Berita

Kelompok Manifes Indonesia/Net

Publika

Kapitalisme, di Pusaran Vaksin dan Lingkungan Hidup?

Oleh: Heru Santoso*
SENIN, 24 JANUARI 2022 | 16:50 WIB

KAPITALISME, apapun bentuknya, bisa jadi benar apa yang dikatakan oleh Karl Marx seperti sorotan atas isu vaksin dari virus yang mewabah hari ini.

Lewat isu virus kali ini, masyarakat dunia dipaksa masuk ke dalam satu sistem. Sistem informasi yang hadir dalam kepingan digital dengan topik isu virus dan lingkungan hidup.

Kedua isu ini bisa saja sedang diciptakan seolah-olah, keduanya dalam keadaan sakit dan merusak. Sehingga, melahirkan banyak penderitaan hidup.

Isu, kemudian juga dibalutkan lagi dengan isu perubahan iklim, bencana alam, ekonomi sulit serta sistem politik suatu negara yang kacau, dengan munculnya isu terorisme, radikalisme, dan intoleran.

Warga dunia "didesak" untuk wajib menerima kehadiran dua isu itu dan berkonsekuensi besar bagi kehidupannya jika mengabaikannya.

Padahal dari sini pula, bermunculan keuntungan "dagang” yang "fantastis" bagi sebagian kalangan orang, khususnya pemodal-pemodal lokal maupun dunia. Apalagi jika merekapun berelasi dengan kekuasaan.

Vaksin dipercaya sebagai tameng untuk melindungi diri dari serangan virus. Sementara, lingkungan hidup dinilai semakin kritis akibat perubahan iklim.

Melalui perkembangan telekomunikasi dan teknologi informasi, manusia dan individu - individu didorong untuk semakin reaktif dan konsumtif. Meski di sisi lainnya, tidak sedikit juga yang produktif.

Namun dampak teknologi itu luar biasa hegemoninya. Sehingga membuat negara dan pemerintahan dibuat tak berdaya. Teknologi yang dominannya lahir atas kuasa kapitalisme memaksa umat manusia memberi "tempat" lebih untuknya. Pun hingga akhirnya dipercaya bisa menggantikan fungsi-fungsi kemanusiaan khususnya dalam bekerja.

Mereka (teknologi) datang tanpa permisi dan ewuh pakewuh. Peran dan fungsi kemanusiaan dibuat menjadi bergeser. Dan tak jarang akhirnya,  timbul persoalan interaksi sesama mereka. Nilai-nilai kekeluargaan, gotong-royong serta saling menghargai dan menyayangi semakin diinjak-injak seperti sebuah perwujudan "sampah" egoisme.

Kita cenderung dibuat terlena. Tidak lagi mengenal siapa diri kita. Dan bahkan juga, kita tidak mengenal lagi siapa saudara kita.

Kita adalah musuh bagi diri kita sendiri. Dalam dunia publik, kita adalah mangsa bagi sesama kita sendiri (homo homini lupus), dan kita berubah menjadi jahat sejahat-jahatnya (leviatan). Kita telah dipisahkan dari pikiran asali kita dan kita dijauhkan dari perasaan empati kepada sesama kita. Kita adalah asing bagi diri kita sendiri.

Ini yang Karl Marx sering sebut sebagai keterasingan di antara gemerlapnya kapitalisme (alienasi).

Lalu apakah ini dianggap dan disebut sebagai bentuk sebuah kemajuan dan kepatuhan masyarakat dunia kepada kebudayaan dan aturan di dalam kehidupan sehari-hari?

Sudah hampir berjalan 3 tahun lamanya, pilihan untuk  tidak menghidupkan televisi, mungkin diambil oleh sebagian orang. Alasannya, bisa untuk penghematan listrik di tengah beban biaya listrik yang mahal nantinya.

Di lain sisi, melihat dunia siaran televisi yang nonstop tayang sepanjang 1 x 24 jam, mungkin hanya azan yang berkumandang dan siraman rohani lah yang bisa dipercaya.

Selebihnya, sepertinya sarat berbagai muatan. Kondisi ini, memicu rasa mual serta sakit kepala. Terlebih lagi bisa memupuk rasa kebencian, kecemasan,dan ketidakpercayaan. Itu baru satu saja dampak dari adanya siaran televisi saat ini.

Mungkin pula banyak dampak-dampak yang lainnya yang belum teridentifisir. Hingga bahkan,  Negarapun, luput untuk mengontrolnya secara penuh. Hanya bisa membatasi izin siaran sesuai dengan frequensi dan kepentingannya.

Teknologi memang memiliki dua sisi yaitu kebaikan dan keburukannya. Dan dari dua sisi itu tinggal manusia memilih yang terbaik untuk diri dan keluarganya.

Teknologi sepatutnya tidak boleh di"kooptasi" menjadi alat pemenuhan kuasa memperdaya sesama hanya untuk kepentingan material semata.

Jika itu yang terjadi, patut diduga “kapitalisme” sedang bekerja diseputaran isu terkini? Vaksin dan lingkungan hidup?

*Penulis adalah Presidium Manifes Indonesia

Populer

Pendapatan Telkom Rp9 T dari "Telepon Tidur" Patut Dicurigai

Rabu, 24 April 2024 | 02:12

Polemik Jam Buka Toko Kelontong Madura di Bali

Sabtu, 27 April 2024 | 17:17

Pj Gubernur Ingin Sumedang Kembali jadi Paradijs van Java

Selasa, 23 April 2024 | 12:42

Jurus Anies dan Prabowo Mengunci Kelicikan Jokowi

Rabu, 24 April 2024 | 19:46

Tim Hukum PDIP Minta Penetapan Prabowo-Gibran Ditunda

Selasa, 23 April 2024 | 19:52

Pj Gubernur Jabar Minta Pemkab Garut Perbaiki Rumah Rusak Terdampak Gempa

Senin, 29 April 2024 | 01:56

Bocah Open BO Jadi Eksperimen

Sabtu, 27 April 2024 | 14:54

UPDATE

Bentuk Unit Khusus Pidana Ketenagakerjaan, Lemkapi sebut Kapolri Visioner

Kamis, 02 Mei 2024 | 22:05

KPK Sita Bakal Pabrik Sawit Diduga Milik Bupati Labuhanbatu

Kamis, 02 Mei 2024 | 21:24

Rakor POM TNI-Polri

Kamis, 02 Mei 2024 | 20:57

Semarak Hari Kartini, Srikandi BUMN Gelar Edukasi Investasi Properti

Kamis, 02 Mei 2024 | 20:50

KPK Sita Kantor Nasdem Imbas Kasus Bupati Labuhanbatu

Kamis, 02 Mei 2024 | 20:46

Sesuai UU Otsus, OAP adalah Pribumi Pemilik Pulau Papua

Kamis, 02 Mei 2024 | 20:33

Danone Indonesia Raih 3 Penghargaan pada Global CSR dan ESG Summit 2024

Kamis, 02 Mei 2024 | 20:21

Pabrik Narkoba di Bogor Terungkap, Polisi Tetapkan 5 Tersangka

Kamis, 02 Mei 2024 | 20:15

Ahmed Zaki Harap Bisa Bermitra dengan PKB di Pilgub Jakarta

Kamis, 02 Mei 2024 | 19:50

PP Pemuda Muhammadiyah Gelar Tasyakuran Milad Songsong Indonesia Emas

Kamis, 02 Mei 2024 | 19:36

Selengkapnya