Berita

BPJS Kesehatan/Net

Publika

Jangan Sampai Pemaksaan BPJS Menjadi Alat Tampar ke Presiden

SENIN, 21 FEBRUARI 2022 | 12:25 WIB | OLEH: WINA ARMADA SUKARDI

DI tengah-tengah “gaduh” adanya peraturan yang mewajibkan seluruh rakyat Indonesia yang mau jual beli tanah harus  punya kartu BPJS Kesehatan, alias wajib  menjadi anggota BPJS Kesehatan yang sangat kontraversial itu, Dirut BPJS Kesehatan Ali Ghufron Mukti menambah riuh dan kontraversial soal ini.

Dia mengatakan, banyak orang yang belum tahu kepesertaan BPJS itu wajib. Lantas dia menambah dahsyat gaduhya, karena membuat analogi, yang hemat penulis tidak saja salah kaprah, tetapi juga justru melemahkan upaya pemberantasan pandemi Covid-19.

Ia mencontohkan kewajiban melampirkan BPJS Kesehatan dalam jual beli tanah itu, seperti kewajiban pakai masker saat pandemi Covid -19. “Kalau dibilang memberatkan, terangnya, ya memberatkan. Namun harus dipaksa,” katanya sebagaimana dikutip di berbagai media.

Waduh, apa dia tidak paham, antara kewajiban moral memakai masker dan kewajiban hukum melampirkan keikutsertaan BPJS Kesehatan dua hal yang sangat berlainan logikanya, dan dua hal yang berbeda bidang.

Untuk Melindungi Orang Lain


Orang memakai masker, bukan hanya untuk melindungi dirinya pribadi sendiri, tetapi juga untuk melindungi orang lain: rakyat dan bangsa dari tertular covid-19. Jadi, unsur memberikan kemanfaatan langsung kepada “anak bangsa” luar biasa besar dalam kasus orang wajib memakai masker.

Lalu apa hubungannya antara kewajiban menjadi peserta BPJS dengan kegunaaannya buat rakyat? Memangnya kakau orang membeli tanah lantas berdampak langsung kepada “anak bangsa?” Gak ada hubungan sama sekali.

Kemudian, kira-kira siapa yang paling besar melakukan transaksi jual beli tanah? Rakyat umumnya kalau membeli tanah juga lantaran sudah sangat terdesak karena butuh tanah buat tempat tinggal. Itu pun jumlahnyab gak luas. Jadi, mereka membeli tanah karena dorongan kebutuhan priemer.

Demikian kalau mereka menjual tanah, biasanya lantaran karena ada warisan yang mau dibagi-bagi. Bukan sekedar mau menanggok coan besar.

Untuk biaya kesehatan, golongan ini gak disuruh juga bakal menjadi anggota BPJS Kesehatan. Maklum kalau disuruh bayar biaya kesehatan sendiri, mereka umumnya gak bakalan mampu.

Pembeli tanah lain selebihnya kaum menengah dan yang paling banyak beli tanah kaum elit. Buat sebagian besar mereka seperti ini, kemungkinan besar jika berobat tidak ingin memakai fasilitas BPJS.  Mereka memilih fasilitas yang sesuai dengan kantong mereka sendiri.

Selain itu, kalau keanggotaan BPJS Kesehatan merupakan keanggotaan pribadi, para orang berduit sering melakukan jual beli tanah dengan atas nama perusahaan atau organisasi. Jadi, kewajiban menyertakan kartu BPJS juga tidak efektif untuk mengumpulkan duit dari strata masyarakat seperti ini.

Berbagai kewajiban menyertakan bukti keanggota BPJS berawal dari Instruksi Presiden (Inpres) 1/2022 tentang Optimalisasi Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional. Aturan itu diteken Presiden Jokowi, 6 Januari lalu.

Inpres tersebut pada intinya menginstruksikan kepada berbagai kementerian, Kejaksaan Agung, Polri, BPJS Kesehatan, Gubernur, Bupati, Wali Kota, Dewan Jaminan Sosial untuk mengambil langkah-langkah sesuai tugas, fungsi, dan kewenangan masing-masing dalam rangka optimalisasi program Jaminan Kesehatan Nasional.

Sedangkan Kementerian ATR/BPN kemudian menindaklanjuti Inpres tersebut dengan menerbitkan Surat Edaran (SE) yang diteken Dirjen Penetapan Hak dan Pendaftaran Tanah Suyus Windayana. Surat itu pada intinya menyatakan sejak tanggal 1 Maret 2022 kartu BPJS Kesehatan menjadi syarat permohonan pelayanan jual beli tanah.

