Berita

AKBP Achiruddin Hasibuan/Net

Publika

Memahami Persepsi Publik Kasus AKBP Achirudin dan Bagaimana Aktor Negara Mahfud MD Mengelolanya

JUMAT, 12 MEI 2023 | 16:10 WIB | OLEH: ACHMAD NUR HIDAYAT

PROSES pembentukan dan pengelolaan perspektif publik pada case Achirudin menarik dibahas, betapa konten tersebut mengikat banyak jaringan terkonstruksi secara negatif bagi Achirudin.

Berawal dari tweet @mazzini_gsp yang menyampaikan sebuah peristiwa di mana seorang pemuda Ken Admiral dihajar oleh pemuda Aditya yang merupakan anak dari Perwira Menengah Polisi AKBP Achirudin yang juga menyaksikan peristiwa tersebut.
 
Tanpa melakukan cover both side journalism, @mazzini_gsp berusaha menggugah keadilan publik, seakan: ”Ini Arogansi Polisi Terhadap Rakyat Jelata, Lawan! Rakyat Bersatu Tak Bisa dikalahkan!”
 

 
Pada proses awal pembentukan persepsi publik tersebut, terdapat jejak digital netizen yang mengingatkan agar @mazzini_gsp melakukan jurnalisme yang baik namun dijawab bahwa ini adalah citizen journalism.

Publik disajikan informasi yang banyak celah, sulit dipertanggungjawabkan secara etika dan akademis, namun itulah citizen journalism, layak diapresiasi dan perlu dikelola dengan baik oleh negara.
 
Bagaimana Aktor Negara seperti Mahfud MD Mengelolanya?
 
Mahfud MD sebagai aktor penting yang hadir pada konten Sambo, Mario Dandy, hadir juga pada konten Achirudin.

Dengan posisi strukturalnya sebagai Menkopolhukam, Mahfud MD membentuk tim agar dapat bekerja sebaik mungkin menghadirkan keadilan publik dengan strategi membuka data yang dianggap privat ke publik, agar tidak ada ruang gelap, semuanya terang-benderang.

Tidak sedikit yang men-challenge strategi tersebut, membawa pada bahasan apakah ini privat, apakah ini publik, juga mempertanyakan apakah Mahfud MD sedang dalam konteks sebagai Menkopolhukam atau sebagai individu yang menguasai hukum.
 
Berbeda dengan case Sambo dan Mario Dandy, strategi expose data oleh Mahfud MD belum optimal diterapkan pada case Achirudin.

Apakah karena case Achirudin ini masih baru?

Atau yang sudah dilakukan hanya pada data Achirudin, bagaimana dengan data ayah Ken Admiral?

Jelas keluarga Ken Admiral adalah keluarga kaya, setidaknya ini menunjukkan bukan cerita "Polisi vs Rakyat Jelata" sebagaimana yang dipersepsi publik.

Apalagi terungkap ada beberapa kombes yang merupakan keluarga Ken Admiral cs.
 
Bagaimana jika ini cerita yang serupa seperti Sambo yang playing victim di awal kejadian? Achirudin bisa jadi adalah korban sebagaimana Joshua.
 
Peran yang dilakukan Mahfud MD layak diapresiasi, menggairahkan keinginan tercapainya keadilan publik.

Namun di sisi lain membawa tantangan serius, yaitu bila ingin melihat sebuah kebenaran, maka lihatlah di mana Mahfud MD berada.

Hal ini berbahaya karena personifikasi kebenaran bukan jalan menuju tercapainya keadilan publik. Mahfud MD sebagaimana manusia lainnya, tidak selalu benar, pun tidak selalu salah.
 
Di sisi lain keterhubungan media mainstream dan media sosial dianggap sedang mengalami disrupsi.

Jurnalisme cover both side menjadi sesuatu yang sulit hadir pada case Achirudin.

