DALAM konsep lama al-Farabi (870-950 M) masyarakat bahagia (sa’adah) bisa dicapai dengan menjaga sikap, laku, dan tabiat. Ini ajaran lama yang sesuai dengan resep Yunani seperti Plato (428-347 SM) dan juga Aristoteles (384-322 SM) yang menyebut konsep udaimonia atau kebahagiaan.
Baik Plato maupun Aristoteles dalam banyak kesempatan membahas tentang masyarakat bahagia. Yaitu, masyarakat yang hidup dan berkehidupan sesuai dengan cita-cita mereka sendiri. Bangsa Indonesia tentu mencita-citakan bahagia, dalam bahasa Arab sering disebut, baldah thayyibah (negara yang baik).
Kebahagiaan dan laku itu, menurut para filosof, menyangkut individu dan masyarakat. Keduanya harus saling bersinergi. Laku baik bagi individu, juga laku baik oleh masyarakat. Tabiat juga sama, harus dijaga oleh individu dan masyarakat. Tabiat orang per-orang, juga tabiat kelompok, jamaah, atau masyarakat. Sikap juga demikian, individu sebagai anggota masyarakat harus bersikap sesuai dengan prinsip kebahagiaan, dan akibatnya masyarakat juga bahagia.
Dalam bahasa Arab diterjemahkan oleh al-Farabi menjadi fadilah (keutamaan, dalam bahasa Inggris virtue). Masyakarat yang bahagia adalah masyarakat yang mengikuti keutamaan.
Keutamaan ini tentu dikaitkan dengan kombinasi antara Yunani dan Islam, menurut para filosof Muslim. Apa yang termasuk fadilah dan apa yang termasuk dosa (fasiqah), semua kembali pada jati diri manusia.
Keutamaan mengarah kepada bahagiaan, sementara dosa, pelanggaran, dan penyimpangan pada kebangkrutan dan kesengsaraan. Konsep keutamaan ini sebetulnya hadir dalam banyak budaya dan tradisi dengan cara bermacam-macam.
Dalam sistem kerajaan Nusantara pra-kolonialisme Eropa, ada banyak tafsir tentang nilai-nilai keutamaan itu. Dalam tradisi Hinduisme yang banyak bersandar pada Ramayana dan Mahabarata, ada keutamaan yang diringkas dalam Asta Brata.
Itu terdiri dari delapan keutamaan dalam kepemimpinan sekaligus juga bagaimana kualitas masyarakat dalam interaksi pemimpin dan yang dipimpin, sebagaimana dikisahkan dalam perjuangan Sang Rama, tokoh utama dalam Kitab itu.
Dalam perjuangan membangun negeri, terutama saat ini kita sedang membangun demokrasi pasca runtuhnya orde authoritarian (semua serba terpusat), nilai delapan sesuai dengan nilai-nilai utama sebagai sifat para Dewa hendaknya dipegang dan diresepai. Baik orang per-orang atau masyarakat secara keseluruhan terikat dengan nilai-nilai itu.
Baik rakyat maupun pemerintah juga sama. Nilai utama menjadi acuan. Nilai utama itu sudah ada dalam hati nurani kita masing-masing. Nilai utama itu adalah watak dasar manusia yang sudah mengetahui kebajikan dan keburukan. Manusia mempunyai instuisi untuk membedakan keduanya.
Tradisi Islam Nusantara juga membahas tentang berbagai keutamaan itu dalam berbagai hikayat. Tafsir Islam atas tradisi Hindu dan Buddha sebagaimana sudah dilakukan selama para waskita linuwih menuturkannya.
Dalam banyak manuskrip kuno dalam bahasa sastra dan hikayat, nilai-nilai kebijakan itu diungkapkan. Itulah yang pertama dulu dilakukan oleh para peletak dasar bangsa ini; mereka mencoba mengambil intisari dari kebijakan itu, bagaimana bermasyarakat, bernegara, dan berbaghia.
Soekarno, Syahrir, M. Hatta, Maramis, Agus Salim, Tan Malaka dan terutama Muhammad Yamin sangat getol kembali ke masa lalu demi masa depan. Pancasila yang akhirnya menjadi landasan bernegara dan bermasyakarat adalah perasan dari berbagai nilai dan keutamaan yang sudah dikomunikasikan dengan kondisi dan situasi waktu itu.
Nilai-nilai lima Sila itu bisa ditafsir ulang dan bisa dikembalikan lagi pada nilai-nilai yang tersimpan dalam narasi kuno atau yang masih hidup dalam masyakarat Indonesia dari berbagai suku.
Pancasila akhirnya diterjemahkan ulang menurut tempat dan waktu. Keutamaan dalam lima Sila, kira-kira menggambarkan pengalaman para pemimpin kita selama ini. Tafsir bahagia menurut nilai kuno kita, baik yang sudah disinggung dalam Pancasila dan tafsirnya atau masih tersembunyi tampaknya perlu kita renungkan.
Apakah betul kita saat ini bahagia? Apakah betul kita sebagai masyarakat cukup bahagia? Apakah betul sebagai individu sudah bahagia? Apakah betul hubungan antara individu dan masyarakat kita sudah membahagiakan?
Apakah kita bahagia dalam udara desentralisasi bebas dan terbuka ini? Apakah pasar bebas dan demokrasi liberal dunia membuat kita bahagia? Apakah kita berusaha untuk membahagiakan satu dan lainnya?
Kebahagiaan dicapai secara bersama-sama. Tidak bisa kebahagiaan hanya dari satu pihak, sementara pihak lain merasa kurang bahagia. Saling berbagi bahagia dan juga saling memberikan kebahagiaan bisa dicapai.
Masyarakat yang kurang bahagia tidak mungkin melahirkan pemimpin atau calon pemimpin yang bahagia. Demikian juga, pemimpin yang tidak bahagia tidak akan melahirkan masyarkaat yang bahagia. Hubungan pemimpin dan masyarakat timbal balik. Bahagia dicapai secara bersama-sama.
Pencapaian bahagia bisa dikembalikan lagi pada prinsip kuno Yunani dan Arab. Kebahagiaan terjadi jika kita mengikuti nilai-nilai utama. Kabahagiaan dicapai, jika kita mengikuti alur, etika, moral, dan aturan yang sudah kita sepakati. Al-Farabi menyebutkan makna fadilah sebagai masyarakat yang taat pada prinsip-prinsip kemulyaan.
Yang melanggar akan menghancurkan kebahagiaan pribadi dan bersama. Maka benar adanya, Plato dan Aristoteles menyebutnya bukan sebagai kualitas orang per-orang saja, tetapi yang penting adalah kualitas kota, negara, dan masyarakat: Republik, Madinah, atau Negara.
Apakah kita bahagia, artinya apakah betul kita sudah mengikuti aturan, undang-undang, hukum, ataukah kita tidak menyalahinya. Pilihan ada di tangan kita.
Penulis adalah Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta