Perjanjian New York 1962/Net
PERJALANAN panjang Perjanjian New York tahun 1962 dan penentuan pendapat rakyat tahun 1969 hingga model pembangunan otonomi khusus Papua belum berhasil membangkitkan keserbasamaan pendapat untuk pembangunan nasional dan daerah dalam payung bentuk NKRI.
Minimal, ada dua faktor penting yang menjadi kendala dalam pembangkitan kesamaan perspektif perjuangan dan kejuangan, serta daya juang tersebut.
Pertama, merasa sebagai bangsa yang senantiasa terjajah dan teraniaya, dianaktirikan, terpinggirkan, tersingkirkan, tidak disayang-sayang, dan sebagainya, sehingga terbangkitkanlah nuansa merasa bahwa kemerdekaan Papua adalah satu-satunya cara sebagai lompatan besar terbaik untuk membangun bangsanya.
Namun, hal itu dengan melupakan perjalanan sejarah perjanjian internasional dan nasional, serta perjalanan sejarah perjuangan bangsa-bangsa. Lebih terpukau oleh propaganda lompatan-lompatan besar untuk mendadak segera makmur dan sejahtera.
Yang melupakan proses tahapan-tahapan pembangunan untuk menjadi bangsa besar yang duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi, sekalipun pernak-pernik pendanaan program pembangunan otonomi khusus tergolong teralokasikan sangat besar dan istimewa. Yang tersayang dan terkasih, namun merasa tercampakkan.
Kedua, pengelolaan sumber daya alam dari bumi Papua, seperti slurry, emas, bijih tembaga, perak, semen, pasir, bahan tambang lainnya, kayu hutan, pertanian, perikanan laut, perikanan darat, peternakan, dan lainnya kemudian dirasakan amat sangat tidak adil dalam manajemen distribusi hasil-hasil pembangunan dalam perspektif subjektivitas personal.
Subjektivitas yang mengingatkan tentang perjuangan PRRI, Dewan Banteng, pembentukan negara Islam, pemberontakan Karto Suwiryo, dan berbagai pendekatan penggunaan kekerasan bersenjata, yang berawal dari perasaan ketidakadilan dalam pengaturan alokasi distribusi hasil-hasil pembangunan. Berebut kesejahteraan. Berebut kemakmuran.
Persoalannya adalah pengelolaan sumber daya alam modern dan perburuan sumber daya alam adalah dua hal yang dapat saling bertolak belakang dan masih mendapat angin segar dalam perspektif bisnis senjata berbalutkan gerakan demokrasi.
Jalan diplomasi dan mengangkat senjata, serta pendekatan model pembangunan berorientasi kesejahteraan sosial merupakan perjalanan panjang, namun mempunyai titik terang sebagaimana tercapainya kesepakatan dalam perjuangan Aceh dan Maluku, namun berada pada jalan yang berbeda dengan Timor Leste.
Keikutsertaan organisasi asing dalam pemasokan senjata dan pelatihan terhadap KKB Papua, sebagaimana perjalanan panjang gerakan separatisme pasca kemerdekaan NKRI, itu perlu dinetralisasikan.
Bagaimana pemerintahan terdahulu dalam membangun kesamaan perjuangan dalam membangun NKRI secara damai dan mereformasi perbedaan sudut pandang pemikiran dan persepsi-persepsi konstruksi yang elegan sangat menentukan pengulangan penghapusan gerakan separatisme.
Kelapangdadaan pemimpin intelektual dalam pengasingan di luar negeri dan perjuangan mengangkat senjata di pedalaman, itu sangat menentukan masa depan berbangsa dan bernegara.
Ya, selama syarat-syarat pengakuan secara
de jure dan
de facto itu tidak terpenuhi.
Peneliti Indef dan Pengajar Universitas Mercu Buana