Apakah karena cover both side journalism membutuhkan keahlian khusus yang harus dicapai melalui proses pendidikan yang rigid?

Apakah karena cover both side journalism tidak dapat berpacu pada era digital yang serba serempak sehingga khawatir konten menjadi basi?
 
Realitas jurnalisme tersebut dianggap menghadirkan budaya jurnalisme instan, media mainstream yang lebih potensi memiliki kapasitas cover both side journalism tertantang eksistensinya di industri media, tidak sedikit yang menyerah menjadi media penerus apa saja yang sedang dibahas netizen.

Tentu saja hal ini berpotensi memunculkan berita sampah yang hadir serempak.
 
Bila demikian realitas yang terjadi, apakah keadilan publik dapat kita capai dengan baik?

Apakah penguasaan akses data baik pivat maupun publik ditambah kemampuan mengelola netizen untuk membahas data tersebut adalah strategi yang dapat menjamin keadilan publik?

Mahfud MD perlu berhati-hati dalam mengelola persepsi publik. Memang viralitas penting, menjadi signal bahwa bisa jadi perlu kehadiran negara.

Namun tanpa frame kebenaran, ter-drive sekadar viralitas, negara bisa tersesat dan menyesatkan warga negaranya sendiri. Keadilan publik selalu bersama kebenaran. Keadilan publik tidak selalu bersama viralitas.

Pakar Kebijakan Publik Narasi Institute

Populer

Masih Sibuk di Jogja, Pimpinan KPK Belum Tahu OTT di Lampung Tengah

Selasa, 09 Desember 2025 | 14:21

Pura Jadi Latar Film Porno, Hey Bali: Respons Aparat Dingin

Selasa, 09 Desember 2025 | 21:58

Kebun Sawit Milik POSCO Lebih dari Dua Kali Luas Singapura

Senin, 08 Desember 2025 | 19:12

Mahfud MD soal Bencana Sumatera: Menyuruh Pejabat Mundur Tidak Relevan

Rabu, 10 Desember 2025 | 05:53

Aliran Bantuan ke Aceh

Sabtu, 06 Desember 2025 | 04:08

Korban Bencana di Jabar Lebih Butuh Perhatian Dedi Mulyadi

Sabtu, 06 Desember 2025 | 04:44

Bangun Jembatan Harapan

Minggu, 07 Desember 2025 | 02:46

UPDATE

UNJ Gelar Diskusi dan Galang Donasi Kemanusiaan untuk Sumatera

Selasa, 16 Desember 2025 | 12:10

Skandal Sertifikasi K3: KPK Panggil Irjen Kemnaker, Total Aliran Dana Rp81 Miliar

Selasa, 16 Desember 2025 | 12:04

KPU Raih Lembaga Terinformatif dari Komisi Informasi

Selasa, 16 Desember 2025 | 11:41

Dipimpin Ferry Juliantono, Kemenkop Masuk 10 Besar Badan Publik Informatif

Selasa, 16 Desember 2025 | 11:13

KPK Janji Usut Anggota Komisi XI DPR Lain dalam Kasus Dana CSR BI-OJK

Selasa, 16 Desember 2025 | 11:12

Harga Minyak Turun Dipicu Melemahnya Data Ekonomi China

Selasa, 16 Desember 2025 | 11:03

Kritik “Wisata Bencana”, Prabowo Tak Ingin Menteri Kabinet Cuma Gemar Bersolek

Selasa, 16 Desember 2025 | 10:56

Din Syamsuddin Dorong UMJ jadi Universitas Kelas Dunia di Usia 70 Tahun

Selasa, 16 Desember 2025 | 10:54

Tentang Natal Bersama, Wamenag Ingatkan Itu Perayaan Umat Kristiani Kemenag Bukan Lintas Agama

Selasa, 16 Desember 2025 | 10:46

Dolar AS Melemah di Tengah Pekan Krusial Bank Sentral

Selasa, 16 Desember 2025 | 10:33

Selengkapnya