Berita

Ketua Umum PSSI Erick Thohir dan mantan Presiden RI Soekarno

Publika

Mencuri Hikmah

OLEH: IGGI HARUMAN ACHSIEN*
JUMAT, 07 APRIL 2023 | 13:27 WIB

OLAHRAGA dan politik selamanya akan saling bergesekan. Negara punya ideologi lalu pemimpin (elite) politik berjibaku menerjemahkannya menjadi tata kerja politik sehari-hari: politik ekonomi, politik sosial, politik budaya, dan (tentu saja) politik olahraga.

Adakalanya konversi politik dan ekonomi membuat negara tampak gagah, seperti isu kedaulatan ekonomi. Misalnya, saat Indonesia melarang ekspor nikel mentah dan dikalahkan oleh pengadilan internasional. Indonesia melawan keputusan tersebut dengan menempuh jalan banding. Politik ekonomi dipertaruhkan hingga titik perjuangan terakhir demi tegaknya kepentingan nasional.

Politik olahraga juga punya nasib yang sebangun. Sukarno pernah menolak kehadiran Israel dalam Asian Games 1962, saat Indonesia menjadi tuan rumah. Israel penjajah dan mukadimah UUD 1945 menyatakan dengan lugas: "Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan."

Sukarno lantas menginisiasi Ganefo (Games of the New Emerging Forces) pada 1963 sebagai pengganti Asian Games. Pergelaran tersebut sukses mendatangkan 51 negara delegasi. Kali ini, nasib 61 tahun silam tersebut berulang. Bedanya, saat ini menimpa sepak bola.

Fakta pokok yang tidak bisa disangkal: negara berdiri di atas nilai-nilai kemuliaan yang disublimasi menjadi ideologi bangsa. Nilai itu kadang membanggakan, namun dalam perkara tertentu juga menimbulkan keperihan. Pensil mesti diraut agar bisa runcing dan bisa diipakai dengan nyaman.

Saat proses meraut itulah keperihan tidak dapat diubah, mesti diterima dengan segala sikap tabah. Menegakkan ideologi dan keyakinan merupakan proses yang tidak kalah perih, seperti yang pernah diterima oleh Iran atau Kuba. Ekonomi negara kocar-kacir dan kesejahteraan warga morat-marit. Itulah harga yang sering harus dibayar demi berkibarnya bendera negara.

Sungguh pun begitu, cukup penyelenggara negara yang mengambil keputusan. Politik nasional adalah panggung bernegara. Sebaliknya, pengurus olah raga menata pembinaan dan pengembangan dengan panduan teknokrasi. Di sini berlaku rumus universal: selalu terbit kesempatan dari setiap kemuraman. Akan hadir kemudahan setelah adanya kesulitan. Syaratnya: tetap menyala dalam kegelapan. Pandai mengolah kegelapan menjadi kejayaan. Itulah yang disebut "hikmah".

Jika dipantulkan ke dalam perkara sepak bola, sikap Erick Thohir (ET) sudah benar 100%: memperjuangkan kepentingan sepak bola Indonesia sekuat-kuatnya, sehormat-hormatnya. Pekerjaan rumah yang lebih berat dan menantang tengah menanti: mendongkrak level sepak bola nasional untuk selanjutnya terbang ke kancah dunia. PSSI tidak hanya dituntut menjadi penyelenggara event sepakbola skala internasional, tetapi dan yang lebih penting lagi: berprestasi skala internasional.

ET bukan orang baru atau sekedar noktah kecil dalam urusan olahraga. Bahkan, terkait sepak bola ia adalah pemain besar dalam skala global. Ia punya pengalaman memiliki klub besar di level internasional. Dia simbol kesuksesan dan harapan. FIFA percaya dengan ET.

Selanjutnya, ia punya pengurus yang solid. Wakil ketuanya seorang politisi dan organisator senior yang ulung. Satunya lagi anak muda, perempuan, dan punya gairah besar di dunia sepak bola. Meski usianya masih muda, namun pengalamannya sangat diperhitungkan. Mereka adalah "Triumvirat" PSSI.

Jika kekuatan itu dikonversi menjadi gelora pembinaan sepak bola yang sistematis, manajemen talent yang sehat, penciptaan iklim kompetisi melalui penyelenggaraan liga yang bersih, dan intensitas kepesertaan turnamen yang tinggi, maka binar mata anak-anak muda itu akan terpancar lebih terang. Bendera kebanggan Bangsa akan semakin terkerek tinggi dalam forum internasional.

Titik awal menyala itu telah terpancar. Buah lobby yang dilakukannya, FIFA tidak memberikan sanksi berat kepada PSSI. Hanya kartu kuning atau sanksi administratif. Sebagai "man of crisis", tugas ET saat ini: mencuri hikmah!
Penulis adalah Sekjen Masyarakat Ekonomi Syariah (MES).



Populer

Bangun PIK 2, ASG Setor Pajak 50 Triliun dan Serap 200 Ribu Tenaga Kerja

Senin, 27 Januari 2025 | 02:16

Gara-gara Tertawa di Samping Gus Miftah, KH Usman Ali Kehilangan 40 Job Ceramah

Minggu, 26 Januari 2025 | 10:03

Viral, Kurs Dolar Anjlok ke Rp8.170, Prabowo Effect?

Sabtu, 01 Februari 2025 | 18:05

KPK Akan Digugat Buntut Mandeknya Penanganan Dugaan Korupsi Jampidsus Febrie Adriansyah

Kamis, 23 Januari 2025 | 20:17

Prabowo Harus Ganti Bahlil hingga Satryo Brodjonegoro

Minggu, 26 Januari 2025 | 09:14

Datangi Bareskrim, Petrus Selestinus Minta Kliennya Segera Dibebaskan

Jumat, 24 Januari 2025 | 16:21

Masyarakat Baru Sadar Jokowi Wariskan Kerusakan Bangsa

Senin, 27 Januari 2025 | 14:00

UPDATE

Karyawan Umbar Kesombongan Ejek Pasien BPJS, PT Timah Minta Maaf

Minggu, 02 Februari 2025 | 15:37

Sugiat Santoso Apresiasi Sikap Tegas Menteri Imipas Pecat Pelaku Pungli WN China

Minggu, 02 Februari 2025 | 15:30

KPK Pastikan Tidak Ada Benturan dengan Kortastipikor Polri dalam Penanganan Korupsi LPEI

Minggu, 02 Februari 2025 | 15:27

Tabung Gas 3 Kg Langka, DPR Kehilangan Suara?

Minggu, 02 Februari 2025 | 15:10

Ken Martin Terpilih Jadi Ketum Partai Demokrat, Siap Lawan Trump

Minggu, 02 Februari 2025 | 14:46

Bukan Main, Indonesia Punya Dua Ibukota Langganan Banjir

Minggu, 02 Februari 2025 | 14:45

Larangan LPG di Pengecer Kebijakan Sangat Tidak Populis

Minggu, 02 Februari 2025 | 14:19

Smart City IKN Selesai di Laptop Mulyono

Minggu, 02 Februari 2025 | 13:59

Salah Memutus Status Lahan Berisiko Besar Buat Rakyat

Minggu, 02 Februari 2025 | 13:45

Hamas Sebut Rencana Relokasi Trump Absurd dan Tidak Penting

Minggu, 02 Februari 2025 | 13:26

Selengkapnya