Berita

Presiden Joko Widodo/Net

Publika

Reshuffle Kabinet Langkah Mundur Jokowi

KAMIS, 16 JUNI 2022 | 21:24 WIB | OLEH: DR. SYAHGANDA NAINGGOLAN

ISU pergantian menteri sudah menguras energi masyarakat karena pemberitaan yang massif dan menjanjikan perbaikan pembangunan ke depan. Meskipun, sesungguhnya dalam masa dua tahun sisa pemerintahan Jokowi janji perbaikan apapun susah untuk dilaksanakan.

Namun, perlu kita menganalisis manfaat apa yang mungkin diperoleh dari pergantian kabinet Jokowi hari ini.

Reshuffle kabinet, di dalam pemerintahan parlementer biasanya dilakukan jika sebuah partai koalisi menarik diri dari koalisi, dibentuk koalisi baru, sehingga dibentuk kabinet baru.

Jika seorang menteri perwakilan partai koalisi mundur atau terpaksa mundur karena korupsi, misalnya, perdana menteri menggantikan menteri itu dari asal partai yang sama.

Di Indonesia, dengan sistem presidensial, perombakan kabinet dilakukan presiden, utamanya, karena presiden ingin memperbaiki kinerja pemerintahannya. Itulah esensi pergantian kabinet dalam sistem presidensial. Meskipun, tidak dapat dipungkiri ada kepentingan akomodasi terhadap partai pendukung.

Merujuk pada kinerja, baik pada isu pembanguan, politik maupun kesejahteraan, tuntutan terhadap pemerintahan Jokowi sesungguhnya bermuara pada tiga hal:

Pertama, secara politik terjadi perpecahan bangsa yang sangat dalam, yang bersumber dari perbedaan pemahaman atas Pancasila dan hak-hak warganegara. Yang mana baru baru ini disinyalir Mahfud MD sebagai tantangan besar menuju 2024.

Perpecahan ini diiringi juga dengan berbagai keruntuhan indek demokrasi, pelanggaran HAM yang meningkat serta peningkatan pada agenda Islamophobia.

Di samping itu, moralitas pejabat negara dalam kerangka bebas korupsi, kolusi dan nepotisme semakin buruk. Meskipun indeks persepsi korupsi semakin baik satu poin pada CP2021, itu tidak mampu menjelaskan hancur-hancuran korupsi infrastruktur, sebagaimana pernyataan pimpinan KPK bahwa korupsi infrastruktur mencapai 35-50 persen (Sumber: berbagai media, Pahala Nainggolan, KPK, Oktober 2021)

Kedua, secara pembangunan, catatan keberhasilan atau yang diklaim keberhasilan saat ini adalah transaksi perdagangan yang surplus. Terutama dari sektor ekstraktif. Perekonomian lainnya bermasalah seperti hutang luar negeri yang melonjak mencapai lebih dari Rp 10.000 triliun, deindustrialisasi yang terus meningkat, pengangguran meningkat dan kualitas infrastruktur yang buruk.

Ketiga, sisi kesejahteraan rakyat semakin buruk. Ikhtiar pemerintah adalah ikhtiar malas, dengan bersandar pada bantuan sosial. Subsidi yang berjumlah ratusan triliun tidak menjadi kekuatan produksi rakyat, yang menciptakan lapangan kerja. Sebaliknya, berbagai kekayaan yang dihasilkan dari pengerukan habis2an sumber daya alam, baik batubara, nikel, minyak goreng, dan lain-lain, lebih memperkaya segelintir orang-orang kaya dan pejabat rakus.

Jika tiga masalah di atas merupakan inti daripada inti persoalan, maka struktur persoalan harus dijawab Jokowi dengan mereshuffle kabinet berbasis kepentingan kinerja.

