Berita

Presdien Jokowi/Net

Dahlan Iskan

Kertas Mati

SABTU, 12 NOVEMBER 2022 | 04:09 WIB

SAYA kehilangan satu teman lagi: pengusaha kertas. Winarko Sulistyo. Ia punya kakak yang juga punya pabrik kertas.
Si kakak punya pabrik di Surabaya: PT Surya Kertas. Si adik punya pabrik kertas di timur Jakarta: PT Fajar Surya Wisesa.

Winarko Sulistyo, si adik, meninggal tiga hari lalu. Di Singapura. Dikremasi di sana. Saya mau kirim bunga pun tidak bisa. Tidak dibuka rumah duka di rumahnya di Menteng Jakarta.

Si kakak, Tirto Sulistyo, sudah lebih dulu meninggal dunia: 2014.

Si kakak, Tirto Sulistyo, sudah lebih dulu meninggal dunia: 2014.

Teman-teman almarhum tahu kakak-adik itu bersaing keras. Dalam keluarga. Juga dalam bisnis. Tidak ada yang mau kalah. Juga tidak mau bicara. Tapi hasilnya bagus. Dua-duanya maju.

Kalau pabrik si adik tambah mesin, si kakak juga beli mesin baru. Mesin baru pabrik kertas selalu lebih besar dan lebih modern. Adu cepat, karena kecepatan mesin menentukan kapasitas. Kian modern, kecepatan mesin kian tinggi.

Mereka juga adu lebar: kian lebar ukuran mesin pembuat kertas, kian tinggi kapasitas.
Dulu, lebar mesin kertas itu hanya sekitar 1,5 meter. Sekarang sudah ada mesin pembuat kertas dengan lebar 11 meter. Kertas yang lebar itu lantas dipotong-potong di mesin potong sesuai dengan permintaan pasar.

Saya sering bertemu kakak beradik itu. Dulu. Terutama di kegiatan kemasyarakatan. Tentu saya tidak pernah melihat mereka di satu forum yang sama. Sebenarnya mereka sembilan bersaudara tapi hanya dua itu yang saya kenal.
Saya pernah bertemu khusus dengan Tirto. Untuk minta tolong: please, bikinlah kertas koran. Saya ingin kertas koran diproduksi di dalam negeri.

Tirto minta maaf. Surya Kertas memang memproduksi berbagai macam kertas, tapi tetap tidak mau membuat kertas koran.
"Repot pak," ujarnya.

Repot yang dimaksud adalah urusan birokrasinya. Zaman itu kertas koran diatur pemerintah. Harganya pun dipatok. Kalau pabrik mau menaikkan harga, kenaikan itu harus disetujui asosiasi surat kabar (SPS).

Asosiasi wartawan (PWI) ikut bersuara: menentang. Pemerintah pun takut memutuskan. Padahal harga bahan baku naik terus.

Harga kertas impor juga naik terus. Apalagi kalau impor kertas terhambat. Maka saya berharap ada pabrik kertas di dalam negeri yang memproduksi kertas koran. Setelah gagal ke Surya Kertas saya ke pabrik kertas lain: juga tidak mau. Bingung. Kepepet.

Maka saya terpaksa memutuskan Jawa Pos mendirikan pabrik kertas koran sendiri. Saya keliling Jerman, Austria, Italia, Swiss, dan Prancis. Lebih 20 pabrik kertas saya kunjungi. Yang baru maupun yang sudah berumur 100 tahun.

Ketika ke Prancis, saya tidak pernah ke Paris, Lyon, maupun Lille. Saya dari desa ke desa. Termasuk sampai ke sepelosok Grenoble. Atau Normande. Tidak ada pabrik kertas yang di kota.

Saya agak riya' sedikit, juga keliling Tiongkok. Dan Taiwan. Sekolah. Sekolah. Sekolah. Sekolah kertas. Ini mata pelajaran baru sama sekali bagi saya: bagaimana membuat kertas.
Pikiran saya pun melambung tinggi. Jumlah koran terus bertambah. Pemakaian kertas naik terus. Kalau sudah punya pabrik kertas sendiri tidak akan pusing lagi.

Ternyata salah. Membuat pabrik kertas ternyata lebih sulit daripada membuat berita. Gambaran tidak pusing lagi ternyata keliru.
Pusingnya tidak hilang. Hanya pindah: pabrik kertas itu sering berhenti.

Pusingnya tuh di sini:  listri PLN begitu sering mati. Byar-pet. Kena giliran. Atau mati sendiri. Kalau hujan mati. Angin kencang mati. Padahal pabrik sebesar itu tidak boleh berhenti-berhenti.
Maka, kelak, dua tahun kemudian, saya sekolah lagi. Keliling lagi. Mata pelajaran baru lagi: bikin pembangkit listrik. Tidak mau lagi tergantung hanya ke PLN.

Jinjen tidak mau menolong saya. Saya memaklumi alasannya. Masuk akal. Akhirnya penolakan itu telah memaksa saya maju: mendirikan pabrik kertas.
Mbak Tutut yang meresmikannya. Bersama Jenderal Hartono.

Saya undang Sulistyo bersaudara, saya lupa apakah mereka datang. Perhatian saya terfokus ke Mbak Tutut yang lagi terang sinarnyi.
Tahun 2013, ketika agak jauh dari Surabaya, saya mendengar: Surya Kertas dalam keadaan sulit. Ia tidak mau minta tolong adiknya. Atau adiknya tidak mau menolong kakaknya. Kesulitan itu begitu sulit. Surya Kertas dipailitkan orang. Pailit.

Tak lama kemudian saya mendengar berita duka: Tirto meninggal dunia. Ia memang sering sakit. Punya komorbid gula darah.
Setahun berikutnya saya dengar drama ini: dalam proses kepailitan itu terjadi kecurangan. Ditemukanlah fakta kuratornya dianggap bermain. Diadukanlah kurator itu ke polisi. Sang kurator ditahan.

Tahun 2015 keluar putusan Mahkamah Agung. Putusan pailit pengadilan negeri Surabaya itu dibatalkan. Surya Kertas sudah telanjur babak belur. Pemiliknya telanjur meninggal dunia.

Yang menarik, apa pun persoalan di antara mereka sang adik tidak tega Surya Kertas tutup alias meninggal dunia. Maka perusahaan itu diambil alih sang adik. Jadilah sang adik punya dua pabrik kertas besar.

Sang adik dikenal sebagai orang baik. Pekerja amat keras. Disiplin. Inilah salah satu pengakuan mantan manajer seniornya:
"Saya 17 tahun sebagai salah satu asisten terdekat Pak Winarko Sulistyo. Dalam keseharian di kantor beliau seorang  pemimpin karismatis.. yang gigih..berani..low profile ..bicara terbuka dengan bawahan...pantang menyerah..berkemauan keras untuk kemajuan perusahaan".

"Setiap ekspansi besar perhitungannya matang sehingga membuat beliau sukses....secara tidak langsung saya banyak belajar dari beliau. Kita bekerja tidak ada kata tidak bisa jika ada kemauan..keinginan..mencari tahu. Kalau kita berusaha dan mau belajar pasti bisa..jadi  jangan pernah berkata tidak bisa.. .ini motto yang selalu saya ingat sampai hari ini".

Dia tidak kaget mantan bosnya itu meninggal. Usianya sudah 76 tahun. Sudah sering berobat ke Singapura karena memang punya rumah di sana. Ia punya komorbid yang sama dengan kakaknya: gula darah.

Sang adik juga dikenal tidak mau menyusahkan orang. Maka ketika meninggal dunia jenazahnya minta dibakar saja. Itu pun cukup dilakukan di Singapura. Tidak usah repot mengurus jenazah pulang ke Indonesia. Kremasinya pun dilakukan hanya sehari setelah meninggal dunia.

Demikian juga poster digital berita dukanya. Sangat sederhana. Tidak menyebut di rumah sakit mana meninggal, tanggal 8 November itu jam berapa. Pun tidak menyertakan nama Vilia, istrinya.

Di Poster perkabungan itu juga tidak ada nama anak-anak, menantu, dan cucu. Tidak ada karangan bunga. Tidak ada rumah duka. Tidak ada yang melayat.

Yang lebih hebat dari sang kakak adalah: exit strategy bisnisnya. Ketika sudah tua dan sering sakit ia bikin putusan besar: pabrik kertas itu dijual. Pembelinya perusahaan Thailand. Grup Siam Cement. Salah satu produk Fajar Surya Wisesa adalah kertas kraft. Bisa dipakai untuk sak semen.

Harga jualnya sangat baik. Jauh melebihi untuk biaya ke surga: Rp 9,7 triliun.
Sang kakak biasa dipanggil Jin-jen.Sang adik dipanggil Jin-guo.

Amitohu: dua-duanya sudah rukun kembali di surga Tuhan mereka.

Populer

Mantan Jubir KPK Tessa Mahardhika Lolos Tiga Besar Calon Direktur Penyelidikan KPK

Rabu, 24 Desember 2025 | 07:26

Mantan Wamenaker Noel Ebenezer Rayakan Natal Bersama Istri di Rutan KPK

Kamis, 25 Desember 2025 | 15:01

Camat Madiun Minta Maaf Usai Bubarkan Bedah Buku ‘Reset Indonesia’

Selasa, 23 Desember 2025 | 04:16

Sarjan Diduga Terima Proyek Ratusan Miliar dari Bupati Bekasi Sebelum Ade Kuswara

Jumat, 26 Desember 2025 | 14:06

Adik Kakak di Bekasi Ketiban Rezeki OTT KPK

Senin, 22 Desember 2025 | 17:57

8 Jenderal TNI AD Pensiun Jelang Pergantian Tahun 2026, Ini Daftarnya

Rabu, 24 Desember 2025 | 21:17

Ketika Kebenaran Nasib Buruh Migran Dianggap Ancaman

Sabtu, 20 Desember 2025 | 12:33

UPDATE

Program Belanja Dikebut, Pemerintah Kejar Transaksi Rp110 Triliun

Sabtu, 27 Desember 2025 | 08:07

OJK Ingatkan Risiko Tinggi di Asuransi Kredit

Sabtu, 27 Desember 2025 | 07:48

Australia Dukung Serangan Udara AS terhadap ISIS di Nigeria

Sabtu, 27 Desember 2025 | 07:32

Libur Natal Pangkas Hari Perdagangan, Nilai Transaksi BEI Turun Tajam

Sabtu, 27 Desember 2025 | 07:17

Israel Pecat Tentara Cadangan yang Tabrak Warga Palestina saat Shalat

Sabtu, 27 Desember 2025 | 07:03

Barzakh itu Indah

Sabtu, 27 Desember 2025 | 06:38

Wagub Babel Hellyana seperti Sendirian

Sabtu, 27 Desember 2025 | 06:21

Banjir Cirebon Cermin Politik Infrastruktur Nasional Rapuh

Sabtu, 27 Desember 2025 | 06:13

Jokowi sedang Balas Dendam terhadap Roy Suryo Cs

Sabtu, 27 Desember 2025 | 06:06

Komdigi Ajak Warga Perkuat Literasi Data Pribadi

Sabtu, 27 Desember 2025 | 05:47

Selengkapnya