Berita

Pakar Kebijakan Publik Narasi Institute, Achmad Nur Hidayat/Net

Publika

Dunia Khawatir Cara AS Tangani Runtuhnya Silicon Valley Bank

SENIN, 13 MARET 2023 | 11:39 WIB | OLEH: ACHMAD NUR HIDAYAT

SILICON Valley Bank (SVB) secara tiba-tiba dinyatakan ditutup oleh regulator AS pada Jumat (10/3) kemarin. Langkah tersebut merupakan kelanjutan dari peristiwa ramainya deposan menarik uang mereka di tengah kekhawatiran atas kesehatan keuangan bank.

Penutupan tersebut diikuti pengumuman dari Federal Deposit Insurance Corporation (FDIC), lembaga seperti LPS di Indonesia, yang menyatakan bahwa FDIC telah mengambil kendali atas simpanan pemberi pinjaman dan mentransfer aset ke entitas yang baru dibuat, Deposit Insurance Bank of Santa Clara.

FDIC mengatakan kantor SVB akan dibuka kembali pada hari Senin ini sehingga nasabah yang dananya diasuransikan dapat menarik simpanan. Namun, ternyata ada 89% simpanan bank yang tidak diasuransikan. Ini berarti ada miliaran dolar sekarang yang tidak dapat diambil oleh nasabah.

Regulotor meminta Manajemen SVB melakukan langkah bail in, yaitu meminta pemilik SVB mencari modal dari bank lain untuk bergabung dengan SVB untuk mengamankan simpanan masyarakat tanpa jaminan tersebut.

Penyebab Runtuhnya SVB

Sebelum ditutup pada Jumat 10/3, selama 1 pekan sebelumnya SVB mengumumkan bahwa mereka telah kehilangan 1,8 miliar dolar AS pada penjualan aset yang dilakukan dalam upaya untuk meningkatkan modal untuk mengimbangi arus keluar deposito, dan berencana untuk menjual sekitar 2,25 miliar dolar AS saham baru.

Pengumuman itu telah memicu lebih banyak penarikan dari nasabah. Akibatnya, saham bank anjlok 60% pada hari Kamis, dan 60% lainnya dalam perdagangan premarket pada hari Jumat.

FDIC terpaksa campur tangan dan menghentikan penjualan karena para deposan menarik uang mereka dengan terburu-buru sehingga kebangkrutan bank menjadi tidak terhindarkan.

Ada dua penyebab utama, runtuhnya SVB yang pertama adalah kesalahan fatal dari manajemen SVB Bank dan kedua adalah SVB terlalu fokus pada perusahaan rintisan.

Manajemen SVB Membuat Kesalahan Mendasar

Manajemen SVB menginvestasikan deposito jangka pendek dalam aset jangka panjang dengan suku bunga tetap. Setelah itu suku bunga jangka pendek naik dan bank gagal pun terjadi.

SVB Terlalu Fokus Financing Teknologi dan Startup

SVB merupakan Bank yang fokus kepada pembiayaan perusahaan teknologi dan start up. Bank ini memiliki aset sekitar 209 miliar dolar AS dan deposito 175,4 miliar dolar AS dan dinyatakan sebagai bank peringkat ke-16 sebagai pemberi pinjaman AS terbesar pada 2022 lalu.

SVB dikabarkan mengalami tekanan hebat karena kekhawatiran resesi, suku bunga yang lebih tinggi, dan perlambatan pasar untuk penawaran umum perdana. Faktor-faktor ini mempersulit start up untuk mengumpulkan uang tambahan dan membuat nasabah menarik simpanan mereka di SVB.

FDIC mengatakan kantor SVB akan dibuka kembali pada hari Senin sehingga deposan yang diasuransikan dapat menarik simpanan. Namun, menurut regulator, 89% simpanan bank tidak diasuransikan, yang berarti miliaran dolar sekarang mungkin terdampar.

Menurut sumber Reuters, agensi saat ini sedang mencari bank lain untuk bergabung dengan SVB untuk mengamankan simpanan tanpa jaminan.