Misalnya dalam hal minyak goreng, perdebatan saat ini yang dilakukan oleh Luhut Panjaitan versus menteri perdagangan baru terkait perlu tidaknya minyak curah untuk orang miskin dihapus atau tidak. Ini perdebatan aneh dari dua orang yang merasa memiliki mandat.

Luhut sebelumnya kita tahu mendapat penunjukan dari Jokowi sebagai ketua satgas penanggulangan harga dan ketersediaan minyak goreng. Harusnya, reshuffle berarti mengembalikan portofolio minyak goreng kepada menteri baru. Dengan keduanya masih ber "versus", belum jelas bagaimana pergantian kabinet ini dimaknai.

Persoalan struktural lainnya yang mestinya direspon Jokowi sebagai pertimbangan reshuffle harusnya soal kepercayaan publik bahwa pemerintahan Jokowi bebas KKN. Simbol penyalahgunaan kekuasaan dalam pemerintahan Jokowi selama ini, setidaknya yang beredar di media, adalah isu penggunaan kekuasaan oleh Luhut Panjaitan dalam bisnis PCR dan tambang-tambang.

Luhut semakin kaya ketika berkuasa, diungkap Sri Mulyani dalam konteks pembayaran pajak sang menteri. Sedangkan Erick Tohir, pada isu PCR dan penggunaan BUMN untuk pencitraan politik menyongsong pencapresan ke depan. Tentu saja Jokowi mengalami isu yang sama, dengan dugaan keterlibatan anaknya berbisnis dengan pihak-pihak yang terkait penggundulan hutan, yang bermasalah hukum, yang saat ini sedang dilaporkan Ubaidillah Badrun, ke KPK.

Rakyat berharap kedua menteri itu juga diganti. Tapi, itu tidak terjadi. Sektor infrastruktur, sebagaimana disampaikan KPK di atas, menyesakkan dada. Namun, tidak ada juga reshuffle di kementerian ini.

Dari sisi ekonomi, rakyat ingin pula adanya perubahan dalam mencari sumber-sumber pembiayaan pembangunan dan penghematan (ketepatan alokasi anggaran) dilakukan oleh Menteri Keuangan dan kepala Bapennas yang lebih baik. Bagaimana meningkatkan pendapatan pajak yang lebih tinggi secara umum dan khususnya dari sektor ekstraktif, bagaimana mencoret projek-projek mercusuar dikala ekonomi perlu penghematan, bagaimana meningkatkan transparansi pembiayaan agar korupsi bisa diperkecil dibawah 10 persen? Ini adalah masalah inti.

Sektor ini memerlukan menteri baru dan visi baru. Namun, Jokowi tidak melihat pertimbangan kinerja sektor ini penting ditingkatkan. Sehingga tidak ada perlunya pula pergantian menteri dibidang ekonomi.

Sektor pertanahan dan tata ruang, yang mengalami pergantian, tidak jelas maknanya. Sebab, Jokowi tidak memberi penjelasan terkait cita-citanya di Nawacita, yakni landreform. Jika yang diminta Jokowi urusan sengketa tanah, atau pengeluaran ijin hak guna yang diskriminatif memihak usaha besar, itu juga bukan persoalan besar.

Kecepatan urusan ijin hak guna bukan soal inti, karena sifatnya administratif. Inti persoalan yang tidak terpecahkan adalah keadilan kepemilikan tanah di Indonesia. Kenapa segelintir orang memiliki tanah jutaan hektar, sementara lainnya tidak memiliki.

Sektor kesejahteraan juga sama. Dalam masa krisis, anggaran negara harus dialokasikan seluas-luasnya untuk menciptakan projek-projek padat karya. Usaha-usaha UMKM sektor manufaktur dan usaha informal yang menyerap lapangan kerja, harus jadi agenda siang dan malam. Menteri-menteri yang terlalu banyak bicara di awang-awang, misalnya Unicorn, bisnis start-up, dan lain-lain, jelas tidak memahami persoalan inti, bahwa rakyat saat ini butuh kepastian makan dan makan.

