Chun Woo-won menghibur anggota keluarga korban pemberontakan pro-demokrasi melawan kediktatoran militer pada 1980 selama kunjungannya ke Pemakaman Nasional 18 Mei di Gwangju, Korea Selatan/Net
Ungkapan permintaan maaf disampaikan cucu mendiang Presiden Korea Selatan Chun Doo-hwan kepada para korban tragedi berdarah tahun 1980 yang dilakukan kakeknya untuk menumpas pemberontakan pro-demokrasi.
Menyebut kakeknya sebagai pendosa, Chun Woo-won menyatakan permintaan maafnya di hadapan wartawan pada Jumat (31/3) usai bertemu dengan para korban dan anggota keluarga mereka di Gwangju.
"Kakek saya, Chun Doo-hwan, adalah pendosa yang melakukan kejahatan besar," kata Woo-won, seperti dikutip dari Yonhap.
Woo-won (27 tahun) menjadi anggota pertama keluarganya yang mengunjungi pemakaman Gwangju dan meminta maaf atas penumpasan pemberontakan demokrasi tahun 1980, yang menewaskan sedikitnya sekitar 200 orang.
Tayangan televisi memperlihatkan Won-won sedang menghibur kerabat korban pembantaian.
"Bukan hanya keluarga saya, tapi saya juga seorang pendosa yang jelek," kata Woo-won, mengungkapkan rasa terima kasihnya atas kesempatan untuk meminta maaf kepada warga Gwangju yang katanya telah menyambutnya dengan hangat.
Ia juga mengatakan dirinya berniat untuk menghadiri upacara tahunan yang menandai ulang tahun gerakan demokrasi yang dijadwalkan pada 18 Mei.
Woo-won telah menarik perhatian media secara luas setelah membuat serangkaian tuduhan publik tentang penyimpangan dan dana gelap yang melibatkan anggota keluarganya di media sosial. Ia juga menjadi berita utama awal bulan ini karena pengungkapannya secara online dan melalui wawancara media tentang ketidakberesan yang melibatkan keluarganya.
Woo-won dibebaskan pada Rabu setelah ditangkap sehari sebelumnya untuk penyelidikan atas dugaan penggunaan narkoba ilegal.
Polisi membebaskan Chun sekitar pukul 19:55, sekitar 38 jam setelah dia ditangkap di Bandara Internasional Incheon setibanya dari New York pada Selasa.
Meskipun dibebaskan, polisi tetap melarang pria berusia 27 tahun itu bepergian ke luar negeri sebagai bagian dari penyelidikan.
Sang Kakek, Chun Doo-hwan, yang menjabat sebagai presiden dari 1980-1988 setelah merebut kekuasaan dalam kudeta militer 1979, dikritik secara luas karena memerintahkan pasukan untuk menggunakan kekuatan guna memadamkan pemberontakan pro-demokrasi yang menewaskan ratusan orang.
Chun, yang tidak pernah meminta maaf atas perbuatannya di Gwangju, meninggal pada tahun 2021.