Indonesia tidak ingin berselisih paham dengan pihak mana pun, baik China maupun Amerika Serikat, di tengah perselisihan laut China Selatan. Sejauh ini, Presiden Joko Widodo berupaya melakukan pendekatan diplomatik yang sama luasnya dengan dua musuh bebuyutan itu, dan memposisikan diri berada di antara Washington dan Beijing, sesuai dengan letak geografisnya.
Walau ada ketidaksetujuan dengan klaim China atas Laut China Selatan serta intimidasinya, Indonesia tidak berusaha memperlihatkannya di hadapan dunia internasional. Namun begitu, Indonesia memiliki cara sendiri dalam menghadapi intimidasi Beijing. Saat ini, Indonesia bahkan mulai mengambil ancang-ancang perlawanan.
China selama ini secara resmi membuka front lain dalam permusuhannya di Laut China Selatan. Sikap China itu pada akhirnya mendorong Jakarta untuk menghadapi sengketa di Natuna itu, untuk mempertahankan wiayahnya sendiri karena bagaimana pun wilayah yang disengketana China masuk dalam Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia sesuai dengan Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS).
Beijing mengklaim bahwa wilayah yang berada dalam garis 'sembilan putus' itu adalah miliknya, sebuah batas buatan yang diciptakan oleh PKC (Partai Komunis Tiongkok) yang mencakup sebagian besar Laut Cina Selatan, memberinya kepemilikan atas seluruh wilayah maritim yang membentang sampai melewwati ZEE Indonesia.
ZEE adalah wilayah laut yang terbentang hingga 200 mil dari garis pangkal suatu negara. Sementara negara lain memiliki hak lintas damai di wilayah tersebut, suatu negara memiliki hak khusus mengenai eksplorasi dan penggunaan sumber daya maritim di ZEE-nya, dengan mengesampingkan kekuasaan lain.
"Jakarta selalu menentang China yang menindasnya di ZEE tanpa harus menyatakannya dengan lantang," ujar Baladas Ghoshal, mantan Profesor dan Ketua Kajian Asia Tenggara, Universitas Jawaharlal Nehru, dalam tulisannya yang dimuat di
Indianarrative, Jumat (14/1).
"Indonesia mengadopsi strategi cerdik di Inggris dan Rusia untuk menghadapi tekanan China," katanya.
Ia menguraikan bahwa Jakarta memiliki langkahnya sendiri dengan mencari dukungan dari konsorsium Harbour Energy Inggris dan perusahaan minyak negara Rusia Zarubezhneft untuk meletakkan pipa di Laut Natuna Utara agar terhubung dengan jaringan lepas pantai Vietnam.
Kedua perusahaan telah mengumumkan bahwa mereka menemukan sumber gas kotor sederhana sebesar 600 miliar kubik setelah pengeboran dua sumur di blok Tuna, sekitar 10 km dari ZEE Indonesia.
Terlepas dari keberatan Beijing, pengeboran berlanjut selama enam bulan dan selesai November lalu. Badan Keamaanan Laut Repulik Indonesia (Bakamla) mengklaim keberhasilan dalam usaha mereka, yang oleh beberapa analis disebut sebagai 'kemenangan besar Indonesia atas China'.
China telah berulang kali mengingatkan Indonesia untuk menghentikan proyek tersebut dan mengatakan bahwa itu adalah pelanggaran karena masuk dalam teritorial China. Peringatan itu kemudian keluar sebagai rilis resmi dan dikomunikasikan kepada pemerintah Indonesia pada Desember lalu.
Peringatan China itu jelas menjadi sebuah kerancuan dan kecaman, karena bagi Indonesia pengeboran itu dilakukan di tanahnya sendiri.
"Permintaan yang belum pernah terjadi sebelumnya itu jelas meningkatkan ketegangan atas sumber daya alam antara China dan Indonesia di wilayah strategis dan ekonomi global yang bergejolak," kata Ghoshal, menambahkan bahwa permintaan itu juga memantik sikap keras Indonesia yang mulai bangkit dari kebuntuan selama berbulan-bulan di Laut China Selatan.
"China memperlihatkan kekuatannya. Ia tidak hanya keberatan dengan operasi pengeboran yang dilakukan Indonesia di tanahnya sendiri, tetapi juga mengirim kapal penjaga pantai ke daerah itu untuk menekan Indonesia.
Hingga saat ini, Jakarta masih terus bertahan dengan belum secara terbuka mengungkapkan protesnya terhadap China. Bagi Jakarta, protes itu akan menjadi pengakuan perselisihan di daerah tersebut, hal yang sejauh ini masih terus dijaga Indonesia.
Meski tidak mengakui adanya sengketa, Indonesia pada Mei 2020 mengirim surat kepada PBB yang menolak klaim historis Beijing di laut yang ditunjukkan dengan peta sembilan garisnya. China, kemudian mengirimkan balasannya ke PBB.
"Inisiatif halus terbaru yang diambil Indonesia adalah mengundang pejabat yang bertanggung jawab atas keamanan maritim dari lima negara lain di ASEAN untuk bertemu awal tahun depan untuk membahas bagaimana menanggapi ketegasan China di Laut China Selatan," tulis Ghoshal.
Kepala Bakamla, Wakil Laksamana Aan Kurnia, telah mengundang rekan-rekannya dari Brunei, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Vietnam ke pertemuan pada Februari 2022 untuk “berbagi pengalaman dan membina persaudaraan†di antara negara-negara yang menghadapi tantangan serupa yang ditimbulkan oleh China.
"Menempa persatuan di antara lima negara ASEAN tidak akan menjadi tugas yang mudah, karena ada masalah kepercayaan yang sudah berlangsung lama di antara mereka, serta ketakutan akan pembalasan oleh China," menurut Ghoshal.
Penjaga Pantai Vietnam dan Badan Keamanan Maritim Indonesia bulan lalu menandatangani nota kesepahaman tentang kerja sama dalam memperkuat keamanan dan keselamatan maritim antara kedua kekuatan, meskipun ada masalah yang saling tumpang tindih yang telah mengganggu hubungan bilateral Vietnam-Indonesia.
Indonesia sendiri sedang mempersiapkan diri untuk segala kemungkinan dan berupaya memperkuat pertahanannya di dalam dan sekitar Natuna, mencurigai bahwa China sedang menjajaki peluang untuk merebut kendali efektif atas pulau-pulau tersebut.
Militer Indonesia sedang memperpanjang landasan pacu pangkalan udara agar pesawat tambahan dapat dikerahkan, bersama dengan pembangunan pangkalan kapal selam juga.
Indonesia bahkan telah mengembangkan kerjasama pertahanan dengan Jepang, Australia dan India.