Kehancuran SVB Mengguncang Industri Teknologi Start Up

Runtuhnya Bank yang berfokus pada teknologi dan start up menjadi bahan pembicaraan di media sosial. Angel investor seperi SVB kemarin dipuji karena peranannya dalam mengembangkan perusahaan start up teknologi di AS dan Dunia. Namun pekan ini pujian tersebut runtuh dan masa depan teknologi start up mengalami nasib di ujung tanduk.

Kegagalan SVB dianggap sebagai keruntuhan terbesar dalam sistem perbankan AS melalui kanal Mutual Fund. Pembiayaan mengunakan Mutual Fund banyak digunakan untuk pengembangan start up namun kini Mutual Fund diprediksi menjadi sumber krisis baru di sektor keuangan sejak krisis keuangan 2008 lalu.

Runtuhnya SVB telah mengirimkan gelombang tsunami melalui pasar saham Eropa dan Asia, yang anjlok pada hari Jumat karena investor mulai melepas saham bank AS karena masalah likuiditas tersebut.

Kritik Cara Penanganan Bank Gagal SVB

Banyak analis keuangan berpendapat bahwa cara otoritas keuangan AS dalam menyelamatkan bank gagal SVB dinilai tidak tepat. Otoritas keuangan sengaja membiarkan SVB runtuh karena otoritas tidak melakukan bail out dan tidak memberikan jaminan kepada dana nasabah yang tidak terasuransikan.

Cara penanganan bank gagal SVB oleh otoritas keuangan AS seperti itu akan menyebabkan dampak buruk yang lebih besar baik di AS maupun di dunia. Ada konsekuensi mengerikan yang akan dihadapi sektor perbankan setelah ledakan Silicon Valley Bank (SVB). Dampak sistemik akan bermunculan seperti krisis ekonomi yang lebih luas di AS dan Di Dunia.

Cara penanganan bank gagal terhadap SVB termasuk tidak lazim di AS. Otoritas keuangan AS biasanya rutin melakukan bail out terhadap bank gagal seperti yang diakukan pada krisis keuangan 2008 lalu.

Mereka menerapkan the lender of last resort di mana regulator kerap melakukan bail out dan menjamin semua uang nasabah yang ditempatkan pada bank gagal bayar tersebut.

Di Indonesia, kita mengenal Bank Century yang di-bail out oleh otoritas keuangan Indonesia dan akhirnya diselamatkan menjadi bank entitas baru bernama J Trust Bank.

Permainan Berubah dan Konsekuensinya

Apa yang terjadi pada SVB yang dibiarkan runtuh adalah satu sinyal bahwa permainan penyelamatan bank sudah berubah. Dulu dikenal istilah penyelamatan menggunakan konsep bail out, namun kini penyelamatan menggunakan konsep bail in di mana pemilik bank yang harus bertanggungjawab dalam menyelamatkan bank sendiri. Tidak ada lagi uang publik untuk menyelematkan para pemilik bank.

Perubahan tersebut dampak dari tekanan publik dan para tax payers yang tidak terima pajaknya digunakan untuk mengompensasi kesalahan para oligarki perbankan seperti sebelumnya. Pelajaran dari krisis keuangan 2008 lalu.

Namun perubahan permainan "bail in" terhadap SVB punya konsekuensi serius di masa depan dan dapat menyebabkan kehancuran perbankan yang besar.

Setelah kejadian runtuhnya SVB, Dunia kini menyadari apa artinya simpanan nasabah yang tidak diasuransikan. Pelajaran dari SVB, menyebabkan para nasabah yang memiliki simpanan nasabah yang tidak diasuransikan segera menarik dananya di sejumlah bank lainnya.

Efek penarikan dana yang masif tersebut akan menyebakan runtuhnya bank-bank serupa SVB yang khususnya jenis bank yang menggunakan skema mutual fund dalam pembiayaan perusahaan start up.

Third round effect yang mungkin dapat terjadi dari runtuhnya SVB adalah tutupnya banyak perusahaan start up di seluruh dunia. Mereka ada ribuan usaha yang dikenal sebagai entitas bisnis yang paling cepat dan paling inovatif di dunia. Kekurangan modal terhadap perusahaan start up akan menyebabkan perusahan tersebut akan gagal melakukan penggajian di masa depan.

