Berita

Pemerhati sejarah, Arief Gunawan/Net

Publika

Motif Tiga Periode di Balik RUU KUHP?

SENIN, 11 JULI 2022 | 08:54 WIB | OLEH: ARIEF GUNAWAN

ORANG Belanda waktu menjajah punya Gubernur Jenderal paling brutal dalam menggunakan Pasal-pasal Karet (Haatzaai Artikelen) yang ada di dalam Kitab Hukum Pidana Hindia Belanda (Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie) atau KUHP.

Gubernur Jenderal Cornelis De Jonge yang berkuasa 1931 hingga 1936, di akhir jabatannya mau melanjutkan periode kekuasaan Belanda di Indonesia dengan menyatakan keyakinan Belanda akan tetap menjajah 300 tahun lagi, berdasarkan rust en orde (ketenangan dan ketertiban).

Sehingga di sidang Volksraad, 1931, De Jonge berkata, akan menggunakan tangan besi untuk menghadapi para “penghasut”. Yang tak lain para tokoh pergerakan kemerdekaan.


Sejarawan John Ingleson di dalam bukunya “Jalan ke Pengasingan: Pergerakan Nasionalis Indonesia Tahun 1927-1934”, melukiskan watak De Jonge sebagai:

“Seorang otoriter yang tak toleran dan tak punya waktu untuk mendengarkan kritik dari sebangsanya sendiri, apalagi dari orang Indonesia ...”.

De Jonge menggunakan pasal-pasal karet untuk memenjarakan Sukarno dan lainnya. Memperluas penggunaan kamp interniran Boven Digul, bukan  hanya untuk tokoh-tokoh PKI dan para simpatisannya yang terlibat Pemberontakan 1926, tapi juga menjadikan tempat pengasingan bagi para tokoh pergerakan non-PKI, seperti Hatta dan Sutan Sjahrir.

Terhadap para pendiri sekolah-sekolah rakyat seperti Ki Hadjar Dewantara ia mengenakan pasal karet tentang tuduhan penyebaran kebencian. Melengkapi ordonansi sekolah liar (wilde schoolen ordonantie) yang diterbitkannya.

De Jonge menolak memberikan pengakuan kepada organisasi pergerakan nasional, membatasi hak untuk mengadakan pertemuan. Setiap pertemuan politik harus lebih dulu memberitahu pejabat setempat yang memiliki hak untuk melarang, yang harus disampaikan lima hari sebelumnya.

Partai politik secara ketat juga diawasi melalui Badan Intelijen Politik (Politieke Inlichtingen Dienst).

Era otoriter De Jonge berbarengan dengan depresi ekonomi atau Malaise. De Jonge tak menginginkan Malaise yang berdampak pada kegagalan ekonomi Hindia Belanda dimanfaatkan oleh para tokoh pergerakan kemerdekaan untuk menyulut partisipasi rakyat.

Ia memaksimalkan penggunaan pasal-pasal karet agar rakyat  tak punya pemimpin, sehingga bagaikan “als een kuiken achtergelaten door zijn moeder”, atau anak ayam yang ditinggal oleh induknya.

Sejarawan John Ingleson di dalam bukunya lebih jauh menulis:

“De Jonge adalah seorang konservatif tulen yang bertekad tidak akan mentolerir para tokoh pergerakan Indonesia yang menurutnya sok jago dan omong kosong...”.

Apa motif De Jonge bersikap otoriter dengan menggunakan pasal-pasal karet ?

Tak lain untuk mempertahankan kekuasaan Belanda di masa sulit Malaise.

Dalam konteks hari ini pertanyaan mirip-mirip seperti itu juga dapat diajukan: apa motif pembahasan RUU KUHP yang di dalamnya tersimpan pula semangat untuk mempertahankan pasal-pasal karet ?

Sesuai ketentuan konstitusi durasi  kekuasaan rezim hari ini kurang lebih hanya tinggal sekitar dua tahun, apa korelasinya dengan pembahasan RUU KUHP ? Apakah bagian dari skenario “pengamanan” perpanjangan masa jabatan presiden, untuk menindas sikap kritis kelompok-kelompok pro demokrasi dan pro konstitusi  ?

Atau seperti diungkapkan oleh tokoh nasional Dr Rizal Ramli di akun twitter-nya baru-baru ini “mau lebih ganas dan otoriter dari zaman Orba ...” ?

Isu perpanjangan masa jabatan presiden sudah menjadi persoalan laten, sehingga lumrah RUU KUHP juga dibaca publik sebagai bagian untuk memuluskan rencana perpanjangan tersebut.
 
Spirit De Jonge yang berwatak brutal dalam menjalankan hukum tampaknya mau diteruskan. Watak yang menunjukkan ketidaknalaran, karena menyeret mundur demokrasi.

Dalam bahasa Latin, Brutus, Brutto, Brutal, punya akar kata yang sama.

Brutusaum berarti kasar. Bodoh. Brutus-brutum berarti tak bisa bergerak. Menunjukkan watak yang tidak berubah. Tidak bergeser, keras kepala, dalam arti goblok.

Penulis adalah pemerhati sejarah

Populer

Bobby dan Raja Juli Paling Bertanggung Jawab terhadap Bencana di Sumut

Senin, 01 Desember 2025 | 02:29

NU dan Muhammadiyah Dikutuk Tambang

Minggu, 30 November 2025 | 02:12

Padang Diterjang Banjir Bandang

Jumat, 28 November 2025 | 00:32

Sergap Kapal Nikel

Kamis, 27 November 2025 | 05:59

Peluncuran Tiga Pusat Studi Baru

Jumat, 28 November 2025 | 02:08

Bersihkan Sisa Bencana

Jumat, 28 November 2025 | 04:14

Evakuasi Banjir Tapsel

Kamis, 27 November 2025 | 03:45

UPDATE

Puan Harap Korban Banjir Sumatera Peroleh Penanganan Baik

Sabtu, 06 Desember 2025 | 02:10

Bantuan Kemensos Telah Terdistribusikan ke Wilayah Aceh

Sabtu, 06 Desember 2025 | 02:00

Prabowo Bantah Rambo Podium

Sabtu, 06 Desember 2025 | 01:59

Pansus Illegal Logging Dibahas Usai Penanganan Bencana Sumatera

Sabtu, 06 Desember 2025 | 01:39

BNN Kirim 2.000 Paket Sembako ke Korban Banjir Sumatera

Sabtu, 06 Desember 2025 | 01:18

Bahlil Sebut Golkar Bakal Dukung Prabowo di 2029

Sabtu, 06 Desember 2025 | 01:03

Banjir Sumatera jadi Alarm Keras Rawannya Kondisi Ekologis

Sabtu, 06 Desember 2025 | 00:56

UEA Berpeluang Ikuti Langkah Indonesia Kirim Pasukan ke Gaza

Sabtu, 06 Desember 2025 | 00:47

Media Diajak Kawal Transformasi DPR Lewat Berita Berimbang

Sabtu, 06 Desember 2025 | 00:18

AMAN Raih Dua Penghargaan di Ajang FIABCI Award 2025

Sabtu, 06 Desember 2025 | 00:15

Selengkapnya