Berita

Gurubesar Ilmu Hukum Universitas Padjadjaran, Prof Romli Atmasasmita/Net

Publika

Seluk-beluk Tindakan Pidana Pencemaran Nama Baik

OLEH: ROMLI ATMASASMITA*
MINGGU, 09 APRIL 2023 | 22:08 WIB

PERBUATAN seseorang mencemarkan nama baik orang lain sering berubah menjadi perbuatan fitnah yang sama-sama dapat diancam pidana, baik di dalam KUHP maupun UU 11/2008 yang diubah dengan UU 19/2016.

Perbuatan pencemaran nama baik ataupun fitnah yang sering terjadi sejak era reformasi sampai saat ini adalah bertujuan menjatuhkan atau merusak harkat dan martabat seseorang yang lebih sering ditujukan terhadap pejabat baik di eksekutif, legislatif, maupun yudikatif.

Perbuatan ini sering terjadi terutama sebelum, selama, dan setelah tahun-tahun politik seperti pilkada, dan pilpres atau pemilu. Di satu sisi pelarangan perbuatan pencemaran nama baik atau fitnah bertujuan untuk meningkatkan aspek moralitas selain tujuan penjeraan semata-mata sehingga diharapkan dapat menciptakan situasi kehidupan masyarakat yang aman, damai, dan tenteram.

Bahkan tidak jarang terjadi perbuatan pencemaran nama baik atau fitnah tersebut dilakukan dengan sengaja dengan imbalan sejumlah uang sebagai pembayaran jasa melakukan perbuatan tersebut. Begitu pula pelaku perbuatan tersebut juga dilakukan berkelompok dengan motif ancaman pemerasan untuk tujuan memperoleh keuntungan finansial.

Perbuatan memberikan kritik sosial tidak dilarang di dalam UU 9/1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum; bahkan di dalam UU a quo juga diberikan hak dan juga kewajiban kepada LSM dan ormas tertentu untuk memperhatikan dan melaksanakan kewajiban-kewajiban di samping hak-hak yang diberikan UU.

Masalah krusial dalam kaitan dua jenis perbuatan ini adalah, masalah hak dan kebebasan yang bertanggung jawab di satu sisi dan masalah hak berdemokrasi untuk menyampaikan aspirasi kepada Negara. Baik KUHP maupun UU ITE tidak mempertimbangkan perbedaan dan Hak Kebebasan berserikat dan berkumpul dan keseimbangan antara keduanya.

Fakta yang tampak dari peristiwa pencemaran nama baik dan fitnah adalah penghukuman terhadap para pelaku perbuatan pencemaran nama baik dan atau fitnah berbalut hak dan kebebasan menyampaikan pendapat di muka umum.

Namun demikian, pembentuk UU ITE dan KUHP telah mengakui adanya hak dan kebebasan berpendapat di muka umum akan tetapi juga ditekankan pentingnya hak dan kebebasan yang bertanggung jawab di sisi lain untuk mencegah penyampaian aspirasi masyarakat menjadi pencemaran nama baik dan atau fitnah yang jelas dilarang dan diancam hukuman berdasarkan ketentuan UU yang berlaku.

Di dalam Bab XVI Tentang Penghinaan, Pasal 310 (1) Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

(2) Jika hal itu dilakukan dengan tulisan atau gambaran yang disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum, maka diancam karena pencemaran tertulis dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

(3) Tidak merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis, jika perbuatan jelas dilakukan demi kepentingan umum atau karena terpaksa untuk membela diri.

Perbuatan pencemaran nama baik jika tidak berhasil dibuktikan oleh terdakwa bisa berubah menjadi fitnah sebagaimana diatur dalam Pasal 311 (1), Jika yang melakukan kejahatan pencemaran atau pencemaran tertulis dibolehkan untuk membuktikan apa yang dituduhkan itu benar, tidak membuktikannya, dan tuduhan dilakukan bertentangan dengan apa yang diketahui, maka dia diancam melakukan fitnah dengan pidana penjara paling lama empat tahun.

Jika terbukti bukan pencemaran nama baik bisa diancam karena fitnah, Pasal 311 (1) Jika yang melakukan kejahatan pencemaran atau pencemaran tertulis dibolehkan untuk membuktikan apa yang dituduhkan itu benar, tidak membuktikannya, dan tuduhan dilakukan bertentangan dengan apa yang diketahui, maka dia diancam melakukan fitnah dengan pidana penjara paling lama empat tahun.

(2) Pencabutan hak-hak berdasarkan pasal 35 Nomor 1 sampai 3 dapat dijatuhkan.

Ancaman hukuman terhadap perbuatan pencemaran di dalam UU ITE ditingkatkan lebih tinggi sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (3), setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.

Ancaman pidana terhadap perbuatan pencemaran diatur dalam Pasal 45 (1) setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama enam tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Perbedaan nyata antara ketentuan KUHP dan UU ITE dalam hal perbuatan pencemaran adalah, dalam UU ITE jka perbuatan pencemaran dilakukan melalui transaksi elektronik sedangkan di KUHP hanya terhadap perbuatan pencemaran secara langsung ditujukan terhadap korban dan dilakukan secara tertulis dan disebarluaskan agar diketahui umum.

Disebabkan 99% setiap perbuatan pada umumnya khusus pencemaran nama baik atau fitnah dilakukan dengan bantuan teknologi informasi, maka dapat dipastikan tindak pidana pencemaran nama baik atau fitnah termasuk wilayah kewenangan UU ITE dengan ancaman paling lama enam tahun dan/atau denda satu miliar rupiah.

Menghadapi perbuatan pencemaran nama baik atau fitnah yang kini sedang marak terjadi, kiranya diperlukan pemuka agama dan MUI untuk melakukan pembinaan masyarakat, baik di tingkat RW di wilayah kecamatan untuk membangunkan kesetiakawanan sosial antarwarga.

Selain itu di dalam proses pemeriksaan perkara pencemaran nama baik atau fitnah diupayakan perdamaian antara pelaku dan korban dengan bantuan aparat penegak hukum sebagai mediator sehingga dapat dihindari perasaan dendam berkepanjangan kecuali musyawarah dan mufakat bersama.

*Penulis adalah Gurubesar Ilmu Hukum Universitas Padjadjaran

Populer

Jaksa Agung Tidak Jujur, Jam Tangan Breitling Limited Edition Tidak Masuk LHKPN

Kamis, 21 November 2024 | 08:14

MUI Imbau Umat Islam Tak Pilih Pemimpin Pendukung Dinasti Politik

Jumat, 22 November 2024 | 09:27

Kejagung Periksa OC Kaligis serta Anak-Istri Zarof Ricar

Selasa, 26 November 2024 | 00:21

Rusia Siap Bombardir Ukraina dengan Rudal Hipersonik Oreshnik, Harga Minyak Langsung Naik

Sabtu, 23 November 2024 | 07:41

Ini Identitas 8 Orang yang Terjaring OTT KPK di Bengkulu

Minggu, 24 November 2024 | 16:14

Sikap Jokowi Munculkan Potensi konflik di Pilkada Jateng dan Jakarta

Senin, 25 November 2024 | 18:57

Legislator PKS Soroti Deindustrialisasi Jadi Mimpi Buruk Industri

Rabu, 20 November 2024 | 13:30

UPDATE

Jokowi Tak Serius Dukung RK-Suswono

Jumat, 29 November 2024 | 08:08

Ferdian Dwi Purwoko Tetap jadi Kesatria

Jumat, 29 November 2024 | 06:52

Pergantian Manajer Bikin Kantong Man United Terkuras Rp430 Miliar

Jumat, 29 November 2024 | 06:36

Perolehan Suara Tak Sesuai Harapan, Andika-Hendi: Kami Mohon Maaf

Jumat, 29 November 2024 | 06:18

Kita Bangsa Dermawan

Jumat, 29 November 2024 | 06:12

Pemerintah Beri Sinyal Lanjutkan Subsidi, Harga EV Diprediksi Tetap Kompetitif

Jumat, 29 November 2024 | 05:59

PDIP Akan Gugat Hasil Pilgub Banten, Tim Andra Soni: Enggak Masalah

Jumat, 29 November 2024 | 05:46

Sejumlah Petahana Tumbang di Pilkada Lampung, Pengamat: Masyarakat Ingin Perubahan

Jumat, 29 November 2024 | 05:31

Tim Hukum Mualem-Dek Fadh Tak Gentar dengan Gugatan Paslon 01

Jumat, 29 November 2024 | 05:15

Partisipasi Pemilih Hanya 55 Persen, KPU Kota Bekasi Dinilai Gagal

Jumat, 29 November 2024 | 04:56

Selengkapnya