Berita

Wartawan senior, Ilham Bintang/Net

Publika

CATATAN ILHAM BINTANG

Beruntung Ada Netizen

JUMAT, 11 FEBRUARI 2022 | 14:55 WIB | OLEH: ILHAM BINTANG

BERUNTUNG ada netizen, sehingga negeri itu tidak tenggelam akibat kedzoliman penguasa memperlakukan rakyatnya. Tapi eksistensi netizen dimaksud pun tengah digugat. Dianggap musibah bagi sebagian jurnalis di sebagian belahan dunia. Terutama para wartawan yang mengklaim dari media arus utama.

Netizen yang melaksanakan fungsi kontrol dikecam oleh mereka yang justru punya tugas itu. Tragedi kemanusiaan di banyak tempat mustahil dapat cepat tersingkap tanpa peran netizen. Merekalah yang menyebarkanluaskan melalui media sosial.

Media sosial masih dikuasai Tuhan. Belum lagi dikuasai oleh juragan media. Sehingga kejadian besar, penyalahgunaan kekuasaan, perampokan uang negara, praktek mafia hukum yang sudah lama tidak diangkat dalam media pers, diarak oleh netizen.

Pers baru menyusul kemudian ikut membahas setelah jadi trending topic. Mustahil kepala polisi segera menata aparatnya tanpa kerja netizen. Meski itu baru wacana politik belaka. Buktinya, aparat kepolisian lah yang dominan tertangkap kamera netizen terlibat perbuatan melawan hukum. Memang banyak kasus besar dipicu aparat kepolisian dan tentara mereka di negara itu.

Sudah berlangsung lama penyingkapan kasus- kasus penyalahgunaan kekuasaan merupakan hasil karya netizen. Itu sebabnya netizen  dibenci dan dimusuhi oleh pemerintah dan wartawan di negara itu.

Secara filosofis dan universal informasi memang milik publik. Media sosial, anak kandung teknologi informasi, telah menyerahkan kembali hak itu kepada  pemiliknya yang sah. Sebanyak 4.66 milyar jiwa (Juni, 2021) penduduk bumi (baca: rakyat) telah terhubung di mesin ajaib itu.

Rakyat bangkit menguasai informasi dan menggunakannya secara sadar untuk mengontrol kekuasaan di seluruh dunia. Kekuatan itu tidak bisa dilawan. Yang berdengung 24 jam di dunia maya itu suara rakyat, suara Tuhan.

Saat satu peristiwa besar terjadi atau berbarengan meledak, bisa jadi wartawan masih asyik dengan kebanggaan semu masa lalunya. Yang lain sedang memperingati kedigdayaan organisasinya. Masih banya masih terlelap tidur, sebagian lain yang terjaga sedang memperingati hari bersejarahnya. Tetapi sambil meratap dalam pelbagai seminar untuk memperjuangkan nasibnya sendiri yang  megap- megap beradaptasi di era disrupsi informasi.

Seperti orang yang meregang nyawa, lupa doa-doa yang diajarkan orang tua untuk dibaca menjelang ajal. Melupakan keterkaitannya dengan  informasi  bukanlah sebagai pemilik, melainkan karena keterkaitan profesinya. Yang "kontraknya" jelas, tertuang dalam peraturan secara universal dan kode etiknya sendiri. Isinya hanya tiga point, sama semua. Kesatu, kedua, dan ketiga: mengabdi kepentingan bangsa.

Wartawan yang menyebut diri dari media arus utama, bermodal legitimasi formal pemberian negara, bangkit melawan netizen. Kini memelas berharap uluran tangan pemerintahnya. Seperti tak menyadari ibarat lahan pertanian,  sebenarnya sejak lama dia sudah  seperti buruh tani yang hanya bekerja untuk kepentingan pemilik lahan. Tanpa sadar sekian lama profesi mulia wartawan telah ditunggangi oleh kepentingan pemberi gaji. Ini kasar. Tetapi mau bilang apa, faktanya seperti itu. Gaji besar, fasilitas bagus, relasi kekuasaan yang luas dan internasional, adalah sebagian kenikmatan yang telah membuai hingga menghianati profesi.

Beruntung dunia punya netizen. Yang membuat penguasa di mana pun  terjaga. Mulut, mata, dan telinga rakyat ada di mana- mana. Tak ada lagi peeistiwa yang bisa disembunyikan. Hampir tak ada yang luput dari pengetahuan publik. Praktek ucapan lain dengan perbuatan, menjadi tema  sentral netizen  menyorot kekuasaan.

Rakyat tidak pernah tahu, sumber kerumunan di mana pun di dunia di masa pandemi  karena ulah pemimpinnya sendiri,  tanpa netizen. Menyingkap kedok yang  mau tampak bagai sinterklas membagi-bagi hadiah kepada rakyat. Adegan itu tampil memilukan dalam tangkapan kamera netizen. Seperti gambaran penguasa  di abad pertengahan saat  bertemu rakyatnya.

Jangan salahkan wartawan zaman now. Itu adalah cacat bawaan sejak dulu.Yang selalu dikecam namun kemudian karena nikmat, dilanjutkan dengan mengganti kemasannya supaya kelihatan baru.

Kemajuan tehnologi informasi telah mengembalikan kedaulatan kepada pemiliknya yang sah. Segala upaya menentangnya akan sia- sia belaka seperti mengembalikan jarum  jam. Hanya mengulang perjuangan berat Sisyphus mengusung batu ke gunung.

Situasi membalikkan sikap sastrawan Robert Sherwood. Lebih setengah abad lalu pengarang Amerika itu pernah menulis  naskah drama (1953), "Hutan Membatu" (Petrified Forest) yang merisaukan "alam telah menyita bumi dari tangan manusia dan menyerahkan kepada monyet - monyet (teknologi). "Sekarang yang kita saksikan seakan alam kembali bertindak" menyita bumi dari tangan petualang ideologi dan pencundang lainnya dan menyerahkannya kembali kepada pemiliknya (nitizen), rakyat, ahli waris dunia dan peradabannya.  

Lengkingan suara  alarm ponsel menyentak tidur saya. Nyaringnya merobek keheningan subuh yang dingin. Masya Allah! Buruk betul mimpi tadi. Ekstrim sekali. Dzolim  sekali.  Jangan-jangan ada produk tehnologi baru lagi yang bisa mengatur mimpi manusia.

Jelas, tidak semua produk netizen baik seperti dalam mimpi. Malah banyak yang sengaja  menyulut dan menikmati keuntungan dari keterbelahan masyarakat. Seperti halnya berita produk wartawan media utama. Tidak semua buruk, seperti yang  difitnah dalam mimpi ekstrim.  Faktanya, masih banyak media pers yang  mengharukan membanggakan karena tetap setia dan konsisten pada ideologi pers sebagai ratu adil. Meskipun  nafas terengah-engah karena pengaruh horor sekeliling "jasad" media yang bergelimpangan mati.

Saya segera bangun untuk Salat subuh. Lanjut  dzikir dan doa. Mendoakan khusus  kejayaan pers Nasional kita yang baru dua hari lalu memperingati Hari Pers Nasional. Semoga mimpi itu tidak akan pernah menjadi realita  di Tanah Air.

Penulis adalah wartawan senior


Populer

Sesuai Perintah Prabowo, KPK Harus Usut Mafia Bawang Putih

Minggu, 02 Maret 2025 | 17:41

Digugat CMNP, Hary Tanoe dan MNC Holding Terancam Bangkrut?

Selasa, 04 Maret 2025 | 01:51

Lolos Seleksi TNI AD Secara Gratis, Puluhan Warga Datangi Kodim Banjarnegara

Minggu, 02 Maret 2025 | 05:18

CMNP Minta Pengadilan Sita Jaminan Harta Hary Tanoe

Selasa, 04 Maret 2025 | 03:55

Nyanyian Riza Chalid Penting Mengungkap Pejabat Serakah

Minggu, 09 Maret 2025 | 20:58

Polda Metro Didesak Segera Periksa Pemilik MNC Asia Holding Hary Tanoe

Minggu, 09 Maret 2025 | 18:30

Bos Sritex Ungkap Permendag 8/2024 Bikin Industri Tekstil Mati

Senin, 03 Maret 2025 | 21:17

UPDATE

Menteri PANRB Jangan Jadi Firaun Baru

Selasa, 11 Maret 2025 | 07:13

Kemenkeu Belum Rilis APBN 2025, Rocky Gerung: Ada Data yang Disembunyikan?

Selasa, 11 Maret 2025 | 06:45

Kejar Sampai Banyumas, Polisi Tangkap Pelaku Pembunuhan Ibu dan Anak di Tambora

Selasa, 11 Maret 2025 | 06:31

Gubernur Jateng Optimistis Capai Target Pangan 11 Juta Ton

Selasa, 11 Maret 2025 | 06:16

Terlena Naturalisasi dan Tendangan Erick

Selasa, 11 Maret 2025 | 06:01

Dijemput Paksa, Pengusaha Haji Alim Dijebloskan Kejari Muba ke Rutan Palembang

Selasa, 11 Maret 2025 | 05:58

Impor Gula Vs Penghuni Usus

Selasa, 11 Maret 2025 | 05:56

Kekayaan Menteri PU Dody Hanggodo di LHKPN, Sering Pakai Ikat Pinggang Hermes

Selasa, 11 Maret 2025 | 05:51

LPH Quality Syariah Dukung BPJPH Jadikan Indonesia Pusat Halal Dunia

Selasa, 11 Maret 2025 | 05:42

Buntut Penundaan Pelantikan, Ratusan CPPPK Banjarnegara Ancam Geruduk Jakarta

Selasa, 11 Maret 2025 | 05:18

Selengkapnya