PADA tulisan sebelumnya sudah disebutkan empat siklus akuntansi beras, yang terdiri dari siklus pembibitan; siklus lahan dan penggarapan; siklus penanaman dan pemeliharaan; dan siklus pemanenan dan distribusi beras. Dalam pembahasan kali ini akan difokuskan pada siklus yang pertama yaitu siklus pembibitan.
Pembibitan pada siklus akuntansi beras memiliki posisi yang sangat strategis dalam akuntansi beras. Hasil panen padi, ditentukan oleh kualitas bibit yang ditanam. Kaitannya dengan akuntansi beras, siklus pembibitan memiliki pengaruh terhadap biaya produksi beras.
Artinya bahwa kulitas dan biaya perolehan bibit akan berpangaruh terhadap hasil panen dan Harga Pokok Produksi (HPP). HPP ini begitu penting dalam menghitung laba atau rugi petani dalam satu preriode penggarapan sawah.
Untuk mengurai siklus pembibitan, penulis akan mengunakan pendekatan akuntansi dan non akuntansi. Kedua pendekatan tersebut, penulis meyakini saling berelasi dan sama-sama memiliki pengaruh terhadap kesejahteraan dan ketersedian persedian beras, baik untuk konsumsi dan swasembada beras.
Pendekatan AkuntansiSoal bibit dalam pertanian padi, tidak lepas dari isu tidak sedap. Mulai dari korupsi, pengendalian harga dan penyelewengan dalam pendistribusian bibit ke kelompok petani.
Sebut saja, kasus korupsi pengadaan benih padi, yang merugian negara senilai Rp 422.300.000, oleh WG di Pasangkayu Sulawesi Barat. Kasus korupsi pengadaan bantuan budidaya benih padi produktivitas (intensifikasi) dan benih padi perluasan (ekstensifikasi) terjadi pada tahun 2016. Program tanam jajar legowo di Kabupaten Pasangkayu pada Dinas Pertanian dan Peternakan Provinsi Sulbar ini nilai pagu anggaran Rp1,6 miliar.
Pada tahun 2012 pejabat di Direktorat Tanaman Pangan Kementerian Pertanian (Kementan) HAR terlibat dalam kasus korupsi Bantuan Langsung Benih Unggul (BLBU) paket 1 tahun 2012.
Kasus bermula saat Kejagung menduga penyaluran BLBU berupa padi lahan kering, padi hibrida, padi nonhibrida, dan kedelai tidak sesuai varietasnya pada 2012. Proyek tersebut tidak sesuai dengan peruntukannya atau fiktif. Nilai proyek dalam kasus ini diperkirakan mencapai Rp 209 miliar (detik.com).

Kasus lainnya adalah korupsi penyaluran benih padi inbrida palsu senilai Rp 1,82 Miliar di Kementrian BUMN Deputi Bidang Usaha Industri Agro dan Farmasi.
Kasus tersebut melibatkan Manager Produksi Cabang Deli Serdang PT Sang Hyang Seri (Persero), MRN dan Asisten Manager S. Kasus terjadi mulai 1 Januari 2016 hingga 31 Desember 2016 melalui PT Sang Hyang Seri adalah perusahaan Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang pertanian, khususnya dalam penyediaan benih, penyediaan sarana produksi pertanian, pengolahan hasil pertanian, serta penelitian dan pengembangan.
Berikut nilai kontrak PT. Sang Hyang Seri (Persero) dan PT. Pertani (Persero) sebesar Rp 808,9 miliar dan dibagi dua. PT Sang Hyang Seri mendapat nilai kontrak Rp 404,45 miliar yang terbagi untuk Padi Inbrida sebesar Rp 332,7 miliar, Padi Hibrida sebesar Rp 57,4 miliar dan kedelai Rp 14,19 miliar. Dimana PT. Pertani (Persero) pun mendapatkan anggaran kontrak Rp 404,45 miliar.
Yang terbaru dugaan korupsi dalam Dinas Pertanian Sumatera pengadaan bantuan benih padi (40kg/ha) di Kabupaten Musi Rawas Pagu Rp1,2 M. Pengadaan bantuan Pupuk Organik (300kg/ha) NPK non subsidi, (75/kg) Pagu Rp 1,89 M. Pengadaan bantuan benih padi (50kg/ha) 7. 500 ha dikabupaten Banyuasin Pagu Rp 3,75 M.
Selain korupsi, pengendalian harga benih dan beras kian menambah kerumitan dalam akuntansi beras. Petani di daerah Jambi mengeluhkan harga beras yang tinggi tidak diimbangi dengan naiknya harga benih padi. Harga benih saat ini hanya mencapai Rp7.500 perkilogram, sedangkan harga beras sudah berada di angka Rp12.000 perkilogram. Perlu ada keseimbangan antara harga benih dan beras, agar petani dan penakar benih tidak ada yang dirugikan.
Fenomena tindakan korupsi pada pengadaan dan pendistribusian bibit, menunjukkan pengelolaan bibit belum sempurna. Belum lagi perilaku BUMN yang bergerak dibidang benih atas kasus pemalsuan benih, menambah daftar Keperhatinan petani terhadap peran pemerintah.
