Berita

Peneliti Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi/Net

Publika

Trust Publik Selesaikan Masalah Papua

Oleh: Khairul Fahmi*
SENIN, 31 JANUARI 2022 | 03:58 WIB

MASALAH utama di Papua adalah trust. Kepercayaan publik pada itikad baik pemerintah sangat rendah. Masyarakat cenderung curiga dan pesimis pada langkah-langkah yang diambil dalam upaya penyelesaian masalah Papua.

Bagi mereka, langkah pemerintah lebih didominasi "kepentingan Jakarta" ketimbang kepentingan warga Papua sendiri. Bagi mereka, pemerintah lebih banyak bicara dan minta didengar ketimbang mendengar dan memberi kesempatan masyarakat bicara.

Nah sekitar 10 hari lalu, digelarlah Operasi Damai Cartenz. Secara konsep, operasi ini cukup baik. Diklaim sebagai pendekatan yang lebih lunak, mengedepankan dialog, lebih persuasif dan humanis. Melibatkan unsur intelijen dan kehumasan.


Masalahnya, operasi ini dijalankan oleh dua lembaga yang punya problem trust di Papua yaitu TNI-Polri. Kehadiran TNI-Polri secara terang benderang selalu akan berpotensi untuk dicurigai dan memicu gangguan keamanan.

Konyolnya, misi operasi damai itu menekankan agar para personel yang terlibat bisa bersikap lebih defensif ketimbang represif dan reaktif dalam menghadapi provokasi kelompok kriminal bersenjata.

Sudah tentu risiko menjadi lebih besar bagi keselamatan para prajurit. Walhasil, dalam 10 hari ini empat prajurit gugur dan sejumlah prajurit lainnya harus menjalani perawatan serius.

Sebelumnya ketika pemerintah mengumumkan rencana-rencana baru bagi penyelesaian masalah Papua dibarengi janji Panglima TNI untuk memulai pendekatan baru di Papua, saya termasuk yang menyambut baik.

Kita meyakini bahwa masalah Papua harus diselesaikan dengan cara-cara yang komprehensif, lintas sektor, mengutamakan dialog dan tidak lagi mengutamakan pendekatan keras dan militeristik.

Artinya, penyelesaian masalah Papua mestinya tidak bisa dibebankan dan memang bukan tanggungjawab TNI-Polri semata melainkan pemerintah secara keseluruhan. Apalagi kebijakan baru itu adalah merangkul, bukan memukul.

Apakah mudah? Tentu saja tidak. Memulai hal baru setelah kegagalan pendekatan sebelumnya memang bukan hal mudah. Tapi lebih baik mencoba ketimbang melanggengkan kekerasan di Papua.

Sayangnya, ketika diimplementasikan ternyata ini hanyalah penggantian nama saja dengan penjelasan panjang lebar soal misi operasi yang diemban.

Tapi penjelasan apapun itu tak mengurangi fakta bahwa TNI-Polri tetaplah aktor dominan dalam penyelesaian masalah Papua. Tak mengurangi fakta juga bahwa kepentingan Jakarta tetap lebih utama ketimbang aspirasi masyarakat Papua.

Secara sederhana sebenarnya pendekatan lunak itu mestinya juga berarti perubahan pada aktor-aktor dominan. Siapa yang berada di depan, siapa yang di belakang. Siapa leading sector, siapa menjadi kekuatan pendukung.

Bagaimana mungkin perintah merangkul diberikan kepada perangkat yang selama ini memang diberi mandat untuk memukul?

Sebenarnya ini bukan berarti kita berharap pemerintah tidak lagi melibatkan TNI-Polri dalam penyelesaian masalah Papua. Yang kita harapkan adalah distribusi peran yang relevan.

TNI-Polri juga masih bisa berkontribusi besar dalam upaya penyelesaian itu dengan memperkuat 'soft power' melalui penguatan kapasitas pembinaan teritorial, pemeliharaan keamanan dan penegakan hukum.

