WALAUPUN sudah berusia lanjut dan sudah mengalami sakit serius, tetap saja kepergiannya membuatku terkejut dan menimbulkan duka mendalam.
Sebenarnya Aku telah lama mempersiapkan diri untuk menerima suratan takdir bila saatnya tiba Allah memanggilnya, tetap saja hati terasa berat melepasnya ketika waktunya tiba.
Berbagai peristiwa di masa lalu muncul kembali seakan semuanya baru saja terjadi.
Sebagai salah seorang tokoh penting di jajaran Persyarikatan, Buya telah Ku kenal melalui tulisan-tulisannya yang sangat retoris dan sering berapi-api sejak Aku di Surabaya dan masih menjadi Ketua Pemuda Muhammadiyah Jawa Timur.
Secara personal Aku mulai dekat sejak Aku hijrah ke Jakarta karena dipercaya sebagai Sekjen Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah. Pertemuan-pertemuan dengan Beliau waktu itu lebih banyak di Yogyakarta karena Buya jarang ke Jakarta.
Tahun 1998 ketika dipercaya menjabat sebagai Ketua PP Muhammadiyah, Buya terpaksa harus sering ke Jakarta. Bila di Jakarta Aku sering menemaninya, karena Beliau waktu itu tidak akrab dengan suasana Ibukota dan tidak kenal dengan banyak orang.
Beliau selalu menginap di Kantor Muhammadiyah, kalau sarapan dan makan siang selalu pesan di kantin sederhana yang berada di bagian belakang Kantor PP Muhammadiyah di Jalan Menteng Raya, tetapi kalau makan malam Beliau suka makan sate dan gule kambing di dekat Sarinah.
Aku mengunjungi Prancis untuk pertama kali atas rekomendasi lisan Beliau kepada Dubes Perancis di Jakarta. Saat itu Kedutaan Perancis memiliki program mengenalkan komunitas Islam di negaranya kepada tokoh-tokoh Islam di Indonesia.
Aku sempat diajak ke Amman, Yordania untuk menghadiri
Interfaith Dialogue. Sebenarnya Panitia hanya menyediakan satu tiket, tapi Beliau mengatakan jika Aku tidak menyertainya maka Beliau tidak akan berangkat. Akhirnya Panitia mengalah, dengan syarat hanya menyediakan satu kamar. Bagi Buya tidak masalah tidur sekamar denganku.
Inilah pertama kalinya Aku mengenal
Interfaith Dialogue. Di Kota Amman Kami bertemu Gus Dur yang waktu itu sudah menjadi Presiden RI, Alwi Sihab sebagai Menlu dan Nurcholis Madjid.
Di sini juga Aku mengenal dan berinteraksi dengan sejumlah anak muda Indonesia yang berasal dari berbagai agama yang mendampingi pemuka-pemukanya. Saat ini sebagiian besar dari mereka menjadi tokoh-tokoh penting di dunianya masing-masing.
Setiap Lebaran Aku mengunjungi Rumah Buya, dan beliau selalu ditemani Istrinya yang sangat ramah. Kalau memungkinkan Aku bawa serta anak dan istriku.
Rumah beliau mungkin cukup bagus untuk ukuran kebanyakan kader Muhammadiyah, akan tetapi terlalu sederhana untuk tokoh besar sekaliber Beliau
Setiap Aku datang, Aku meminta izin untuk mencium tangannya. Di Muhammadiyah tradisi mencium tangan tidak ada, suasana egaliter mendominasi pergaulan baik yang sebaya maupun antara senior dan yunior, kadang-kadang di mataku muncul perasaan kurang sopan khususnya antara yang muda dan yang tua.
Setiap kali Aku mencium tangannya, Buya selalu tertawa geli, kadang-kadang Beliau mengelus-elus dan menepuk-nepuk punggungku sambil menyebut namaku berulang-ulang, mungkin merasa sikapku aneh atau berbeda dibanding kader-kader muda lainnya.
Setiap kali Aku menulis artikel, selalu Aku kirim ke Beliau dengan maksud agar Beliau mengomentarinya. Tetapi harapanku tidak kunjung datang, karena itu saat Aku bertemu Aku menanyakannya. Beliau hanya menjawab singkat: "sudah bagus".
Beberapa buku yang kutulis kata pengantarnya dari Beliau. Kalau Aku memintanya Beliau tidak pernah menolak, karena itu Aku harus pandai-pandai mengukur diri di tengah kesibukannya, apalagi saat usianya mulai senja.
Buya tidak pernah telpon ke Saya, hanya sekali-sekali menggunakan WA. Beberapa bulan sebelum Aku mendapatkan tugas di Madrid, beliau minta izin untuk menerbitkan kembali tulisan yang Aku buat tentang beliau lebih dari dua puluh tahun yang lalu. Tentu saja Aku merasa tersanjung, tetapi Aku sudah lupa tentang tulisan itu, dan Aku respon apa adanya.
Buya kemudian mengirimnya melalui email, sembari minta izin untuk mengubah beberapa kalimat saja agar relefan dengan situasi saat ini. Aku menjawabnya sambil guyon dengan mengatakan "Kalau semuanya diubah juga enggak masalah".
Di mataku, Buya orangnya sangat idealis dalam ber-Muhammadiyah, berbangsa, maupun bernegara.
Dalam ber-Muhammadiyah sampai akhir khayatnya Beliau terus berjuang untuk mendirikan bangunan Mualimin milik Muhammadiyah tempatnya menimba ilmu.
Buya tidak pernah berfikir untuk membuat lembaga pendidikan di luar Muhammadiyah, karena itu Beliau sangat dihormati warga Persyarikatan.
Dalam urusan berbangsa dan bernegara, Beliau tidak punya ambisi atau selera terhadap kekuasaan. Karena itu, sikap, ucapan, dan tindakannya lepas dan sering tanpa basa-basi.
Buya juga tidak berfikir untuk menimbun harta, padahal jika mau tentu akan sangat mudah. Tahun lalu sebelum sakit, saya memediasi Beliau untuk bertemu dengan seorang pengusaha. Beliau datang ke Jakarta sudah membawa tongkat walau sering disembunyikan.
Kami sarapan di kantor sang pengusaha di Jalan Sudirman, Jakarta. Ketika saatnya tiba dan sang pengusaha meberikan isyarat, Buya mengeluarkan proposal pembangunan Mualimin lengkap dengan kekurangan dana yang masih diperlukan.
Kini tidak banyak tokoh seperti Beliau, idealis sekaligus moralis, satu kata dan perbuatan. Selamat jalan Buya dan selamat beristirahat.
Dutabesar RI untuk Kerajaan Spanyol & UNWTO