhan ekonomi.


Kedua, sisi supply ekonomi, dinyatakan dengan Y, terdiri dari Harga dikali Kuantitas: Y = P x Q. Dalam resesi, Harga (atau general price index) dan kuantitas produksi tertekan. Sehingga ekonomi (Y) tertekan.


Stimulus fiskal berupaya menahan agar kuantitas produksi (Q), dan harga, tidak anjlok. Tetapi, tidak cukup. Maka itu, hampir semua Bank Sentral dunia menjalankan kebijakan stimulus moneter, menurunkan suku bunga, dan sekaligus membanjiri likuiditas melalui quantitative easing. Kebijakan ini bersifat inflationary, dan memicu inflasi.


Ini yang terjadi di masa pandemi. Kebijakan moneter global, penuriammo suku bunga hingga 0 persen serta quantitative easing, memicu harga komoditas dan inflasi global naik tajam, dan membuat ekonomi (PDB) dalam nilai nominal naik. Terutama bagi negara produsen komoditas seperti Indonesia.


Oleh karena itu, membandingkan kenaikan PDB nominal antar negara, khususnya negara produsen komoditas seperti Indonesia dengan negara non-produsen komoditas seperti India, seperti disampaikan Sri Mulyani dalam rapat bersama Banggar DPR, sangat tidak relevan.


Yang membuat PDB nominal naik bukan karena utang, tetapi karena kebijakan moneter inflationary.


Ketiga, mengikuti logika Sri Mulyani, rasio kenaikan PDB nominal “akibat” utang, di pemerintahan Jokowi sangat rendah dibandingkan dengan pemerintahan SBY, seperti terlihat di tabel 1, tabel 2 dan tabel 3.


Untuk periode 2004-2009, rasio kenaikan PDB terhadap utang sangat tinggi 11,31: setiap kenaikan satu rupiah utang, “membuat” PDB nominal naik 11,31 rupiah. Rasio ini jauh lebih besar dari rasio di pemerintahan Jokowi. Rasio pada periode 2014-2019 hanya 2,64. Dan rasio pada periode 2019-2022 hanya 1,27.


Artinya, Jokowi dan Sri Mulyani gagal?


Terakhir, keempat, Sri Mulyani seharusnya membandingkan kenaikan PDB nominal dengan kenaikan utang, dalam persentase, seperti pada tabel 3. Ternyata, rasio ini pada periode 2019-2022 sangat rendah, hanya 0,38. Artinya, setiap kenaikan 1 persen utang hanya membuat PDB nominal naik 0,38 persen. Sedangkan di periode 2004-2009, setiap kenaikan 1 persen utang membuat PDB nominal naik 6,37 persen.


Rasio ini juga menunjukkan Jokowi dan Sri Mulyani gagal?


Tetapi, Sri Mulyani berusaha menutupi kegagalan ini dengan penyesatan opini kepada publik, dan sekaligus melakukan pembodohan dan pembohongan kepada publik dan anggota Banggar DPR?


*Penulis adalah Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies)


Populer

Bobby dan Raja Juli Paling Bertanggung Jawab terhadap Bencana di Sumut

Senin, 01 Desember 2025 | 02:29

NU dan Muhammadiyah Dikutuk Tambang

Minggu, 30 November 2025 | 02:12

Padang Diterjang Banjir Bandang

Jumat, 28 November 2025 | 00:32

Sergap Kapal Nikel

Kamis, 27 November 2025 | 05:59

Peluncuran Tiga Pusat Studi Baru

Jumat, 28 November 2025 | 02:08

Bersihkan Sisa Bencana

Jumat, 28 November 2025 | 04:14

Evakuasi Banjir Tapsel

Kamis, 27 November 2025 | 03:45

UPDATE

Puan Harap Korban Banjir Sumatera Peroleh Penanganan Baik

Sabtu, 06 Desember 2025 | 02:10

Bantuan Kemensos Telah Terdistribusikan ke Wilayah Aceh

Sabtu, 06 Desember 2025 | 02:00

Prabowo Bantah Rambo Podium

Sabtu, 06 Desember 2025 | 01:59

Pansus Illegal Logging Dibahas Usai Penanganan Bencana Sumatera

Sabtu, 06 Desember 2025 | 01:39

BNN Kirim 2.000 Paket Sembako ke Korban Banjir Sumatera

Sabtu, 06 Desember 2025 | 01:18

Bahlil Sebut Golkar Bakal Dukung Prabowo di 2029

Sabtu, 06 Desember 2025 | 01:03

Banjir Sumatera jadi Alarm Keras Rawannya Kondisi Ekologis

Sabtu, 06 Desember 2025 | 00:56

UEA Berpeluang Ikuti Langkah Indonesia Kirim Pasukan ke Gaza

Sabtu, 06 Desember 2025 | 00:47

Media Diajak Kawal Transformasi DPR Lewat Berita Berimbang

Sabtu, 06 Desember 2025 | 00:18

AMAN Raih Dua Penghargaan di Ajang FIABCI Award 2025

Sabtu, 06 Desember 2025 | 00:15

Selengkapnya