Berita

Wartawan senior dan pemerhati sejarah, Arief Gunawan/Ist

Publika

Capres Oligarki akan Terus Meminta Tumbal...

RABU, 16 FEBRUARI 2022 | 17:13 WIB | OLEH: ARIEF GUNAWAN

ROMO Mangunwijaya di tahun 1989 menulis satu artikel berjudul “Tumbal”.

Tulisan di majalah Tanah Air yang terbit di Amsterdam, Belanda itu, berisi kritik terhadap proyek-proyek infrastruktur yang mengatasnamakan pembangunan dengan mengorbankan rakyat kecil sebagai tumbal.

Budaya dan mentalitas untuk mencari-cari tumbal dalam pembangunan setelah sekian lama republik ini merdeka ternyata menurut Romo Mangunwijaya belum selesai.

Di zaman animisme setiap pembangunan obyek penting selalu membutuhkan tumbal dengan mengorbankan nyawa manusia melalui ritual-ritual.

Setelah masuknya Islam adat kejam di Nusantara itu berakhir. Golongan sinkretis kemudian menggantinya dengan kepala kerbau sebagai tumbal dalam upacara-upacara peresmian proyek pembangunan.

Proyek Bendungan Bener, di kawasan Desa Wadas, Purworejo, Jawa Tengah, dan proyek penambangan emas PT Trio Kencana, di Parigi Moutong, Sulawesi Tengah, adalah contoh terbaru yang memakan rakyat kecil sebagai tumbal.

Sebuah proyek yang feasible tidak mungkin meminta tumbal atau korban, apalagi tumbalnya adalah warganegara yang paling tidak berdaya, yaitu wong cilik, yang di dalam sebuah negara yang adil dan beradab seharusnya dilindungi. Bukan diteror,  diintimidasi, dan mengalami kekerasan fisik.

Di zaman Soeharto, pembangunan waduk Kedung Ombo, di Jawa Tengah, juga memakan tumbal.

Namun persoalannya bukan karena pembangunan waduk tersebut dibiayai oleh oligarki atau untuk kepentingan oligarki, seperti yang terjadi di Desa Wadas, Purworejo, Jawa Tengah, saat ini.

Waktu itu oligarki belum menjadi monster mengerikan seperti sekarang.

Yang menjadi persoalan ialah waduk Kedung Ombo yang dibiayai oleh Bank Dunia, Bank Exim Jepang, dan APBN itu, memberikan uang ganti rugi tidak adil kepada penduduk. Sehingga ada semerbak bau korupsi dibelakangnya.

Ribuan keluarga kehilangan tanah akibat pembangunan waduk itu. Warga yang bertahan diteror, diintimidasi, dan mengalami kekerasan fisik. Pemerintah melalui aparat bersenjata memaksa warga pindah dengan mengairi lokasi proyek waduk. Akibatnya warga yang bertahan terpaksa tinggal di genangan air.

Sang Gubernur Jawa Tengah saat itu tidak berdaya membela warganya. Lagi-lagi bukan karena takut kepada oligarki yang bakal membiayainya jadi calon presiden, melainkan karena sang gubernur tidak berani melawan “perintah pusat” (Soeharto).

Peristiwa tragis yang dialami oleh penduduk Desa Wadas, Purworejo, Jawa Tengah, adalah contoh nyata yang terjadi akibat ketidakberpihakan capres oligarki kepada rakyat.

Ganjar Pranowo, sang Gubernur Jawa Tengah, yang belakangan ini masif mencitrakan diri sebagai calon presiden yang seolah-olah merakyat nyatanya perpanjangan-tangan oligarki. Yang oleh banyak pihak disebut-sebut ingin membuktikan “dharma bhakti & kesetiaan” kepada oligarki. Supaya benar-benar mendapatkan dukungan penuh  menjadi capres boneka baru di Pilpres 2024.

Sehingga terhadap keburukan-keburukan oligarki Ganjar Pranowo lebih banyak bersikap “mikhul dhuwur mendhem jero ...”.

Tanda bukti kesetiaan kepada oligarki ini sangat penting, karena di belakang Ganjar Pranowo masih mengantre sejumlah figur lainnya yang masuk nominasi capres oligarki.

Kalau Ganjar Pranowo jatuh tersingkir dari orbit capres oligarki akibat insiden Desa Wadas ini, oligarki akan dengan mudah mengalihkan dukungan kepada figur capres oligarki lainnya yang sudah masuk di dalam perhitungan radar mereka.

Sebut saja misalnya, salah satu di antaranya, Erick Thohir, yang belakangan ini sibuk mencitrakan diri sebagai sosok pro rakyat, ketimbang fokus mengurus BUMN yang berantakan, sampai-sampai sidak ke WC Umum SPBU segala, supaya rakyat dibebaskan bayar ongkos dua ribu perak saat buang air.

Kenapa capres-capres oligarki bakal terus meminta tumbal di kalangan rakyat kecil?

Jawabannya karena mereka harus membayar lunas utang budi kepada oligarki.

Capres oligarki dan pada saat menjadi presiden akan menjadikan dirinya sebagai suksesor bagi kepentingan-kepentingan oligarki. Termasuk kepentingan bisnis dan ambisi-ambisi oligarki.  

Tak peduli untuk itu akibatnya wong cilik diinjak-injak, rakyat jelata terus hidup melata, dijadikan mangsa belaka.

Penulis adalah Wartawan Senior dan Pemerhati Sejarah

Populer

Fenomena Seragam Militer di Ormas

Minggu, 16 Februari 2025 | 04:50

Asian Paints Hengkang dari Indonesia dengan Kerugian Rp158 Miliar

Sabtu, 15 Februari 2025 | 09:54

Bos Sinarmas Indra Widjaja Mangkir

Kamis, 13 Februari 2025 | 07:44

Temuan Gemah: Pengembang PIK 2 Beli Tanah Warga Jauh di Atas NJOP

Jumat, 14 Februari 2025 | 21:40

PT Lumbung Kencana Sakti Diduga Tunggangi Demo Warga Kapuk Muara

Selasa, 18 Februari 2025 | 03:39

Pengiriman 13 Tabung Raksasa dari Semarang ke Banjarnegara Bikin Heboh Pengendara

Senin, 17 Februari 2025 | 06:32

Dugaan Tunggangi Aksi Warga Kapuk Muara, Mabes Polri Diminta Periksa PT Lumbung Kencana Sakti

Selasa, 18 Februari 2025 | 17:59

UPDATE

PDIP Minta Seluruh Kader Banteng Tenang

Kamis, 20 Februari 2025 | 23:23

Megawati Instruksikan Kepala Daerah dari PDIP Tunda Retret ke Magelang

Kamis, 20 Februari 2025 | 22:43

Wujudkan Pertanian Berkelanjutan dan Ketahanan Pangan, Pemerintah Luncurkan FAST Programme

Kamis, 20 Februari 2025 | 22:27

Trump Gak Ada Obat, IHSG Terseret Merah

Kamis, 20 Februari 2025 | 22:26

Uchok: Erick Thohir Akali Prabowo soal Danantara

Kamis, 20 Februari 2025 | 22:24

Hasto Ditahan, Megawati Tidak Menunjuk Plt Sekjen PDIP

Kamis, 20 Februari 2025 | 22:21

Resmi Pimpin Banten, Andra Soni-Dimyati Diingatkan Jangan Korupsi

Kamis, 20 Februari 2025 | 22:18

KPK Tahan Hasto, PDIP: Operasi Politik Mengawut-awut Partai

Kamis, 20 Februari 2025 | 22:17

Hasto Ditahan, PDIP: KPK Dikendalikan dari Luar Melalui AKBP Rossa

Kamis, 20 Februari 2025 | 22:16

Adityawarman Adil Apresiasi BSF CGM 2025: Gambaran Kekayaan Budaya Kota Bogor

Kamis, 20 Februari 2025 | 21:56

Selengkapnya