Ditulis untuk bahan diskusi buku Sarwono Kusumaatmadja Memoar Menapak Koridor Tengah yang diselenggarakan DPD Golkar DKI
Melintas Waktu 17 Juli 1971 ke 17 Juli 2019
SUNGGUH suatu kesempatan yang baik, hari ini 17 Juli 2019 saat diselenggarakan diskusi buku Sarwono Kusumaatmadja Memoar
Menapak Koridor Tengah bertepatan dengan catatan sejarah bahwa pada tanggal 17 Juli 1971 Golkar mengukuhkan diri menjadi nama baru sebagai organisasi politik non parpol yang merujuk kepada ketetapan MPRS setelah Pemilu 1971 yang hendak menata kehidupan berpolitik yang sebelumnya masih bernama Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar) yang dibentuk pada 20 Oktober 1964 oleh para Jenderal ABRI bersama ratusan organisasi masyarakat.
Diskusi buku ini menjadi relevan dan penting, mengingat pada saat ini Golkar hendak mempersiapkan diri menghadapi Munas dan kaitan Golkar dalam perpolitikan nasional. Buku ini dapat menjadi rujukan sejarah bagi kader Golkar maupun masyarakat pada umumnya.
Golkar adalah organ politik yang telah bertransformasi mengikuti dinamika perkembangan politik bangsa, awalnya sebagai Sekretariat Bersama, berubah menjadi Golkar dan kini menjadi Partai Golkar. Pada tiap zaman apabila terjadi perubahan, tentu muncul hikmah yang bisa diambil sebagai pelajaran bagi tiap generasi.
Setelah melalui masa kejayaan Golkar selama 32 tahun, diawali dengan tahun-tahun awal konsolidasi kekuatan politik nasional, masa madya mengukuhkan kekuatan pembangunan yang sesungguhnya dan akhirnya masuk masa akhir, masa kejatuhannya pada tahun 1998.
Partai Golkar pada era reformasi ditinggalkan para kadernya, apakah karena mereka kembali ke akar politik aliran mereka dengan memilih partai lain atau kader-kader Partai Golkar mendirikan partai politik baru dengan modal sosial ideologi dan modal jaringan kegolkaran, paling tidak sudah ada 8 partai baru dari pecahan Golkar yang mengisi ruang kontestasi politik nasional.
Hari ini, Golkar masih mampu bertahan sebagai pemenang kedua Pemilu 2019. Diharapkan ke depan Golkar harus mampu mengambil pelajaran penting untuk mempersiapkan diri menjadi pemenang pada pemilu 2024 mendatang, dan diskusi kali ini adalah cara kita berefleksi pada pengalaman dan catatan sejarah perjalanan Golkar dari masa ke masa.
Jejak Aktivisme SarwonoAktivisme mahasiswa dari masa ke masa adalah cerita idealisme dan perjuangan membela kebenaran, situasi sosial politik kemasyarakatan menjadi kondisi obyektif yang merembet ke antena subyektif para mahasiswa untuk bergerak melakukan sesuatu perubahan ke arah yang lebih baik.
Sarwono dan juga generasi aktivis pergerakan lainnya terpanggil jiwa dan raganya untuk tampil ke tengah-tengah problematika bangsa. Pada masa mahasiswa itulah Sarwono belajar baik sebagai mahasiswa sekaligus sebagai anak bangsa terjun langsung di tengah-tengah pergolakan politik nasional yang hingar-bingar.
Karakter personal Sarwono yang tenang, kalem, cerdas cenderung nyeleneh membuat dia tidak tertarik pada sudut ekstrem, lebih memilih di tengah, pengalaman masuk PMB (Perkumpulan Mahasiswa Bandung) misalnya, organisasi ekstra kampus Bandung yang populer pada masanya.
PMB mengukuhkan diri sebagai organisasi kemahasiswaan jalan tengah, karena pada masa itu pengkutuban ideologi sangat keras, dari kubu kiri jauh beraliran komunisme dan kubu kanan jauh beraliran Islam.
Nah, PMB dan Sarwono tidak kekanan tidak ke kiri, dengan slogan khas yang masih bergaung sampai sekarang, politik, pesta dan cinta, anggota PMB dikenal sebagai kalangan sosialita Bandung dengan aktivitas pesta dan dansa penuh kreativitas.
Eksistensi keaktivisan Sarwono adalah saat dia terpilih menjadi Ketua Dewan Mahasiswa ITB, periode Dewan Mahasiswa itu 1 tahun, dalam waktu 1 tahun itulah Sarwono menunjukkan kerja-kerja kepemimpinan sekaligus kerja-kerja keorganisasian, 2 peninggalan dari masa beliau yang saya ingat, mendirikan PSIK (Perkumpulan Studi Ilmu Kemasyarakatan) dan membangun
student center karena di 2 tempat itu juga saya sebagai mahasiswa ITB beraktivitas kemahasiswaan, menapaki jalan aktivisme yang dulu pernah dibuka Sarwono.
Birds of the same feathers flock together, and when they flock together they fly so high.Mereka kemudian menjadi kekuatan nyata atas solidaritas sesama anggota, kemampuan individual yang beragam dan panggilan jiwa perjuangan mereka bersatu menjadi aktivis mahasiswa Bandung, mahasiswa Indonesia yang militan menggalang perlawanan kepada rezim tua, rezim Orla.
Tahun 1966 mahasiswa bersama tentara berhasil menggulingkan rezim Orla. Tentara mengajak barisan aktivis memulai tatanan politik baru melawan rezim retorika dengan kerja.
Sarwono dan kawan-kawan perjuangannya sebagai mahasiswa angkatan 66 menjadi salah satu stakeholder utama Orba, bersinergi dengan militer mewakili suara perubahan dan suara anak muda di parlemen, menjadi anggota DPR saat usia muda perwakilan Jawa Barat yang didukung penuh oleh Pangdam Siliwangi saat itu.
Sarwono yang berlatar belakang pendidikan jurusan teknik tentu galau antara memilih pekerjaan yang sesuai pendidikan atau terjun ke dalam dunia politik yang telah menjadi keseharian hidupnya sejak masa kecil.
Sejarah kemudian mencatat, akhirnya Sarwono memilih mengabdikan diri nyemplung langsung ke dalam dunia perpolitikan nasional hingga kini.
Sarwono muda yang cekatan, idealis, dan cerdas tampil menonjol, paling tidak begitu menurut sebagian elite kekuasaan saat itu. Benny Murdani-lah yang ditugaskan memantau pergerakan Sarwono muda, yang menurut pengakuan sang Jenderal itu bahwa dia diperintah oleh Sang Jenderal besar Suharto.
Tidak mengherankan, latar belakang Sarwono bisa dikatakan lengkap pada masa itu untuk dapat dijadikan tokoh muda nasional, anak Jakarta, lulusan sekolah menengah Inggris, besar dalam keluarga berjejaring aktivisme politik, latar belakang pendidikan berkualitas khas sekolah Katolik, Ketua Dewan Mahasiswa ITB. Suharto dan Benny tidak keliru memilih Sarwono.
Saat Sarwono menjadi Sekjen Golkar termuda tahun 1983 mendampingi Ketua Umumnya Sudharmono, perangai dan cara pandang Sarwono tidak berubah, tetap tengah, tetap kerja dan tetap cerdas.
Sarwono memulai meletakkan dasar manajemen organisasi modern pada Golkar, terkenal dengan istilah keanggotaan Golkar terbuka dan berdasarkan kesediaan atau kesukarelaan untuk bergabung menjadi anggota Golkar.
Berselancar di antara para senior, elite penguasa dan politisi tentu bukan hal yang mudah buat Sarwono yang berkarakter aktivis pada saat yang bersamaan dia harus tetap obyektif dan idealis, juga harus kompromi dengan pragmatisme politik kekuasaan.
Pilihan politik Sarwono bukan kehendak pribadinya sendiri, keputusan memilih jalur politik tentu juga menjadi penugasan kelompok para aktivisnya, "masuk mengubah dari dalam" adalah kalimat yang sering didengar untuk dasar para aktivis masuk dalam pemerintahan Orba, sebagian aktivis lainnya selain memilih menjadi profesional ada juga yang memilih tetap pada jalan pergerakan aktivisme.
Posisi Sarwono di pusat kekuasaan saat itu pernah mendapati dirinya pada situasi yang tidak enak, misalnya saat sahabat karibnya, Wimar Witular pernah ditangkap saat mendeklarasikan diri sebagai calon presiden sebuah parodi politik yang cerdas berisiko tinggi yang mengkritik kekuasaan Suharto dan Orde Baru yang tidak memiliki konsep suksesi pergantian kekuasaan atau saat tokoh aktivis pergerakan bawah tanah Rahman Tolleng ditangkap dan ditahan di rumah tahanan Guntur karena dianggap terlibat dalam gerakan mahasiswa yang memrotes kedatangan Menteri Luar Negeri Jepang Tanaka dengan isu menolak hutang asing yang menyebabkan huru-hara besar di Jakarta yang kemudian kita mengenalnya sebagai Peristiwa Malapetaka Lima Belas Januari 1974 (Malari 1974) dengan tokoh mahasiswanya adalah Hariman Siregar.
Akhir yang BaikSarwono selamat sampai akhir, segala tugas dan amanah yang diberikan selesai dengan baik tanpa ada masalah. 2 kali menjadi anggota DPR, menjadi Sekjen Golkar, 3 kali menjadi Menteri, menjadi anggota DPD. Pada era baru reformasi pun perannya masih penting dalam berbagai hal kehidupan politik bangsa.
Selamatnya Sarwono dimungkinkan karena dia memilih untuk istiqomah bersikap profesional dalam bekerja, obyektif dan kritis dalam berpikir dan luwes dalam bertindak dalam koridor tengah.
*Penulis adalah Pengurus DPP Partai Golkar