Pakar kebijakan publik dari Narasi Institute, Achmad Nur Hidayat/Net
Langkah Presiden Joko Widodo yang akan menyatakan 39 orang warga negara Indonesia (WNI) eksil imbas peristiwa gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia (PKI) atau G30S 1965 bukan pengkhianat negara, menuai kritik.
Pakar kebijakan publik dari Narasi Institute, Achmad Nur Hidayat justru bertanya-tanya, mengapa pemerintah terkesan sibuk mengurusi eksil tahun 65. Padahal di satu sisi, pelanggaran HAM 98, tragedi KM 50, dan Kanjuruhan belum jelas penyelesaiannya.
Dalam kasus ini, dia juga meminta Menko Polhukam, Mahfud MD untuk berhati-hati dalam mengeluarkan pernyataan terkait kasus ini. Apalagi saat Mahfud MD turut menceritakan pengalaman mantan presiden BJ Habibie sebagai contoh eksil 1965 tersebut.
“Benarkah pernyataan dan argumentasi Mahfud MD tersebut termasuk menyamakan dengan pengalaman presiden Habibie. Ini perlu divalidasi kebenarannya,” ujarnya kepada redaksi, Kamis (4/5).
Jika memang benar, maka akan timbul pertanyaan lain. Seperti mengapa ketika Habibie berkuasa tidak mengambil kebijakan terhadap para eksil tersebut jika memang beliau adalah korban.
Untuk itu, Mahfud MD perlu berhati-hati dalam mengeluarkan pernyataan dan mengambil kebijakan terkait eksil 65 tersebut. Apakah betul para eksil itu sama sekali tidak terlibat pada peristiwa 65 baik secara langsung maupun tidak langsung.
Katanya, jauh lebih penting pemerintah menyelesaikan pelanggaran pelanggaran HAM yang terjadi di dalam negeri yang tidak jelas penyelesaiannya, seperti hilangnya seniman Wiji Thukul dan banyak aktivis pada tahun 98, tewasnya banyak pendemo di Bawaslu memprotes hasil pemilu 2019, tragedi KM 50 yang menewaskan 6 orang oleh aparat dan bahkan yang terbaru tewasnya ratusan orang di stadion Kanjuruhan Malang oleh aparat keamanan.
“Yang menurut kami jauh lebih penting untuk diselesaikan dibanding mengurusi eksil tahun 1965 yang penuh dengan kepentingan politis,” tutup Achmad Nur Hidayat.