PEMBENTUKAN Satgas untuk mengusut kasus transaksi mencurigakan Rp 349 triliun adalah pembentukan yang kedua kalinya oleh pemerintah, setelah Satgas BLBI, patut memperoleh apresiasi masyarakat.
Keberadaan dua satgas tersebut menjelang Pilpres 2024 merupakan sinyal positif bagi pemerintah dan penerusnya. Karena menjadi tanda-tanda pemerintah akan habis-habisan memberantas korupsi dan tindak pidana pencucian uang.
Namun demikian pembentukan dan kinerja Satgas merupakan pekerjaan rumah (pemerintah) yang besar, melibatkan Kementerian dan Lembaga, dan sangat memerlukan dukungan masyarakat luas untuk tetap konsisten mengawasinya dan tidak lagi bersikap pesimis apalagi skeptis dan mudah lupa.
Kemajuan kedua satgas tersebut, khususnya Satgas TPPU, merupakan petunjuk bahwa perkembangan tindak pidana pencucian uang telah sangat meningkat dan mencapai tingkat kebahayaan serius bagi sistem keuangan dan perbankan Indonesia.
Satgas kedua ini dapat disebut Satgas Perampasan Aset Tindak Pidana (UU PA) fokus pada dana liar senilai 349 triliun yang telah ditemukan PPATK. Pemberlakuan UU Perampasan Aset Tindak Pidana (UU PA) bersifat urgen dan mendesak, tidak perlu berlama-lama untuk segera dibahas dan disahkan DPR RI bersama Pemerintah.
Harapan masyarakat luas terhadap berlakunya UU PA sangat besar, begitu pula sikap Pemerintah akhir-akhir ini. Dan seberapa cepat Satgas ini melangkah mencapai kemajuan berarti sangat tergantung dari cepat atau lambatnya Satgas menempuh 4 tahap proses peradilan pidana sejak penyelidikan sampai penuntutan di hadapan Hakim pengadilan pidana. Ditambah dengan dua tahapan lagi, yaitu penelusuran/pelacakan aset, dan pembekuan aset secara pro justitia.
Kedua tahapan terakhir ini akan berhasil baik jika mekanisme pelaporan, penelusuran dan pembuktian terbalik atas aset-aset diduga hasil kejahatan berjalan dengan sistem online antara Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan( PPATK) dengan pihak perbankan, dan Mabes Polri tanpa jeda waktu sedikitpun.
Hal ini disebabkan transfer dana hasil kejahatan dari satu tangan ke tangan lain dari luar dan ke dalam negeri terjadi dalam hitungan detik, sehingga proses yang tertunda atau ditunda-tunda telah mempersempit celah waktu dan hukum untuk mencapai tujuan pemulihan aset kejahatan kepada negara melalui UU PA.
Kondisi terkini, PPATK telah bekerjasama dengan negara sesama anggota APEC Group on Money Laundering juga dengan negara-negara barat lainnya. Kondisi ini diperkuat dengan adanya Automatic Exchange Information antara negara, termasuk Indonesia, di dalam sistem keuangan khususnya perpajakan.
Dalam pada itu, Satgas perlu memperhatikan eksistensi Undang-undang RI Nomor 27 tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi yang di dalamnya mengatur tentang bagaimana pelindungan data pribadi harus dijaga dan dipelihara agar tidak terjadi perbuatan yang dilakukan secara melawan hukum dan merugikan hak konstitusional pemilik data pribadi.
Sebagaimana dinyatakan dalam UU ini, bahwa pelindungan data pribadi ditujukan untuk menjamin hak warga negara atas pelindungan diri pribadi dan menumbuhkan kesadaran masyarakat serta menjamin pengakuan dan penghormatan atas pentingnya pelindungan data pribadi.
Di dalam implementasi UU PA dan hubungannya dengan UU PDP, terletak pada aspek perampasan aset kejahatan yang dikuasai secara individual atau suatu korporasi yang didirikan berdasarkan UU Perseroan Terbatas dan bersifat Terbuka sehingga dapat melakukan go-publik atau penjualan saham di muka umum.
Sedangkan definisi perampasan aset itu sendiri menitikberatkan pada upaya paksa; Perampasan Aset Tindak Pidana adalah upaya paksa yang dilakukan oleh negara untuk mengambil alih penguasaan dan/atau kepemilikan Aset Tindak Pidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, antara lain tanpa didasarkan pada penghukuman terhadap pelakunya.
Di dalam perampasan aset dimaksud terdapat tiga unsur penting yang beririsan dengan ketentuan pelindungan data pribadi yaitu, frasa, upaya paksa, dan pengambilalihan penguasaan dan/atau kepemilikan aset tindak pidana, serta putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap.
Pelindungan data pribadi mengenai aset yang dimiliki seseorang secara hukum sah adanya dan perlindungan hak asasi tetap berlaku sampai dengan putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap yang membatalkan penguasaan data mengenai aset pribadi seseorang yang terbukti berasal dari kejahatan; penegakan hukum tradisional ini tidak cocok dengan tujuan UU PA sehingga memerlukan koreksi secara mendasar.
Namun demikian, di dalam UU PDP tidak diatur khusus bahwa penyidikan dan penuntutan pidana dikecualikan dari ketentuan UU PDP, dalam arti jika terdapat bukti permulaan cukup tentang tindak pidana pencucian uang, APH dapat memiliki wewenang melakukan penyelidikan dan penyidikan.
Diakui, dalam UUPDP telah diatur kewajiban koordinasi Lembaga Pelidungan Data Pribadi dengan APH akan tetapi tidak mempermudah proses penyelidikan dan penyidikan atas inisiatif APH untuk ikut campur di dalam implementasi UU PDP.
Koreksi dimaksud adalah bahwa, dalam PA digunakan prinsip praduga bersalah (presumption of guilt) atas aset-aset seseorang yang diduga berasal dari tindak pidana; sedangkan terhadap pelaku pemilik aset dimaksud mengenai kesalahannya tetap didasarkan pada prinsip praduga tak bersalah (
presumption of innocence).
Pilihan atas dua opsi prinsip hukum PA tersebut merupakan celah hukum apakah menerapkan perampasan aset melalui tuntutan keperdataan atau melalui tuntutan pidana; keduanya memiliki perbedaan signifikan baik dalam cara maupun hasil yang diperoleh.
Tuntutan keperdataan tidak menyasar pelaku/pemilik harta kekayaan diduga hasil kejahatan, melainkan fokus pada bagaimana merampasnya dan tidak menghukum pelaku/pemiliknya dengan cara pembalikan beban pembuktian (
reversal of burden of proof/onus proof); jika pelaku/pemilik tidak dapat membuktikan asal usul peroleh hartanya secara sah, harta kekayaannya dirampas untuk negara.
Sedangkan tuntutan pidana melalui cara penyidikan dan penuntutan di sidang pengadilan dilanjutkan -jika terbukti bersalah- dengan penghukuman. Perbedaan Kedua cara tersebut terletak juga pada aspek waktu; cara PA melalui tuntutan keperdataan relatif lebih singkat dibandingkan dengan PA melalui tuntutan pidana.
Untuk dapat melakukan perampasan aset melalui kedua cara tersebut secara tuntas, mutlak diperlukan Kerjasama era tantara PPATK, OJK, APH, dan KPK, serta K/L terkait dan BI. Tanpa Kerjasama yang sistematis terorganisasi keberadaan UU PA menjadi "macan ompong".
Penulis adalah Gurubesar Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran