Tim khusus dari Tipidter Ditreskrimsus Polda Sumsel mendatangi lahan perkebunan karet milik Abdul Mukti (74), warga Desa Pulau Panggung Kecamatan Panang Enim, Kabupaten Muara Enim, Sabtu (8/1).
Lahan perkebunan warga itu tercemar oleh aktivitas pertambangan PT Bara Anugerah Sejahtera (BAS) yang lokasinya bersebelahan. Rizal Fauzi, anak kandung pemilik lahan mengatakan, pencemaran tersebut sudah berlangsung sejak 2016 lalu.
Menurutnya, areal perkebunan miliknya itu berada bersebelahan dengan areal bench disposal perusahaan yang menjadi bagian dari Titan Group tersebut. Areal itu merupakan timbunan material overburden dan material lain dari tambang. Itu sebabnya, permasalahan ini dilaporkan ke Polda Sumsel.
“Sejak adanya penimbunan itu, kebun saya tercemar. Sebab, air buangan dari disposal itu mengalir ke kebun saya dulu sebelum menuju ke Sungai Enim dan Air Purut. Sejumlah air membuat genangan yang menimbun kebun kami,†kata Rizal dikutip dari
Kantor Berita RMOLSumsel, Senin (9/1).
Rizal mengatakan, air yang mengalir diduga membawa zat beracun yang membuat tanaman karet menjadi kurang produktif bahkan beberapa sudah ada yang mati.
Dia menjelaskan, karet yang ditanam di 2,5 hektar lahan miliknya merupakan bibit unggul dari kawasan Sembawa Banyuasin. Produksi getahnya dulu bisa mencapai 800-1 ton per bulannya. Setelah kebunnya dicemari air limpahan dari areal disposal, produksinya hanya 100 kilogram saja dalam kurun waktu tiga bulan.
Rizal menjelaskan, permasalahan pencemaran tersebut sebenarnya sudah seringkali dibicarakan dengan pihak perusahaan. Mereka sudah meminta PT BAS untuk mengganti kerusakan. Secara persuasif, keluarga sudah menemui manajemen PT BAS di kantornya. Tapi dari hasil pertemuan tersebut harga yang mereka tawarkan sangatlah rendah tanpa memperhitungkan dampak dan kerugian lainnya.
Diakuinya, pada tahun 2016, PT BAS sempat memberikan dana tali kasih atau uang kerohiman sebesar Rp3,5 juta. Namun sesudah itu tidak ada lagi pemberian dana kerohiman tersebut.
“Kalau hanya diganti dengan uang sebesar itu tentu tidaklah cukup dengan kerugian yang kami alami. Kebun itu sudah jadi salah satu sumber pendapatan keluarga,†ucapnya.
Dari situlah, Rizal menjelaskan pihaknya kemudian membuat pengaduan ke sejumlah instansi. “Sudah direspon dari kepolisian dan Inspektur Tambang. Mudah-mudahan bisa mendapat titik terang,†harapnya.
Terpisah, KTT PT BAS melalui Manager Humas PT BAS, Akwam mengatakan secara prinsip pihaknya masih menunggu hasil dari tim Tipidter Direskrimsus Polda Sumsel dan Dirjen Minerba, setelah itu baru bisa disampaikan.
“Karena masih dalam proses, sehingga kami belum bisa berkomentar,†ungkapnya.
DLH Muara Enim Pastikan BAS Cemari Sungai Enim Kasus pencemaran tersebut bukanlah yang pertama dilaporkan masyarakat. Sebelumnya, Syahril, warga Desa Pulau Panggung, Kecamatan Tanjung Agung, mengungkapkan kalau lahan perkebunan miliknya tercemar aliran limbah yang berasal dari aktivitas penambangan PT Bara Anugerah Sejahtera (BAS) yang merupakan bagian dari Titan Group ini.
Aliran limbah berupa lumpur ini telah mengalir sejak 2011 lalu. Namun, hingga kini belum ada penyelesaian dari pihak perusahaan. Baik itu upaya perbaikan maupun ganti rugi.
Syahril menceritakan, dirinya memiliki lahan seluas 18.095,40 meter persegi. Diatas lahan tersebut, banyak terdapat berbagai jenis tanaman. Mulai dari pohon Pedaro, Duku, Nangka, durian dan berbagai jenis tanaman lainnya. Dari total luas lahan itu, hanya sekitar 9.000 meter persegi yang terdampak aliran limbah.
Nah, diatas lahan yang terdampak ini, jumlah tanamannya terdiri dari pohon Pedaro 200 batang, Damar 50 batang, Manggis 50 Batang, Duku 10 Batang, Nangka 15 batang, Durian 8 batang, Mangga 5 batang, Kapahyang 5 Batang, Rambutan 14 batang.
“Jumlah tanaman yang saya hitung ini adalah yang sudah mati akibat terkena dampak aliran limbah,†kata Syahril.
Dia mengatakan, upaya negosiasi sebenarnya sudah sering dilakukan. Terhitung, ada sekitar tujuh kali pertemuan dan tak pernah membuagkan hasil.
“Kami minta ganti rugi tanam tumbuh kami yang telah rusak selama 9 tahun ini,†ucapnya.
Selain tanam tumbuh, Syahril juga meminta perusahaan melakukan pembebasan lahan. Sebab, dirinya tidak bisa mengupayakan kembali tanah yang telah tercemar tersebut.
“Mau dimanfaatkan kembali juga tidak bisa. Tanaman yang sudah ada saja sudah mati semua. Jadi saya minta tanah itu dibebaskan saja,†ungkapnya.
Dugaan pencemaran dan pengrusakan lingkungan itu juga telah ditelusuri oleh Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Muara Enim. Bahkan, DLH Muar Enim telah mengeluarkan surat No. 660.3/385/DLH-IV/2022 pada Juni 2022 lalu.
Dinas LH Kabupaten Muara Enim menemukan sejumlah fakta, yakni (1) Air tambang yang dipompakan dari PIT ke KPL 2 (KPL PIT) berwarna pekat dan tidak dikelola dengan baik; (2) Kondisi air pada setiap kompartemen di KPL 2 berwarna cokelat pekat dan pada saluran pembuangan air limbah (outlet KPL PIT) menuju Sungai Enim juga berwarna cokelat pekat dengan Total Suspended Solid (TSS) 1194,00mg/L yang sangat jauh diatas ambang batas baku mutu lingkungan yakni 300mg/L; (3) Pengelolaan air limbah di KPL Stockpile dan KPL PIT PT BAS sudah menjadi temuan berulangkali dan sudah diberikan teguran sesuai dengan ketentuan yang berlaku; dan (4) Sungai Enim selaku penerima beban air limbah dari PT BAS merupakan kebutuhan dasar bagi warga dan air Sungai Enim juga menjadi air baku dari PDAM Kota Tanjung Enim dan Muara Enim.
Tidak hanya terancam pidana dan denda miliaran rupiah atas pelanggaran UU No 32/2009 tentang Lingkungan Hidup, kerusakan lingkungan yang dilakukan oleh perusahaan ini juga melanggar ketentuan dari Pasal 508 dan Pasal 517 ayat 3 Peraturan Pemerintah No 22/2021 berupa sanksi dan denda adimistratif paling banyak Rp3.000.000.000.
Untuk diketahui, perusahaan ini merupakan bagian dari Titan Group yang bergerak di bidang sumberdaya energi batubara, memegang SK IUP bernomor 534/KPTS/DESDM/2017 dengan izin operasi produksi di wilayah seluas 2.164 ha yang berlaku sejak 23 Agustus 2017 sampai 7 Mei 2029. Perusahaan ini mendapat proper merah pengelolaan lingkungan pada 2022 lalu.