Walikota Lisbon, Carlos Moedas/Net
Langkah pemerintah ibukota Lisbon, Portugal untuk membangun altar mewah demi menyambut kedatangan Paus Fransiskus mendapat kritik dari warga.
Di media sosial, Walikota Lisbon, Carlos Moedas dikritik habis-habisan setelah terungkap dana yang dikeluarkan untuk membangun altar mencapai lebih dari 5 juta euro atau setara dengan Rp 81,6 miliar.
Surat kabar Observador pada Selasa (24/1) melaporkan kantor walikota telah menyewa perusahaan konstruksi terbesar di Portugal, Mota-Engil, untuk membangun altar dengan biaya 4,2 juta euro atau Rp 68,5 miliar.
Berdasarkan rincian kontrak, secara terpisah fondasi untuk atap altar akan dibangun oleh Oliveiras S.A dan menelan biaya tambahan hingga 1 juta euro atau Rp 16,3 miliar.
Walikota Lisbon bahkan mengakui proyek altar yang akan digunakan pada 1-6 Agustus mendatang itu sangat mahal.
"Spesifikasi panggung ditentukan dalam pertemuan yang kami lakukan dengan Hari Pemuda Sedunia, Gereja dan Tahta Suci,†ujarnya, seperti dimuat
Reuters.
Warga Portugal menghujani media sosial dengan kritik terhadap biaya fantastis tersebut, terlebih kondisi negara saat ini tengah dilanda inflasi tinggi.
Politisi kiri, Fabian Figueiredo mengatakan Portugal memiliki krisis perumahan yang belum diselesaikan, namun Lisbon tak ragu mengeluarkan dana banyak untuk altar.
"Jika krisis perumahan adalah altar untuk Hari Pemuda Sedunia, itu sudah akan diselesaikan. Masalahnya bukan kekurangan uang tetapi prioritas pengeluaran," cuit Fabian di Twitter.
Pengguna lain, yakni Manuel Barbosa, mengungkapkan kekecewaannya atas proyek berbiaya mahal yang sama sekali tidak diperlukan.
"Sebagai seorang Katolik dan seorang beriman, saya sedih dengan tampilan kemewahan yang tidak perlu ini pada saat yang sulit," ungkapnya.
Presiden Portugal, Marcelo Rebelo de Sousa yang juga seorang Katolik, membela bahwa altar akan digunakan untuk acara lain di masa depan.
Menurut Institut Statistik Nasional, di tengah lonjakan inflasi, harga sewa perumahan di Lisbon melonjak 53 persen sejak 2017, tetapi gaji tetap rendah.
Data terbaru dari Kementerian Tenaga Kerja menunjukkan lebih dari 50 persen pekerja menghasilkan kurang dari 1.000 euro atau Rp 16 juta.