Berita

Managing Director PEPS, Anthony Budiawan/Net

Publika

Proyek ERP: Upaya Atasi Kemacetan atau Upaya Oligarki “Palak” Warga?

OLEH: ANTHONY BUDIAWAN*
SENIN, 13 FEBRUARI 2023 | 10:50 WIB

ERP (Electronic Road Pricing) adalah jalan (dalam kota) berbayar, biasanya untuk mengatasi kemacetan. ERP lebih “kejam” dari jalan tol bebas hambatan berbayar.

Dalam hal jalan tol, masyarakat mempunyai pilihan apakah akan menggunakan jalan tol atau tidak, karena selalu tersedia jalan alternatif non-tol. Tetapi, dalam hal ERP, masyarakat harus melewati jalan berbayar tersebut kalau tujuannya berada di dalam kawasan ERP.

Pemerintah daerah (Pemda) Jakarta berencana menerapkan ERP dalam waktu dekat. Sebenarnya wacana ERP sudah didengar jauh sebelum ini. Apakah ini merupakan “proyek” yang tertunda?


Kawasan yang masuk ERP cukup luas, sekitar 25 ruas jalan, mungkin bisa diperluas lagi. Tarif ERP juga termasuk mahal, antara Rp5.000 sampai Rp19.000 setiap kali masuk kawasan. Mungkin lebih mahal dari tarif per km jalan tol. Bahkan ada yang bilang tarif ERP bisa dinaikkan lagi, kalau perlu sampai Rp75.000. Luar biasa.

Jam operasional ERP juga sangat panjang, tidak tanggung-tanggung, dari jam 05.00 hingga jam 22.00, setiap hari. Apakah benar jam operasional yang panjang ini hanya bertujuan untuk mengatasi kemacetan? Apa ada kemacetan jam 05.00 pagi?

Menurut Pemda Jakarta, tujuan penerapan sistem ERP untuk mengatasi kemacetan Jakarta. Padahal Pemda Jakarta sudah menjalankan sistem ganjil-genap sejak 2016, untuk mengatasi kemacetan Jakarta tersebut. Lalu, kenapa sekarang mau diganti dengan sistem berbayar ERP?

Apa motif sebenarnya penerapan sistem ERP ini? Apakah hanya untuk pengadaan proyek semata? Untuk siapa?

Warga Jakarta menuntut Pemda Jakarta menjelaskan secara transparan apa dasar  penerapan sistem ERP.

Pertama, Pemda Jakarta harus menjelaskan bagaimana hasil pelaksanaan sistem ganjil-genap selama ini, apakah sudah ada evaluasi dan kajiannya? Kalau sistem ganjil-genap ternyata gagal mengatasi kemacetan, sehingga mau diganti dengan sistem ERP, Pemda Jakarta harus menyatakan secara terbuka kepada publik bahwa sistem ganjil-genap, yang sudah menyusahkan warga Jakarta, sebagai kebijakan gagal.

Selama tidak ada evaluasi dan pernyataan bahwa sistem ganjil-genap gagal, Pemda Jakarta tidak berhak menerapkan sistem berbayar ERP, karena dasar diberlakukannya kebijakan publik ini tidak jelas dan tidak kuat. Terkesan hanya untuk pengadaan proyek saja untuk “memeras” warga.

Kedua, Pemda Jakarta harus menjelaskan siapa investor sistem ERP, apakah Pemda langsung atau ada investor pihak ketiga.

Kalau ada investor pihak ketiga, Pemda Jakarta harus menjelaskan bagaimana cara pengadaan sistem ERP tersebut, apakah beli putus atau bagi hasil? Pemda Jakarta juga harus mengumumkan siapa investor pihak ketiga tersebut.

Kalau bagi hasil, berapa untuk investor dan berapa untuk Pemda Jakarta? Kalau bagi hasil, pemberlakuan jam operasional ERP yang sangat panjang tersebut (jam 05.00 hingga 22.00) patut diduga untuk menguntungkan investor?

Ketiga, sistem ERP hanya diterapkan di negara maju dengan sistem transportasi sangat baik dan pendapatan (per kapita) sangat besar.

Sistem ERP sejauh ini hanya diterapkan di Singapore, Jerman, Swedia, Inggris, dengan pendapatan per kapita pada 2021 masing-masing 72.794 dolar AS, 51.204 dolar AS, 61.029 dolar AS dan 46.510 dolar AS. Sedangkan pendapatan per kapita Indonesia pada 2021 hanya 4.333 dolar AS.

Artinya, Indonesia masuk negara berpendapatan menengah (antara bawah dan atas), sehingga tidak layak menerapkan sistem ERP. Selain juga, sistem transportasi publik Jakarta masih belum baik, masih buruk.

Jangan sampai ketidakmampuan pejabat Pemda Jakarta dalam mengatasi kemacetan Jakarta, dan kegagalan membangun transportasi publik, dibebankan kepada warga Jakarta dengan cara menerapkan sistem berbayar ERP. Kebijakan publik seperti ini, untuk menutupi kegagalan Pemda Jakarta, tidak boleh terjadi.

Maka itu, warga Jakarta wajib menolak solusi mengatasi kemacetan dengan cara berbayar.

*Penulis adalah Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies)


Populer

Bobby dan Raja Juli Paling Bertanggung Jawab terhadap Bencana di Sumut

Senin, 01 Desember 2025 | 02:29

NU dan Muhammadiyah Dikutuk Tambang

Minggu, 30 November 2025 | 02:12

Padang Diterjang Banjir Bandang

Jumat, 28 November 2025 | 00:32

Sergap Kapal Nikel

Kamis, 27 November 2025 | 05:59

Peluncuran Tiga Pusat Studi Baru

Jumat, 28 November 2025 | 02:08

Bersihkan Sisa Bencana

Jumat, 28 November 2025 | 04:14

Evakuasi Banjir Tapsel

Kamis, 27 November 2025 | 03:45

UPDATE

Puan Harap Korban Banjir Sumatera Peroleh Penanganan Baik

Sabtu, 06 Desember 2025 | 02:10

Bantuan Kemensos Telah Terdistribusikan ke Wilayah Aceh

Sabtu, 06 Desember 2025 | 02:00

Prabowo Bantah Rambo Podium

Sabtu, 06 Desember 2025 | 01:59

Pansus Illegal Logging Dibahas Usai Penanganan Bencana Sumatera

Sabtu, 06 Desember 2025 | 01:39

BNN Kirim 2.000 Paket Sembako ke Korban Banjir Sumatera

Sabtu, 06 Desember 2025 | 01:18

Bahlil Sebut Golkar Bakal Dukung Prabowo di 2029

Sabtu, 06 Desember 2025 | 01:03

Banjir Sumatera jadi Alarm Keras Rawannya Kondisi Ekologis

Sabtu, 06 Desember 2025 | 00:56

UEA Berpeluang Ikuti Langkah Indonesia Kirim Pasukan ke Gaza

Sabtu, 06 Desember 2025 | 00:47

Media Diajak Kawal Transformasi DPR Lewat Berita Berimbang

Sabtu, 06 Desember 2025 | 00:18

AMAN Raih Dua Penghargaan di Ajang FIABCI Award 2025

Sabtu, 06 Desember 2025 | 00:15

Selengkapnya