Berita

Ilustrasi RKUHP/Net

Publika

RKUHP dan Potensi Pelanggaran HAM

OLEH: MUHAMMAD RASYID RIDHA S
SENIN, 20 JUNI 2022 | 20:12 WIB

RANCANGAN Kitab Undang-undang Hukum Pidana baru atau RKUHP yang dirumuskan oleh Pemerintah Indonesia dan Parlemen telah menimbulkan kontroversi besar. Selain hingga saat ini draf RKUHP yang digodok di DPR-RI seolah lenyap dan disembunyikan begitu saja sehingga masyarakat publik tidak dapat mengaksesnya, juga di dalam draf RKUHP tersebut masih terdapat beberapa pengaturan yang berhubungan dengan isu-isu kontroversial.

Meski terdapat segelintir opini yang menyatakan bahwa RKUHP dibutuhkan agar Indonesia memiliki produk asli di bidang hukum pidana, namun sebagian lainnya berpendapat jika muatan hukum dalam RKUHP justru berbahaya bagi kepastian hukum dan perlindungan hak asasi manusia di Indonesia.

Dalam perdebatan ini, setidaknya terdapat beberapa substansi dalam RKUHP (draft versi September 2019) yang berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum dan pelanggaran hak asasi manusia.


Pertama, dalam Pasal 2 ayat 1 RKUHP disebutkan bahwa setiap orang dapat dipidana berdasarkan hukum yang hidup dalam masyarakat sekalipun perbuatan yang dilakukan oleh orang tersebut tidak diatur dalam KUHP. Ketentuan ini berpotensi menimbulkan over-kriminalisasi dan sangat mungkin diterapkan secara sewenang-wenang, karena tanpa dasar hukum tertulis yang jelas, siapa pun dapat dipidana jika perbuatannya dianggap bertentangan dengan nilai atau adat kebiasaan setempat. Dan tidak jelas juga siapa yang yang memiliki legitimasi untuk menentukan suatu nilai adalah nilai yang hidup di masyarakat, sedangkan masyarakat itu sendiri cenderung dinamis dan heterogen.

Kedua, dalam RKUHP, terdapat beberapa pasal yang sarat akan potensi pelanggaran hak asasi manusia. Ini dapat dilihat dari masih adanya sanksi hukuman mati untuk sejumlah tindak pidana, delik pidana penodaan agama dan isu-isu lain yang berhubungan dengan keagamaan (Pasal 304-309 RKUHP), kriminalisasi terhadap orang-orang bukan hubungan keluarga yang tinggal di dalam satu lingkungan bangunan dan rumah (Pasal 418 RKUHP), kriminalisasi terhadap orang yang memperlihatkan alat kontrasepsi (Pasal 414 RKUHP), kriminalisasi terhadap warga fakir miskin dan tuna wisma alias gelandangan dengan penerapan sanksi denda (Pasal 431 RKUHP), dan lainnya.

Ketiga, RKUHP masih mengadopsi semangat politik hukum Pemerintah Kolonial Belanda yang cenderung represif terhadap kelompok politik alternatif. Ini dapat dilihat dari adanya pengaturan kriminalisasi terhadap kelompok dengan ideologi marxis-komunis (Pasal 188-189 RKUH), delik pidana penggantian ideologi Pancasila (Pasal 190 RKUHP), keberadaan pasal pidana makar yang berpotensi diterapkan sewenang-wenang terhadap kelompok gerakan politik alternatif (Pasal 191-196 RKUHP), pidana penghinaan presiden (Pasal 218 RKUHP), dan lainnya. Keberadaan pasal ini sangat potensial digunakan secara sewenang-wenang oleh Pemerintah khususnya terhadap kelompok maupun individu yang melakukan kritik alternatif namun dianggap mengancam stabilitas kekuasaan.

Keempat, sejumlah ketentuan hukum pidana di dalam KUHP lama yang sudah dibatalkan lewat beberapa Putusan Mahkamah Konstitusi, justru hadir kembali dalam RKUHP. Misalnya Pasal 223 dan Pasal 224 RKUHP tentang penghinaan presiden yang sudah dibatalkan melalui Putusan Mahkamah Konstitusi RI No. 013-022/PUU/IV/2006 karena dinilai tidak sesuai dengan prinsip negara hukum, mengurangi kebebasan mengekspresikan pikiran dan pendapat, kebebasan informasi, dan prinsip kepastian hukum. Kehadiran pasal-pasal yang sudah dibatalkan lewat Putusan Mahkamah Konstitusi RI, justru menunjukkan bahwa perumusan RKUHP tidak memiliki perspektif konstitusionalisme yang kuat.

RKUHP Harus Diselaraskan Dengan HAM

RKUHP Indonesia yang lebih modern dari KUHP lama produk kolonial semestinya diselaraskan dengan nilai-nilai modern hari ini, khususnya yang terkandung dalam Demokrasi dan Hak Asasi Manusia. Penyelarasan ini dapat menunjukkan bahwa Indonesia berkomitmen untuk menjadi Negara Global yang maju dan tinggi peradabannya.

Untuk itu, segala ketentuan hukum pidana dalam RKUHP yang secara substansi menyalahi semangat aturan Hukum HAM Internasional baik Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik dan Kovenan Internasional Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya maupun Konvensi-konvensi terkait lainnya harus dihapuskan.

Sebaliknya, RKUHP harus bisa menerjemahkan mandat tanggung jawab Negara dalam melindungi hak asasi manusia warga negaranya. Sinkronisasi norma perlindungan Hak Asasi Manusia seperti ini selain dapat melindungi warga, juga dapat mewujudkan kepastian hukum dan keadilan secara maksimal.

Alih-alih masih menggunakan semangat hukum pidana klasik yang lebih gila akan pemidanaan, RKUHP juga semestinya berfokus pada dekriminalisasi atau depenalisasi atas ketentuan pidana yang telah usang dan tidak relevan lagi dengan semangat modern, misalnya dengan mengalihkan mekanisme penyelesaian masalah melalui jalur non-hukum yang lebih partisipatif.

Selain itu RKUHP juga dapat lebih berfokus pada penambahan aturan hukum pidana kontemporer baru yang lebih kompleks khususnya yang berkaitan dengan kejahatan kelompok kerah putih (kelas kakap) yang menimbulkan kerugian sangat besar bagi kepentingan publik seperti permasalahan kejahatan lingkungan, masalah perlindungan data pribadi, kejahatan siber, dan lainnya.

Pemberantasan kejahatan kelompok kerah putih dalam penegakan hukum pidana menunjukkan bahwa Indonesia adalah Negara yang sistem hukumnya berpihak pada masyarakat kecil dan miskin, serta responsif terhadap masalah hukum terkini dan dapat menjawab tantangan hukum di masa depan.

Bila RKUHP gagal menjawab tantangan dan kebutuhan hukum, demokrasi, serta pemenuhan hak asasi manusia hari ini, maka sebenarnya sudah tidak ada lagi alasan urgensitas pengesahan beleid tersebut. Ini disebabkan RKUHP masih terjebak dalam logika penjajahan (kolonialis) ketimbang membawa semangat dekolonisasi agar hukum yang dirumuskan benar-benar membuat manusia merdeka dan terjamin hak asasi manusianya.

Dengan ini secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa RKUHP berpotensi menimbulkan pelanggaran hak asasi manusia jika aturan-aturan hukum di dalamnya masih bermasalah secara substansial dan disahkan di kemudian hari. Untuk itu diperlukan peninjauan ulang secara menyeluruh khususnya dengan cara mensinkronisasinya dengan aturan hukum HAM Internasional yang ada saat ini agar dapat keluar dari jebakan logika kolonialisme yang menyelubung dalam RKUHP.


*Penulis adalah Pengacara Publik LBH Jakarta

Populer

Camat Madiun Minta Maaf Usai Bubarkan Bedah Buku ‘Reset Indonesia’

Selasa, 23 Desember 2025 | 04:16

Adik Kakak di Bekasi Ketiban Rezeki OTT KPK

Senin, 22 Desember 2025 | 17:57

Ketika Kebenaran Nasib Buruh Migran Dianggap Ancaman

Sabtu, 20 Desember 2025 | 12:33

OTT KPK juga Tangkap Haji Kunang Ayah Bupati Bekasi

Jumat, 19 Desember 2025 | 03:10

Uang yang Diamankan dari Rumah Pribadi SF Hariyanto Diduga Hasil Pemerasan

Rabu, 17 Desember 2025 | 08:37

Kajari Bekasi Eddy Sumarman yang Dikaitkan OTT KPK Tak Punya Rumah dan Kendaraan

Sabtu, 20 Desember 2025 | 14:07

Terlibat TPPU, Gus Yazid Ditangkap dan Ditahan Kejati Jawa Tengah

Rabu, 24 Desember 2025 | 14:13

UPDATE

Kepala Daerah Dipilih DPRD Bikin Lemah Legitimasi Kepemimpinan

Jumat, 26 Desember 2025 | 01:59

Jalan Terjal Distribusi BBM

Jumat, 26 Desember 2025 | 01:39

Usulan Tanam Sawit Skala Besar di Papua Abaikan Hak Masyarakat Adat

Jumat, 26 Desember 2025 | 01:16

Peraih Adhyaksa Award 2025 Didapuk jadi Kajari Tanah Datar

Jumat, 26 Desember 2025 | 00:55

Pengesahan RUU Pengelolaan Perubahan Iklim Sangat Mendesak

Jumat, 26 Desember 2025 | 00:36

Konser Jazz Natal Dibatalkan Gegara Pemasangan Nama Trump

Jumat, 26 Desember 2025 | 00:16

ALFI Sulselbar Protes Penerbitan KBLI 2025 yang Sulitkan Pengusaha JPT

Kamis, 25 Desember 2025 | 23:58

Pengendali Pertahanan Laut di Tarakan Kini Diemban Peraih Adhi Makayasa

Kamis, 25 Desember 2025 | 23:32

Teknologi Arsinum BRIN Bantu Kebutuhan Air Bersih Korban Bencana

Kamis, 25 Desember 2025 | 23:15

35 Kajari Dimutasi, 17 Kajari hanya Pindah Wilayah

Kamis, 25 Desember 2025 | 22:52

Selengkapnya