Berita

Penulis adalah Dosen Fakultas Syariah UIN Raden Mas Said Surakarta/RMOL

Publika

Pemilu dan Tantangan Integrasi Bangsa

OLEH: BAKHRUL AMAL*
SENIN, 29 MEI 2023 | 00:21 WIB

PEMILIHAN Umum seringkali dinilai sebagai salah satu sarana integrasi bangsa. Klaim tersebut muncul oleh sebab di dalam Pemilihan Umum seluruh entitas berkumpul menjadi satu. Tidak hanya satu dalam satu kesatuan negara tetapi juga satu dalam satu kesatuan tujuan untuk menentukan apa yang dinilai baik oleh bangsa ini ke depan.

Klaim tersebut sah-sah saja untuk diucapkan. Tidak ada yang keliru. Sebab memang benar adanya bahwa Pemilihan Umum adalah ruang konsolidasi terbesar rakyat untuk menggapai cita-cita bersama.

Akan tetapi di dalam kenyataannya, harapan terhadap Pemilihan Umum itu tidak selalu selaras dengan tujuan yang ideal. Di berbagai negara Pemilihan Umum seringkali ditengarai menjadi pemicu disintegrasi bangsa. Momen kerusakan yang ditimbulkan pun tak selesai sehari, sebulan bahkan setahun tetapi mengkarat hingga bertahun-tahun.

Kita bisa mengambil contoh pengalaman buruk itu dari setidaknya tiga negara. Pertama Pemilihan Umum di Myanmar, selanjutnya di India, dan terakhir Kenya.

Myanmar

Pada akhir tahun 2020 Myanmar menyelenggarakan Pemilihan Umum. Hasilnya adalah Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD), Pimpinan Aung San Suu Kyi, menang telak. Mereka memperoleh kursi parlemen hingga 346.

Kemenangan itu lantas menuai protes dari partai lain yang diketahui terafiliasi dengan Junta Militer. Oposisi, dalam rilis protesnya, menilai perlu ada Pemilihan Umum ulang di Myanmar.

Protes tersebut kemudian menjadi liar dan tak lagi substansial. Alhasil, di awal tahun 2021, bukan Pemilihan Umum ulang yang terjadi tetapi justru kudeta oleh Junta Militer.

Dampak akibat kudeta tersebut adalah demonstrasi besar-besaran yang membenturkan tentara dengan rakyat. Aturan yang represif pun bermunculan. Sampai pada titik klimaksnya adalah Aung San Suu Kyi ditahan dan kini partainya, Partai NLD, dibubarkan.

India
Meskipun terdengar harum, nyatanya kemenangan Modi dalam Pemilihan Umum di India tidaklah bisa dinilai sempurna, terlebih menyoal sentimen agama di India. Hal tersebut sebenarnya telah terlihat manakala Modi merilis film biopik berjudul "PM Narendra Mondi" menjelang Pemilihan Umum di tahun 2019.

Film biopik Modi memang terkesan natural. Alur ceritanya pun jika disimak amatlah umum. Kurang lebihnya sama seperti film biopik pada umumnya, yakni menggambarkan masa kecilnya sang tokoh hingga menjadi sukses.

Akan tetapi jika kita hendak mencermati lebih dalam, sesungguhnya film ini menyisipkan beberapa adegan penuh propaganda. Salah satunya adalah adegan yang mengungkit tragedi pembakaran kereta api di Gujarat, atau tragedi Ghodra 2002. Sebab pada tahun 2011, melalui proses sidang yang kontroversial, tragedi yang menewaskan 59 peziarah Hindu tersebut diputuskan dilakukan oleh 31 Muslim hanya berdasarkan laporan Komisi Nanavati-Mehta.

Kepemimpinan Modi saat ini, tepatnya pasca mundurnya Naqvi di tahun 2022, menjadi pemeritahan yang nol perwakilan muslim di parlemen. Selain itu beberapa politisi dari Partai Bharatiya Janata (BJP), atau partai pengusung Modi, beberapa kali melontarkan statemen anti-Islam. Ini catatan sejarah yang memilukan bagi India. Slogan partai Modi yang berbunyi "sabka saath, sabka vikas" (harmoni dan pertumbuhan inklusif bagi semua) bahkan dianggap omong kosong oleh beberapa politisi.

Kenya

Kenya juga menjadi salah satu negara yang pernah kacau balau karena Pemilihan Umum. Hal itu terjadi selepas kemenangan Presiden Mwai Kibaki pada Pemilu tahun 2007.

Pada waktu itu perang dan kekerasan etnis terjadi di berbagai kota. Jumlah korban pun berjatuhan dari mulai terluka, tewas hingga kehilangan tempat tinggal.

Akhirnya barulah pada tahun 2008 perang tersebut mereda. Kofi Annan, yang pada waktu menjabat sebagai Sekjen PBB, membuat kesepakatan unik yang terkesan membagi jalan tengah kekuasaan. Melalui UU Kesepakatan dan Rekonsiliasj Nasional tahun 2008 diputuskan Presiden tetap Kibaki sementara lawan politiknya Odinga menjadi Perdana Menteri.

Penutup

Fakta di atas hanyalah sebagian kecil dari cerita-cerita lainnya perihal disintegrasi pasca Pemilihan Umum di berbagai negara. Semua hal itu perlu dicermati dan diantisipasi agar tidak menjadi "bom waktu" bagi Indonesia. Mengingat Indonesia adalah negara besar dengan jumlah keragaman suku, budaya, dan agama yang besar pula, yang itu sangat mungkin digunakan untuk permainan kepentingan kontestasi.

Jika kita cermati, baik di Myanmar, India, maupun Kenya, semuanya hancur dan lemah karena masing-masing kelompok di negara tersebut berhasil dibenturkan dengan pola politik divide et impera. Akhirnya satu sama lainnya merasa perlu memperjuangkan sesuatu yang semu, atas dasar rasa cemburu dan perlakuan yang tidak adil, dengan cara yang ekstrem.

Oleh sebab itu hal tersebut perlu diantisipasi betul agar niat menjadikan Pemilihan Umum sebagai sarana integrasi bangsa dapat terwujud. Adapun langkah antisipatif yang bisa dilakukan terdiri dari tiga cara.

Pertama adalah dengan membangun komitmen bersama antar tiga aktor Pemilihan Umum yang terdiri dari penyelenggara, peserta dan pemilih. Komitmen yang dibangun oleh ketiganya adalah menjunjung tinggi semangat kesetaraan, konstitusi, dan supremasi hukum.

Selanjutnya perlu juga dilakukan kajian yang menghasilkan analisis indeks kerawanan Pemilu di berbagai daerah. Sembari melakukan analisis, dilakukan pula tindakan nyata dengan merangkul aktor-aktor utama (ulama, tokoh masyarakat, influencer dan lainnya), di luar aktor Pemilu, untuk terlibat dalam melakukan sosialisasi pentingnya persatuan pada masa kampanye, pelaksanaan Pemilu, maupun pasca Pemilu.

Terakhir, hal yang tak kalah pentingnya, adalah mendorong, mengawal, serta mengawasi bersama agar pelaksanaan prinsip Pemilihan Umum secara Luberjurdil itu dilaksanakan sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Dimana setiap kekeliruannya tidak diselesaikan dengan cara "adat" atau cara "main hakim sendiri" tetapi harus dipertanggungjawabkan di hadapan hukum.
*Penulis adalah Dosen Fakultas Syariah UIN Raden Mas Said Surakarta

Populer

Bangun PIK 2, ASG Setor Pajak 50 Triliun dan Serap 200 Ribu Tenaga Kerja

Senin, 27 Januari 2025 | 02:16

Gara-gara Tertawa di Samping Gus Miftah, KH Usman Ali Kehilangan 40 Job Ceramah

Minggu, 26 Januari 2025 | 10:03

Viral, Kurs Dolar Anjlok ke Rp8.170, Prabowo Effect?

Sabtu, 01 Februari 2025 | 18:05

KPK Akan Digugat Buntut Mandeknya Penanganan Dugaan Korupsi Jampidsus Febrie Adriansyah

Kamis, 23 Januari 2025 | 20:17

Prabowo Harus Ganti Bahlil hingga Satryo Brodjonegoro

Minggu, 26 Januari 2025 | 09:14

Datangi Bareskrim, Petrus Selestinus Minta Kliennya Segera Dibebaskan

Jumat, 24 Januari 2025 | 16:21

Masyarakat Baru Sadar Jokowi Wariskan Kerusakan Bangsa

Senin, 27 Januari 2025 | 14:00

UPDATE

Karyawan Umbar Kesombongan Ejek Pasien BPJS, PT Timah Minta Maaf

Minggu, 02 Februari 2025 | 15:37

Sugiat Santoso Apresiasi Sikap Tegas Menteri Imipas Pecat Pelaku Pungli WN China

Minggu, 02 Februari 2025 | 15:30

KPK Pastikan Tidak Ada Benturan dengan Kortastipikor Polri dalam Penanganan Korupsi LPEI

Minggu, 02 Februari 2025 | 15:27

Tabung Gas 3 Kg Langka, DPR Kehilangan Suara?

Minggu, 02 Februari 2025 | 15:10

Ken Martin Terpilih Jadi Ketum Partai Demokrat, Siap Lawan Trump

Minggu, 02 Februari 2025 | 14:46

Bukan Main, Indonesia Punya Dua Ibukota Langganan Banjir

Minggu, 02 Februari 2025 | 14:45

Larangan LPG di Pengecer Kebijakan Sangat Tidak Populis

Minggu, 02 Februari 2025 | 14:19

Smart City IKN Selesai di Laptop Mulyono

Minggu, 02 Februari 2025 | 13:59

Salah Memutus Status Lahan Berisiko Besar Buat Rakyat

Minggu, 02 Februari 2025 | 13:45

Hamas Sebut Rencana Relokasi Trump Absurd dan Tidak Penting

Minggu, 02 Februari 2025 | 13:26

Selengkapnya