Jokowi seharusnya mengevaluasi secara benar tentang kapasitas menteri menteri sektor kesejahteraan lalu menggantikan diantara yang tidak baik.

Terkait politik, Indonesia yang dihantui dengan perpecahan, harus direspon Jokowi dengan mengevaluasi menteri-menteri yang terkait dengan politik. Lalu menggantikan menteri yang tidak sanggup menggalang persatuan nasional.

Apa yang dilakukan Jokowi, antara gegap gempita rencana pergantian kabinet dengan hanya menggantikan dua menteri saja, merupakan langkah mundur. Kenapa mundur? Karena pergantian ini tidak mencerminkan upaya merespon tuntutan kinerja sebagai alasan pergantian.

Memang, dua tahun sisa pemerintahan Jokowi, tidak bisa banyak diharapkan untuk melakukan reformasi kinerja yang bersifat struktural. Kita tidak mungkin lagi berharap ada reshuffle berikutnya.

Ini reshuffle terakhir yang paling banyak dibicarakan media saat ini. Reshuffle yang gagal. Seharusnya, lebih baik tidak melakukan reshuffle, kalau reshuffle itu tidak memenuhi harapan publik. Sebuah pekerjaan sia-sia.

*Penulis adalah Direktur Eksekutif Sabang Merauke Circle

Populer

Bangun PIK 2, ASG Setor Pajak 50 Triliun dan Serap 200 Ribu Tenaga Kerja

Senin, 27 Januari 2025 | 02:16

Gara-gara Tertawa di Samping Gus Miftah, KH Usman Ali Kehilangan 40 Job Ceramah

Minggu, 26 Januari 2025 | 10:03

Viral, Kurs Dolar Anjlok ke Rp8.170, Prabowo Effect?

Sabtu, 01 Februari 2025 | 18:05

KPK Akan Digugat Buntut Mandeknya Penanganan Dugaan Korupsi Jampidsus Febrie Adriansyah

Kamis, 23 Januari 2025 | 20:17

Prabowo Harus Ganti Bahlil hingga Satryo Brodjonegoro

Minggu, 26 Januari 2025 | 09:14

Datangi Bareskrim, Petrus Selestinus Minta Kliennya Segera Dibebaskan

Jumat, 24 Januari 2025 | 16:21

Masyarakat Baru Sadar Jokowi Wariskan Kerusakan Bangsa

Senin, 27 Januari 2025 | 14:00

UPDATE

Karyawan Umbar Kesombongan Ejek Pasien BPJS, PT Timah Minta Maaf

Minggu, 02 Februari 2025 | 15:37

Sugiat Santoso Apresiasi Sikap Tegas Menteri Imipas Pecat Pelaku Pungli WN China

Minggu, 02 Februari 2025 | 15:30

KPK Pastikan Tidak Ada Benturan dengan Kortastipikor Polri dalam Penanganan Korupsi LPEI

Minggu, 02 Februari 2025 | 15:27

Tabung Gas 3 Kg Langka, DPR Kehilangan Suara?

Minggu, 02 Februari 2025 | 15:10

Ken Martin Terpilih Jadi Ketum Partai Demokrat, Siap Lawan Trump

Minggu, 02 Februari 2025 | 14:46

Bukan Main, Indonesia Punya Dua Ibukota Langganan Banjir

Minggu, 02 Februari 2025 | 14:45

Larangan LPG di Pengecer Kebijakan Sangat Tidak Populis

Minggu, 02 Februari 2025 | 14:19

Smart City IKN Selesai di Laptop Mulyono

Minggu, 02 Februari 2025 | 13:59

Salah Memutus Status Lahan Berisiko Besar Buat Rakyat

Minggu, 02 Februari 2025 | 13:45

Hamas Sebut Rencana Relokasi Trump Absurd dan Tidak Penting

Minggu, 02 Februari 2025 | 13:26

Selengkapnya