Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri/Net
Beragam skema koalisi partai dalam menghadapi pemiihan presiden (Pilpres) tahun 2024 mendatang bermunculan akhir-akhir ini. Terbaru, muncul spekulasi tentang kemungkinan PDIP akan bergabung dalam koalisi bersama Partai Gerindra.
Demikian pendapat Direktur Eksekutif Institute for Democracy & Strategic Affairs (Indostrategic) A. Khoirul Umam kepada Kantor Berita Politik RMOL, Minggu (6/11).
Umam menganalisa, peluang itu atas dasar 3 argumentasi. Pertama, Gerindra dan PDIP bisa melakukan
trade-off (tarik ulur) untuk saling menguatkan. Tujuannya, untuk mencapai kemenangan di Pemilu 2024 mendatang.
Sebab, kata Umam, selaku capres Prabowo memiliki basis elektoral yang cukup terjaga meskipun elektabilitas Gerindra belum mampu melampaui PDIP. Di sisi lain, PDIP masih bertahan sebagai partai dengan kekuatan paling prima menjelang Pemilu 2024.
"Dua kekuatan itu bisa bersimbiosis hingga melahirkan mesin politik yang prima, terlebih jika PKB bersedia bertahan di koalisi, untuk mengonsolidasikan dukungan basis pemilih Nahdliyyin," demikian analisa Umam.
Argumentasi kedua, urai Umam, ada dinamika internal di PDIP antara kubu pendukung Puan dan pendukung Ganjar. Masalahnya, Ganjar sebagai figur yang memiliki elektabilitas tinggi tampaknya masih kesulitan untuk meyakinkan elite PDIP untuk bersedia menerimanya.
Pandangan Umam, PDIP sulit menerima Ganjar karena sikap genit, ketidaksabaran, dan ketidakmampuan Ganjar dalam menempatkan diri, hingga akhirnya mendapatkan peringatan langsung dari DPP PDIP.
"Megawati tentu berpikir ulang, jika belum memegang kekuasaan ia sudah off-side berkali-kali, maka saat kekuasaan ia pegang, ia bisa berlari meninggalkan mekanisme kontrol yang dijalankan di internal partainya," analisa Umam.
Selain itu, Umam melihat elite PDIP tidak mau diintervensi oleh angka-angka persepsi elektabilitas di atas kertas. Mereka lebih ingin memberikan dukungan pada kadernya yang berjasa dan bekerja keras membesarkan serta mengelola partai setiap hari.
"Jika dalam musim Pilpres tiba-tiba ada yang merasa "kegantengan" datang dengan membawa elektabilitas tapi tidak memiliki kontribusi riil bagi partai, maka wajar jika resistensi di internal partainya cukup tinggi. Ibarat kata, siapa yang ngopeni (partai), dan siapa yang menikmati, tidak sinkron," urai Umam,
Dosen Universitas Paramadina ini menyampaikan argumentasi ketiganya bahwa peluang jika PDIP akhirnya menyatu bersama Gerindra, maka hal itu lagi-lagi bisa dibaca sebagai implementasi "politik tingkat tinggi". Keyakinan Umam, sebagai politisi senior, janji adalah representasi harga diri.
Bagi Umam, dalam konteks ini, Megawati ingin dikenal sebagai politisi senior yang paripurna, yang siap melunasi utang politik yang telah lama ia catatkan dalam Perjanjian Batu Tulis.
"Bagi seorang politisi senior sekelas Megawati, trust dan komitmen lebih utama ketimbang pragmatisme. Ibarat "Sabdo Pandito Ratu", pantang baginya untuk mengkhianati janjinya," demikian Umam menekankan.
Namun demikian, dalam pandangan Umam, jika PDIP bersatu dengan Gerindra, besar kemungkinan PDIP akan memveto Gerindra untuk mengunci posisi Cawapres.
"Di sini, wacana tentang komposisi Prabowo-Puan kembali relevan dan layak dipertimbangkan. Skema ini tentunya mengancam ambisi Ketum PKB Muhaimin Iskandar untuk maju mendampingi Prabowo sebagai Cawapres dalam Pilpres 2024 mendatang," pungkasnya.