Berita

Direktur Political and Public Policy Studies (P3S), Jerry Massie/Net

Politik

Pasal Penghinaan Presiden Masuk KUHP Baru, Pengamat: Bagaimana Kalau Pejabat Sebar Hoax?

JUMAT, 09 DESEMBER 2022 | 15:43 WIB | LAPORAN: AHMAD SATRYO

Pasal penghinaan presiden dan pejabat negara yang masuk dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) baru dinilai tak adil, kalau tidak ada norma yang bisa mengatur jeratan terhadap pejabat negara yang menyebarkan berita bohong atau hoax.

Pandangan tersebut disampaikan Direktur Political and Public Policy Studies (P3S), Jerry Massie, saat dihubungi Kantor Berita Politik RMOL, Jumat (9/12).

"KUHP ini kontroversi, bisa dibekukan. Menurut petinggi DPR ini atas inisiasi pemerintah. Pertanyaan saya, untuk siapa KUHP dibuat? Untuk asing, oligarki, atau rakyat?" ujar Jerry.


Salah satu yang menimbulkan pertanyaan, disebutkan Jerry, adalah tingkat urgensi pasal penghinaan presiden. Sebabnya, muncul persepsi dari masyarakat terkait dengan pasal ini, digunakan untuk menjegal kritik-kritik terhadap pemerintah.

Oleh karena itu, doktor ilmu komunikasi politik lulusan America Global University ini memandang tidak adil bagi rakyat jika ada pembatasan penyampaian aspirasi terhadap presiden dan pejabat negara.

Sementara, menurutnya, pejabat negara sekelas presiden hingga para menterinya kebal dengan hukum ketika informasi yang disampaikannya tidak berlandaskan pada nilai-nilai akademik.

Sebagai contoh, soal informasi lelang Kepulauan Widi yang beredar di laman asal Amerika Serikat, Sotheby's Concierge Auctions, Menteri Dalam Negeri justru beralibi bahwa hal itu adalah untuk menarik investor.

Padahal, berdasarkan ilmu ekonomi, mekanisme yang dapat digunakan untuk menarik investor adalah penyertaan modal dengan memasarkannya di bursa atau melalui perusahaan sekuritas.

"Maka seharusnya UU pejabat publik, mulai dari presiden sampai DPR jika berbohong atau sebar hoax, berbicara tak jujur dan sesuai fakta, bisa dipidana maksimal 5 tahun denda Rp 1 miliar," demikian Jerry.

Populer

Soal Ijazah Jokowi, Mahfud: yang Menuduh Ditangkap, yang Dituduh Belum Diadili

Rabu, 16 April 2025 | 16:46

Alumni UGM Malu Berat Citra Kampus Rusak Gegara Ulah Jokowi

Rabu, 16 April 2025 | 08:51

Jokowi Kini Disebut Lulusan Fakultas Kedokteran UGM

Kamis, 17 April 2025 | 08:48

Microsoft Pecat Dua Insinyur yang Protes Penggunaan AI oleh Militer Israel

Senin, 14 April 2025 | 12:55

Masih Berlangsung, KPK Geledah Rumah LaNyalla Mattalitti

Senin, 14 April 2025 | 14:56

Pengacara Hotma Sitompul Meninggal Dunia

Rabu, 16 April 2025 | 12:58

Walikota Surabaya Akan Cabut Izin Perusahaan yang Tahan Ijazah Karyawan

Sabtu, 19 April 2025 | 01:32

UPDATE

PDIP: Solo Sudah jadi Kota Dagang, Tidak Perlu Diistimewakan

Kamis, 24 April 2025 | 16:04

Permintaan Melonjak, Toko Emas Mulai Batasi Pembelian Emas Batangan

Kamis, 24 April 2025 | 15:58

Sekolah Rakyat Sumedang akan Dibangun, Legislator PAN Harap Efektif Tekan Angka Putus Sekolah

Kamis, 24 April 2025 | 15:57

Ini Saran Susi Pudjiastuti Agar Kekayaan Tak Dikuasai Segelintir Orang

Kamis, 24 April 2025 | 15:56

Politikus PDIP Ungkap Ada Usulan Kota Solo Jadi Daerah Istimewa

Kamis, 24 April 2025 | 15:40

Pejabat Eropa Akui Banyak Pekerjaan untuk Capai Kesepakatan Dagang dengan AS

Kamis, 24 April 2025 | 15:39

Bahas RUU Statistik, Baleg DPR Fokus pada Hal-hal Strategis Ini

Kamis, 24 April 2025 | 15:18

DPR Panggil Dirjen Otda Bahas Usul Ratusan Pemekaran

Kamis, 24 April 2025 | 15:13

Sri Mulyani Klaim Penerimaan Pajak Menguat Usai Perbaikan Coretax

Kamis, 24 April 2025 | 15:11

Cak Imin Desak Kemenkes Investigasi Keracunan MBG

Kamis, 24 April 2025 | 14:57

Selengkapnya