Banyak Masalah


Banyak masalah dari ketentuan kewajiban yang mensyaratkan dalam jual beli tanah warga Indonesia wajib memilik kartu BPJS Kesehatan.

Pertama, hal ini menjadi beban tambahan bagi para notaris. Selama ini selain diwajibkan memeriksa soal pajak para penjual dan pembeli tanah, notaris juga sudah diisyaratkan untuk ikut membantu PPATK menelusuri asal muasal duit untuk jual beli tanah. Sekarang tambah lagi dengan pekerjaan untuk mengecek keaslian kartu BPJS Kesehatan beserta kewajiban pelunasannya. Kalau notaris “kecolongan” kartu BPJS Kesehatannya bodong atau belum dibayar, tetapi transaksi jual beli tanahnya disahkan, maka notaris harus ikut bertanggung jawab. Dan itu hukumannya nanti bisa saja berlaku hukum pidana. Berarti kalau notaris teledor, siap-siap bakal dapat sanksi. Jadi, hanya menambah kerjaan notaris saja.

Kedua, kalau seluruh anak bangsa untuk seluruh penyakit, dari yang ringat seperti flue sampai yang berat operasi tingkat 4, seluruhnya memakai BPJS Kesehatan , perlu dipertimbangkan apakah kapasitas rumah sakitnyan sudah memadai. Sekarang aja para pemakai BPJS Kesehatan untuk menunggu dapat no antrian pemeriksaan pada waktunya, sudah harus antri dari subuh, dan sering baru  sore dapat giliran. Itu pun tindakan operasinya rata-rata baru dapat terlaksana dua minggu atau sebulan kemudian, lantaran penuh.

Bagaimana kalau seluruh strata masyarakat tiba-tiba untuk seluruh jenis penyakit yang dimungkinkan  okeh BPJS Kesehatan memakai BPJS Kesehatan? Pastilah rumah sakit kewalahan. Pelayananpun otomatis bakal menurun.

Di sisi lain, sudah hampir  dipastikan kaum “the have” walaupun punya kartu BPJS Kesehatan tidak akan mempergunakannya, dan lebih memilih jalur private, bahkan kalau perlu memilih perawatan VIP. Nah, ini berarti dari mereka cuma mau diambil duitnya yang gak seberapa, tetapi kepatuhan pemakaian kartu BPJS menjadi tidak penting.

Ketiga, administrasi  institusi pertahanannya sudah siap atau belum? Sekarang aja urusan administrasi pertahanan boleh dibilang sektor yang paling kacau balau. Kalau ada sertifikat yang  diduga bodong atau palsu, atau memang bodong atau paksu sungguhan, kementerian yang mengurusi tanah, tidak pernah mau mengeluarkan pendapat bahwa sertifikat itu palsu atau bodong.

Instansi ini menyuruh para pihak langsung menempuh jalur hukum, baik ke pengadilan negeri maupun PTUN. Hal ini sekarangbsudah merepotkan dan menjadi salah satu panggkal sengketa di pertananan. Nah, apalagi sekarang, kalau mereka ditambah beban harus mememeriksa kelengkapan syarat kartu BPJS Kesehatan. Apa gak tambah sibuk dan tambah panjang waktunya, termasuk yang utama apa gak tambah birokratis? Peralihan dan kepastian hukim kepemilikan tanah dengan adan syarat tanbahan ini dapat diprediksi bakal tambah ruwet.Apalagi kalau di daerah-daerah kecil yang pelayanan BPJS Kesehatannya masih kurang.

Keempat, kewajiban menyertakan kartu keanggota BPJS Kesehatan menimbulkan persoalan yuridis. Kalau seluruh transaksi jual beli tanahnya sudah sah, tetapi masih kurang kewajiban menyertakan bukti kartu keanggotaan BPJS Kesehatan, apakah transaksi jual beli tanah itu kini tetap sudah sah, atau tidak? Jadi, menimbulkan problem baru keabsahan jual beli tanah.

Kelima, dan ini salah satu yang penting, apakah pemaksaan harus melampirkan bukti keanggotaan  BPJS  Kesehatan dalam transaksi jual beli tanah melanggar hak-hak asasi manusia (HAM) atau tidak? Pemaksaan memakai masker jelas berguna buat puablik, buat rakyat, buat bangsa, sehingga bukanlah dalam katagori pelanggaran HAM, tetapi pemaksaan wajib memiliki BPJS Kesehatan dalam jual beli tanah, apa kegunaaannya untuk masyarakat luas, untuk publik. Loe mau jual beli tanah, gak ada hubungan dengan gue kok. Begitu kira-kira tidak ada hubungan jual beli tanah antara pihak dengan rakyat. Lalu apa hubungannya secara langsung?

Menjerumuskan ke Negara Komunis


Kalau ditarik-tarik terus bahwa pembayaran BPJS Kesehatan bakal menyehatkan keuangan negara dan karena itu bermanfaat buat bangsa, pola pikir ini,  satu, tidak tepat, dan kedua dapat menjerumuskan kita kepada negara yang bersifat komunis atau totaliter. Apa itu?

Dapat dihitung berapa tolal pendapatan dari kewajiban iuran BPJS kesehatan bagi pihak yang mau jual beli tanah. Jumlah ini kalau pun kemudian berhasil dikeruk, berapa anggaran BPJS Kesehatan yang harus kembali dikeluarkan dari kewajiban orang baru yang memakai PBJS kesehatan yang sebelumnya dapat membuayai diri sendiri? Kalau pun hasilnya tak banyak, jangan-jangan malah tekor!

Kemudian, kedua, semua yang dipaksa dan dibatasi dengan dalih untuk kepentingan bangsa, mirip pola pikir negara komunis. Misal, pembatasan membeli makanan dan jarta benda. Alasannya harus dibatasi dan dikenakan dana sosial tambahan untuk rakyat. Kan ada pajak? Oh pajak lain lagi!!

Alat Kekuasaan


BPJS Kesehatan sudah terang benderang sangat baik dan sangat bermanfaat bagi rakyat. Tidak ada yang meragukan soal ini. Sudah terbukti lewat BPJS Kesehatan masyarakat luas sangat terbantu dan tertolong. Pelayanan kesehatan yang semula tidak mungkin terjangkau rakyat, kini dengan adanya BPJS Kesehatan dapat menjadi kenyataan. Operasi ratusan juta rupiah yang semula terbayangkan aja oleh rakyat gak berani, kini dapat menjadi terwujud. Oleh karena itu dengan kesadarannya sendiri, masyarakat berbondong-bondong menjadi anggota BPJS Kesehatan.

Dari sini kita dapat menarik pelajaran: BPJS Kesehatan merupakan kebutuhan masyarakat. Memiliki kartu peserta BPJS Kesehatan merupakan  kebutuhan masyarakat.

Dalam kontek ini  (Inpres) No 1 Tahun 2022 tentang Optimalisasi Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional, tidak masalah. Inpres itu menginginkan agar kemanfaatan BPJS buat rakyat yang membutuhkan dioptimalkan. Sesuatu yang wajar dan patut dilakukan seorang pemimpin. Maka sejatinya tak ada alasan kita untuk tidak mendukung keberadaan dan pelaksanaan BPJS Kesehatan.

Masalahnya, ketika diimplementasi di bawah, Inpres itu dilaksanakan secara berlebihan, tidak proposional, dan ada kesan aroma “ABS” terjadap presiden.

Rekayasa Kebutuhan Rakyat


Kala kebutuhan BPJS Kesehatan yang semula menjadi kebutuhan rakyat, tetapi lantas direkayasa  “dipaksakan” oleh pemerintah agar menjadi salah satusyarat transaksi, dalam hal ini jual beli tanah, maka yang terjadi bukan lagi “kebutuhan,” melainkan manipulasi terhadap “kebutuhan” itu. Pemerintah memanfaatkan kebutuhan masyarakat menjadi alat kekuasaan.

Kebutuhan itu menjadi dimanipulasi sebagai sebuah syarat yang datang dari pemerintah yang tidak dapat ditolak oleh rakyat. Jika rakyat menolak, maka ada hak rakyat yang dikebiri, yakni tidak boleh melakukan transaksi jual beli tanah. Kalau  rakyat menampik menunjukan surat keanggota BPJS , maka rakyat tidak boleh melakukan transaksi  jual beli tanah.

Manakala zaman Orba, buat menjaga jangan sampai “kesusupan” komunis, pemerintah mewajibkan rakyat memiliki “surat bebas G/30 PKI.” Sebenarnya rakyat  sendiri, kala itu sebagian besar juga sudah anti komunis, tetapi ketika diwajibkan memiliki surat “bebas G -30 S/PKI” bukan lagi kebutuhan rakyat, tapi sudah menjadi alat kekuasaan pemerintah. Dengan begitu sebaliknya,  hal  itu sudah berubah menjadi beban rakyat dan terjadilah banyak ekses.

Demikian pula BPJS Kesehatan yang semula menjadi kebutuhan rakyat,  tapi digunakan sebagai syarat satu transaksi jual beli tanah, akhirnya menjadi alat kekuasaan pemerintah dan telah berubah menjadi beban yang memberatkan masyarakat. BPJS Kesehatan yang sebelumnya menjadi ciri negara kesejahteraan,  ketika dijadikan alat kekuasaan berubah menjdi beban rakyat sekaligus menjadi karakter negara otoriter.

Selain itu kewajiban melakukan transaksi jual beli tanah wajib melampirkan kartu BPJS Kesehatan secara tak langsung dapat “menggampar” pula wajah presiden. Lho memangnya kenala? Inpres Optimalisasi  BPJS Kesebatan yang bertujuan baik, agar kemanfaatan BPJS Kesehatan dapat dinikmati sebanyak mungkin anak bangsa, namun dengan adanya syarat tambahan perlu kartu BPJS Kesehatan dalam transaksi jual beli tanah, seakan dibuat kesan presiden digiring untuk mempersulit rakyat. Syarat ini dapat menjadi “framing” yang buruk terhadap presiden yang mengeluarkan Inpres. Sesuatu yang bertolak belakang dengan Inpres presiden itu sendiri.

Maka sudah selayaknya syarat memikiki kartu BPJS dalam transaksi jual beli tanah tersebut dicabut, kecuali sistem pertanahan kita memang mau diarahkan ke system negara otokratis.

Penulis adalah wartawan senior dan advokat

Populer

Jaksa Agung Tidak Jujur, Jam Tangan Breitling Limited Edition Tidak Masuk LHKPN

Kamis, 21 November 2024 | 08:14

MUI Imbau Umat Islam Tak Pilih Pemimpin Pendukung Dinasti Politik

Jumat, 22 November 2024 | 09:27

Kejagung Periksa OC Kaligis serta Anak-Istri Zarof Ricar

Selasa, 26 November 2024 | 00:21

Rusia Siap Bombardir Ukraina dengan Rudal Hipersonik Oreshnik, Harga Minyak Langsung Naik

Sabtu, 23 November 2024 | 07:41

Ini Identitas 8 Orang yang Terjaring OTT KPK di Bengkulu

Minggu, 24 November 2024 | 16:14

Sikap Jokowi Munculkan Potensi konflik di Pilkada Jateng dan Jakarta

Senin, 25 November 2024 | 18:57

Legislator PKS Soroti Deindustrialisasi Jadi Mimpi Buruk Industri

Rabu, 20 November 2024 | 13:30

UPDATE

Jokowi Tak Serius Dukung RK-Suswono

Jumat, 29 November 2024 | 08:08

Ferdian Dwi Purwoko Tetap jadi Kesatria

Jumat, 29 November 2024 | 06:52

Pergantian Manajer Bikin Kantong Man United Terkuras Rp430 Miliar

Jumat, 29 November 2024 | 06:36

Perolehan Suara Tak Sesuai Harapan, Andika-Hendi: Kami Mohon Maaf

Jumat, 29 November 2024 | 06:18

Kita Bangsa Dermawan

Jumat, 29 November 2024 | 06:12

Pemerintah Beri Sinyal Lanjutkan Subsidi, Harga EV Diprediksi Tetap Kompetitif

Jumat, 29 November 2024 | 05:59

PDIP Akan Gugat Hasil Pilgub Banten, Tim Andra Soni: Enggak Masalah

Jumat, 29 November 2024 | 05:46

Sejumlah Petahana Tumbang di Pilkada Lampung, Pengamat: Masyarakat Ingin Perubahan

Jumat, 29 November 2024 | 05:31

Tim Hukum Mualem-Dek Fadh Tak Gentar dengan Gugatan Paslon 01

Jumat, 29 November 2024 | 05:15

Partisipasi Pemilih Hanya 55 Persen, KPU Kota Bekasi Dinilai Gagal

Jumat, 29 November 2024 | 04:56

Selengkapnya