Bentuknya adalah operasi-operasi teritorial dan penegakan hukum yang bersifat dukungan dan selaras dengan agenda-agenda lintas sektor termasuk melakukan komunikasi sosial melalui produksi dan penyebarluasan propaganda positif.

Termasuk juga penguatan peran intelijen teritorial menjadi mata dan telinga pemerintah untuk lebih banyak mendengar aspirasi masyarakat Papua serta memberi asupan data dan informasi lapangan yang bisa mendukung strategi komprehensif pemerintah.

Dengan begitu TNI-Polri akan lebih fokus pada tugas pokoknya menjaga kedaulatan dan menegakkan hukum di Papua. Tidak lagi dibebani berbagai urusan pemerintahan dan layanan publik yang mestinya menjadi tanggungjawab kementerian dan lembaga lainnya.

Pun jika butuh kolaborasi, ada banyak organisasi kemasyarakatan baik kepemudaan, keagamaan maupun profesi yang bisa diajak. Termasuk kelompok-kelompok yang selama ini memberi masukan kritis bagi penyelesaian masalah Papua.

Penulis adalah Peneliti Institute for Security and Strategic Studies (ISESS)

Populer

Camat Madiun Minta Maaf Usai Bubarkan Bedah Buku ‘Reset Indonesia’

Selasa, 23 Desember 2025 | 04:16

Adik Kakak di Bekasi Ketiban Rezeki OTT KPK

Senin, 22 Desember 2025 | 17:57

Ketika Kebenaran Nasib Buruh Migran Dianggap Ancaman

Sabtu, 20 Desember 2025 | 12:33

Kajari Bekasi Eddy Sumarman yang Dikaitkan OTT KPK Tak Punya Rumah dan Kendaraan

Sabtu, 20 Desember 2025 | 14:07

OTT KPK juga Tangkap Haji Kunang Ayah Bupati Bekasi

Jumat, 19 Desember 2025 | 03:10

Uang yang Diamankan dari Rumah Pribadi SF Hariyanto Diduga Hasil Pemerasan

Rabu, 17 Desember 2025 | 08:37

Terlibat TPPU, Gus Yazid Ditangkap dan Ditahan Kejati Jawa Tengah

Rabu, 24 Desember 2025 | 14:13

UPDATE

Bank Mandiri Berikan Relaksasi Kredit Nasabah Terdampak Bencana Sumatera

Jumat, 26 Desember 2025 | 12:12

UMP Jakarta 2026 Naik Jadi Rp5,72 Juta, Begini Respon Pengusaha

Jumat, 26 Desember 2025 | 12:05

Pemerintah Imbau Warga Pantau Peringatan BMKG Selama Nataru

Jumat, 26 Desember 2025 | 11:56

PMI Jaksel Salurkan Bantuan untuk Korban Bencana di Sumatera

Jumat, 26 Desember 2025 | 11:54

Trump Selipkan Sindiran untuk Oposisi dalam Pesan Natal

Jumat, 26 Desember 2025 | 11:48

Pemerintah Kejar Pembangunan Huntara dan Huntap bagi Korban Bencana di Aceh

Jumat, 26 Desember 2025 | 11:15

Akhir Pelarian Tigran Denre, Suami Selebgram Donna Fabiola yang Terjerat Kasus Narkoba

Jumat, 26 Desember 2025 | 11:00

Puan Serukan Natal dan Tahun Baru Penuh Empati bagi Korban Bencana

Jumat, 26 Desember 2025 | 10:49

Emas Antam Naik, Buyback Nyaris Tembus Rp2,5 Juta per Gram

Jumat, 26 Desember 2025 | 10:35

Sekolah di Sumut dan Sumbar Pulih 90 Persen, Aceh Menyusul

Jumat, 26 Desember 2025 | 10:30

Selengkapnya