Four round effect lain akan terjadi manakala setelah SVB, banyak bank lain runtuh khususnya mereka yang bergerak membiayaan start up, maka keruntuhan bank akan segera menyebar ke seluruh nadi keuangan dunia dan memunculkan krisis keuangan baru di tahun 2023. Ini adalah pengulangan siklus 15 tahunan dari krisis keuangan 2008 sebelummnya.

Semoga efek runtuhnya SVB tidak menyebabkan "goncangan besar" bagi dunia keuangan di Indonesia, meski sebenarnya banyak lembaga keuangan baik BUMN maupun swasta yang melakukan skema mutual fund yang sama untuk membiayai start up di Indonesia.

Meski demikian, otoritas keuangan Indonesia harus berhati-hati mencermati dampak runtuhnya SVB terhadap sektor keuangan Indonesia. Paling tidak dengan melakukan update pengawasan terbaru sehingga pantauan risiko sistem perbankan menjadi efektif.

Patut diingat bahwa bank gagal terjadi karena lemahnya pengawasan risiko sistem keuangan yang dilakukan oleh para otoritas keuangan. Manajemen bank mungkin melakukan kesalahan namun kenapa kesalahan tersebut dibiarkan itu adalah tanggung jawab otoritas stabiltias sistem keuangan, yang kini menggunakan UU Omnibus Law sektor keuangan PPSK terbaru adalah tanggung jawab bersama antara Bank Indonesia, OJK, LPS dimana Kementerian Keuangan merupakan leading sector-nya.

Penulis adalah Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik Narasi Institute

Populer

KPK Kembali Periksa Pramugari Jet Pribadi

Jumat, 28 Februari 2025 | 14:59

Sesuai Perintah Prabowo, KPK Harus Usut Mafia Bawang Putih

Minggu, 02 Maret 2025 | 17:41

Digugat CMNP, Hary Tanoe dan MNC Holding Terancam Bangkrut?

Selasa, 04 Maret 2025 | 01:51

Lolos Seleksi TNI AD Secara Gratis, Puluhan Warga Datangi Kodim Banjarnegara

Minggu, 02 Maret 2025 | 05:18

CMNP Minta Pengadilan Sita Jaminan Harta Hary Tanoe

Selasa, 04 Maret 2025 | 03:55

KPK Terus Didesak Periksa Ganjar Pranowo dan Agun Gunandjar

Jumat, 28 Februari 2025 | 17:13

Bos Sritex Ungkap Permendag 8/2024 Bikin Industri Tekstil Mati

Senin, 03 Maret 2025 | 21:17

UPDATE

Tekuk Fiorentina 2-1, Napoli Tak Biarkan Inter Tenang

Senin, 10 Maret 2025 | 01:21

Polda Jateng Tegas Larang Petasan Sepanjang Ramadan

Senin, 10 Maret 2025 | 00:59

Kluivert Tiba di Jakarta Ditemani Mantan Pemain Man United

Senin, 10 Maret 2025 | 00:41

Cegah Bencana Seperti di Jabotabek, Menteri ATR/BPN Evaluasi Tata Ruang di Jatim

Senin, 10 Maret 2025 | 00:25

Asiang Versus JACCS MPM Finance, Peneliti IPD-LP Yakin Hakim MA Lebih Adil

Minggu, 09 Maret 2025 | 23:58

Beri Bantuan untuk Korban Banjir di Candulan, Okta Kumala Dewi Berharap Ada Solusi Jangka Panjang

Minggu, 09 Maret 2025 | 23:41

PSU Empat Lawang Diikuti Dua Paslon, Pencoblosan pada 19 April 2025

Minggu, 09 Maret 2025 | 23:20

Update Banjir dan Longsor Sukabumi: 5 Orang Wafat, 4 Orang Hilang

Minggu, 09 Maret 2025 | 22:44

Menanti Keberanian Kejagung Bongkar Biang Kerok Korupsi Migas

Minggu, 09 Maret 2025 | 22:30

PTPN IV PalmCo Siapkan 23 Bus untuk Mudik di Sumatera dan Kalimantan

Minggu, 09 Maret 2025 | 22:18

Selengkapnya