Perilaku tersebut mengindikasikan bahwa belum tercipta sekata se-perbuatan Kementan dan pihak terkait terhadap keberpihakan negara kepada kaum tani. Sesungguhnya, kaum tani tidak berharap banyak kepada negara, cukup agar mereka mendapat kebutuhan taninya (benih) dengan baik dan tepat waktu.
Dalam pengelolaan anggaran negara, termasuk pertanian, undang-undang mengamanatkan agar dikelola dengan berlandaskan prinsip-prinsip keadilan, efisiensi, transparansi dan akuntabilitas.
Harga perolehan bibit/benih terkadang tidak terkendali, misalnya terlalu tinggi yang memberatkan petani, atau sebaliknya terlalu rendah merugikan pembudidaya benih. Belum lagi dominasi korporasi besar yang tidak jarang melindas yang tradisional.
Harus ada penyeimbang diantara keduanya, perlu penerapan Management Control System (MCS) oleh Kementerian Pertanian (Kementan). Juga kepada pembudidaya tradisional agar diberi ruang yang sama luasnya dengan korporasi.
Kenapa demikian? Karena kecenderungannya, yang tradisional lebih memahami dan humanis terhadap petani. Korporasi, kadang hanya memikirkan keberlangsungannya sendiri.
Oleh karena itu, intervensi yang paling ideal adalah bantuan fasilitas dan penguatan Sumber daya manusia (SDM) kepada yang tradisional agar kualitas produksi benihnya setara dengan korporasi. Persaingan sempurna yang terjadi akan mewujudkan kestabilan harga benih dan beras.
Pasar persaingan sempurna merupakan struktur pasar yang dianggap paling ideal karena struktur pasar ini menjamin terwujudnya kegiatan produksi barang atau jasa yang paling optimal atau efisien (Amelia, 2022). Untuk kestabilan harga beras akan dibahas dalam siklus pemanenan dan distribusi.
Pendekatan Non Akuntansi
Fasilitas dan SDM merupakan faktor non akuntansi yang memiliki peran penting dalam menghasilkan bibit yang unggul. Fasilitas dan SDM adalah ruang intervensi Kementan dan Kementerian Ketenagakerjaan bagi pembudidaya bibit padi.
Ketersedian fasilitas persemaian yang mapan, khususnya pembudidaya tradisional adalah peluang untuk menciptakan bibit yang bagus. Fasilitas tersebut sebetulnya juga bisa didistribusikan kepada kelompok tani secara langsung.
Untuk penguatan SDM, Kementan dan Kemenaker bisa bekerjasama dalam pelatihan pembudidayaan bibit. Tentu, Kementan sebagai kementerian teknis memiliki sejumlah SDM/penyuluh pertanian dibidang pembudidayaan bibit yang handal.
Dengan memanfaatkan seluruh Balai Latihan kerja (BLK) miliki Kemenaker di seluruh Indonesia akan menhasilkan SDM unggul dibidangan pembudidayaan. Belum lagi jika melibatkan sejumlah ahli dari Universitas IPB, yang juga memiliki teknologi untuk menghasilkan bibit yang unggul.
Refleksi Siklus Pembibitan
Intervensi anggaran adalah hal yang sangat strategis dalam akuntansi beras, termasuk dalam siklus pembibitan. Akan tetapi, kebijakan tersebut harus dikuti dengan komitmen Kementan untuk membangun MCS yang andal agar tidak terjadi penyelewengan anggaran. Baik dalam bentuk korupsi, pemalsuan bibit, masalah pendistribusian dan ketidakstabilan harga.
Dalam pengendalian harga, selain sistem persaingan sempurna sebagai salah satu solusi antara korporasi dan pembudidaya tradisional. Langkah reformis yang bisa diambil pemerintah adalah dengan memperpendek rantai distribusi, yaitu dengan memanfaatkan potensi kelompok tani Jadi kelompok tani yang sekaligus petani difasilitasi dan dilatih untuk pembudidayaan bibit. Strategi tersebut akan mengefisienkan biaya produksi beras nantinya.
Selain itu, meskipun pemerintah memiliki SDM yang mapan dalam bidang pertanian, khususnya dalam pembudidayaan bibit. Kebijakan strategis lainnya yang bisa dilakukan yaitu bekolaborasi dengan Kementerian Keuangan melalui Lembaga pengelola Dana Pendidikan (LPDP) untuk menyekolahkan anak petani di Universitas IPB atau yang sejenis di bidang pertanian di seluruh Indonesia atau bahkan di luar negeri.
Kejasamanya bisa dalam bentuk beasiswa targeted khusus bidang pertanian yaitu bidang pembibitan, bidang penggerapan dan pembukaan lahan dan bidang penanaman dan pemeliharaan. Serta penerima beasiswa berkewajiban untuk mengabdi dan kembali ke desa masing-masing.[
]*
Penulis adalah Ketua Program Studi Akuntansi, Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia