Ekonom senior, DR. Rizal Ramli/Net
SITUASI bernegara selama dua periode Jokowi sudah banyak melenceng jauh dari sistem demokrasi. Tergelincir dari rel konstitusi serta menjauh dari prinsip keadilan. Ibarat kereta api yang tergelincir dari rel. Masinis dan semua yang bertanggung jawab malah membuat rel baru sebagai ganti konstitusi. Rel yang dibangun ternyata rel oligarki yang beraroma otoritarian.
Maka pelan tapi pasti kereta api itu semakin lama semakin menjauh dari tujuannya, yaitu konstitusi dan sistem bernegara yang diciptakan oleh founding father bangsa. Para penumpang (rakyat Indonesia) dibawa jauh untuk sampai ke tujuan mereka.
Bahkan terkurung, tersiksa dalam gerbong-gerbong oligarki otoriter. Mereka kehilangan kemerdekaan, keadilan yang membawa mereka menuju jurang kemiskinan dengan segudang kesusahan hidup dan berbagai keretakan serta penyakit sosial.
Cita cita kemerdekaan “hanya bisa” diperjuangkan dengan sistem berbangsa dan bernegara yang benar dan sesuai konstitusi. Maka situasi di atas harus diubah. Kereta api yang tergelincir keluar dari rel, serta telah melenceng dengan rel palsu yang dibuat untuk kepentingan oligarki. Harus dikembalikan pada posisi rel yang benar.
Perubahan yang mendasar ini tidak akan terjadi dengan syarat ambang batas 20 persen untuk memilih pemimpin baik itu kepala daerah maupun memilih presiden. Karena sistem rel itulah yang dikuasai oleh oligarki politik dan oligarki ekonomi.
Khusus memilih pemimpin presiden calonnya hanya ditentukan oleh 9 orang ketua umum merangkap sebagai pemilik parpol (oligarki politik), yang di belakangnya ditopang oleh para taipan (oligarki ekonomi).
Serta sangat dimungkinkan adanya pengaruh kepentingan negara adidaya, di mana oligarki berpihak. Hal ini disebabkan karena Indonesia memiliki sumber daya alam yang melimpah, dengan jumlah penduduk yang banyak dan cakupan wilayah sangat luas. Sangat menggiurkan bagi negara adidaya. Bagi yang tertarik tidak perlu atau tidak mungkin menguasai melalui perang bersenjata.
Cukup dengan “mengendalikan” pemimpinnya baik elit parpolnya maupun presidennya apalagi Indonesia dengan sistem pemerintah presidensial, mempunyai kekuasaan besar. Gampang mengubah rel, baik arah dan haluan negara dengan sistem demokrasi kepada sistim oligarki otoriter. Karena memilih presiden melalui rel ambang batas yang dikuasai oligarki.
Hanya akan Terjadi Dua Macam PresidenKe satu, presiden pertukaran. Yaitu presiden yang dipilih dengan sistem yang dimonopoli oleh oligarki. Melalui transaksional dan PT 20 persen. Maka pilpres dengan biaya besar sekadar ajang “pertukaran masinis” oleh kehendak oligarki yang berkedok konstitusi.
Kedua, presiden pergantian. Yaitu presiden yang terpilih bukan dengan monopoli oligarki. Namun tidak memiliki kapasitas, integritas dan kepakaran serta nyali dan keberanian. Sehingga hanya ada sisi kebaikan untuk perbandingan dengan presiden pertukaran. Ajang pilpres sekedar ajang “pergantian presiden” tanpa adanya perubahan.
Idealnya pilpres menghasilkan, presiden perubahan. Yaitu presiden yang berkapasitas bapak bangsa. Presiden yang dapat merealisasikan semua sila Pancasila dengan membentuk dan melaksanakan undang-undang yang pro-rakyat bukan pro-oligarki.
Membumikan konstitusi secara konsekuen. Punya keberanian menolak segala bentuk kepentingan ingin menguasai/menjajah kepentingan baik oligarki maupun asing. Presiden yang punya kualitas yang mampu sejajar bahkan “di atas” presiden negara adidaya lainnya.
Menurut pengamatan objektif penulis semua elit parpol termasuk calon presiden yang tidak memperjuangkan dan menginginkan ambang batas pilpres menjadi PT 0 persen. Akan menjadi presiden pertukaran sebagai yang paling buruk. Atau presiden pergantian yang hanya mungkin sedikit lebih baik dari yang sekarang.
Semuanya jauh dari agenda perubahan. Karena motivasi terbesar adalah posisi RI 1 sebagai jenjang karir tertinggi dan segudang cita cita parsial lainnya. Manisnya pesta kampanye hanya masker/kedok.
Bangsa dan negara serta rakyat Indonesia saat ini memerlukan cara untuk menentukan tokoh sebagai pemimpin menuju perubahan. Adapun cara perubahan secara normal adalah dengan keterlibatan rakyat dari perencanaan menu dan pematangan melibatkan banyak pihak. Tidak hanya menu yang disajikan oleh 9 ketum parpol saja dengan dukungan logistik oligarki. Lalu rakyat disuruh menyantap walaupun keasinan bahkan pahit alias basi.
Hanya melalui ambang batas pilpres 0 persen bisa memunculkan banyak pemimpin yang berkualitas dan berintegritas untuk dipilih oleh rakyat dalam memilih dan dipilih secara konstitusi, melalui sistem dan penyelenggara pemilu (KPU) yang benar-benar konsisten untuk terciptanya pilpres secara luber dan jurdil.
Dari kajian rekam jejak penulis mengamati berbagai tokoh bangsa. Tokoh yang konsisten selalu ingin melakukan perubahan, melalui perjuangannya memotong pengaruh oligarki yang selama ini menguasai kedaulatan rakyat.
Selalu secara lugas dan berani “melawan” arus tanpa memikirkan resiko terhadap diri pribadinya. Selalu memberikan gagasan objektif kearah perubahan. Selalu memberikan pengarahan kepada semua golongan termasuk generasi Z. Hanya ada pada tokoh nasional DR. Rizal Ramli. Dia bukan partisan bukan pula pengusaha tetapi terus menerus tanpa henti “meluruskan/ mengembalikan” rel kekuasaan yang telah melenceng.
Sepertinya Rizal Ramli adalah salah satu tokoh bangsa secara jelas berikrar mewaqafkan sisi hidupnya apapun risiko yang dihadapi, serta keberpihakannya terhadap rakyat secara kental sejak muda merupakan jalan hidupnya, demi kemajuan bangsa dan kemakmuran seluruh rakyat.
Tentunya, jika rakyat berkehendak ingin perubahan dengan jalan Tuhan pemimpin ideal sebagai presiden perubahan ada pada diri beliau. Semoga. Teriring doa buat beliau.
Penulis adalah alumnus Gontor dan Universitas Al Azhar Mesir, yang juga dosen di Kuala Lumpur