Berita

Arief Gunawan/Net

Publika

Presidential Threshold dan Capres Kriminal sedang Melawan Daulat Rakyat

SENIN, 10 JANUARI 2022 | 10:54 WIB | OLEH: ARIEF GUNAWAN

DI tahun ‘70-an terjadi perdebatan sengit di antara Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia tentang rencana pemberian gelar Doktor Honoris Causa kepada Bung Hatta.

Para Guru Besar yang umumnya berfaham neoliberal menolak rencana itu.

Mereka berpendapat teori ekonomi Bung Hatta sudah ketinggalan zaman. Meski faktanya Bung Hatta adalah peletak dasar perekonomian nasional, khususnya Pasal 33 UUD ‘45 dan juga merupakan Bapak Koperasi Indonesia.

Profesor Sri-Edi Swasono yang waktu itu menjabat Pembantu Rektor III bermaksud membantah alasan penolakan itu. Namun niatnya ini ia batalkan lantaran tidak ingin dianggap menjadi persoalan-personal mengingat dirinya adalah menantu Bung Hatta.

Demikianlah akhirnya, gelar Doktor Honoris Causa tetap diberikan kepada Bung Hatta, tetapi bukan untuk bidang ekonomi, melainkan untuk bidang hukum konstitusi.

Konon, hingga akhir hayatnya Proklamator RI itu tidak pernah mengetahui kisah penolakan Universitas Indonesia yang enggan memberikan gelar Doktor Honoris Causa bidang ekonomi kepada dirinya.

Sebagai ekonom, politisi, diplomat, dan juga tokoh yang menjunjung tinggi Rechtsstaat (negara hukum) Bung Hatta selalu menekankan pentingnya Daulat Rakyat.

Suatu hari di tahun 1932 dalam artikel Ke Arah Indonesia Merdeka, ia menulis:

“Asas kerakyatan mengadung arti bahwa kedaulatan ada di tangan rakyat. Hukum haruslah bersandar pada perasaan keadilan dan kebenaran yang hidup di dalam hati nurani rakyat.”

Undang Undang Dasar 1945 (yang asli) menurutnya adalah bentuk hukum yang memungkinkan tersalurnya kedaulatan rakyat terutama dalam bidang politik dan ekonomi, untuk mencapai demokrasi yang berkeadilan termasuk dalam memilih pemimpin yang sesuai dengan kehendak rakyat.

Sejak tahun ‘30-an ia telah banyak menyampaikan pokok-pokok pikiran tentang demokrasi yang berkeadilan dan pentingnya mengedepankan Daulat Rakyat menggantikan Daulat Tuanku, yang dalam konteks hari ini Daulat Tuanku tak lain adalah Oligarki.

Yaitu kekuasaan yang terpusat kepada segelintir Tuan (para cukong/para taipan) yang dengan penguasaan uang telah membajak demokrasi di negeri ini untuk kepentingan mereka sendiri. Termasuk dalam hal pemilihan presiden, melalui instrumen akal-akalan yang sama sekali tidak ada di dalam Undang-Undang Dasar ‘45, bernama Presidential Threshold.

Dengan instrumen ini, mereka mampu mencetak capres-capres boneka dan presiden boneka seperti yang sedang berlangsung saat ini.

Tjokroaminoto sendiri di tahun 1914 telah menulis satu artikel berjudul Rechtspersoon yang menekankan pentingnya Daulat Hukum di dalam Daulat Rakyat.

Tulisan ini telah menyulut kemarahan para pembesar kolonial Belanda kala itu, karena menuntut kebebasan rakyat dalam memilih pemimpin sendiri, kebebasan berserikat, dan kebebasan menyatakan pendapat.

Demikianlah hari ini cita-cita para pendiri bangsa tentang pentingnya Daulat Rakyat telah dikhianati oleh oligarki yang mengubah Rechtsstaat (negara hukum) menjadi Machtsstaat (negara kekuasaan).

Selama beberapa Pilpres belakangan ini Presidential Threshold telah menjadi pintu masuk bagi praktik Demokrasi Kriminal. Karena pemilihannya didasari oleh kekuatan uang yang dibiayai oleh para cukong dan para taipan.

Sifatnya yang transaksional ini telah melahirkan para calon presiden yang bertumpu pada dukungan uang dan pencitraan. Bukan berbasis pada integritas, track record, prestasi, dan kemampuan problem solver.

Celakanya lagi para capres yang hanya bermodalkan pencitraan itu, di antaranya gubernur dan menteri, adalah merupakan anasir korup yang terlibat dalam kasus uang najis E-KTP, kasus PCR, kasus Kartu Prakerja, dan praktik tercela lainnya.

Dalam konteks ini langkah sejumlah aktivis pergerakan Poros Nasional Pemberantasan Korupsi (PNPK) yang membawa kembali kasus mereka ke KPK menjadi sangat relevan, supaya rakyat tidak lagi terus menerus dibodohi dan ditipu oleh permainan pencitraan para capres boneka-korup tersebut yang merupakan binaan oligarki.

Praktik oligarki yang menginginkan lahirnya capres-capres boneka bukan saja akan melanggengkan malapetaka demokrasi seperti hari ini, tetapi juga akan mendorong bangsa ini masuk ke dalam siklus kejatuhan yang sama seperti yang sedang kita rasakan sekarang.

Para capres boneka-korup pada dasarnya adalah para pendukung Presidential Threshold 20 persen yang ingin terus melanggengkan praktik oligarki yang memang sangat membutuhkan mereka untuk dijadikan presiden boneka.

Gerakan penolakan berbagai elemen masyarakat yang terjadi saat ini terhadap Presidential Threshold 20 persen yang kian hari kian masif esensinya adalah ekspresi dari Daulat Rakyat dan implementasi dari Daulat Hukum yang menginginkan Indonesia menjadi lebih baik dan menghasilkan demokrasi yang berkeadilan.

Betapa pentingnya Daulat Rakyat dan Daulat Hukum, sehingga ilmu hukum itu sendiri lahir dari kesadaran filosofis Homo Homini Lupus, Manusia adalah Serigala bagi Manusia lainnya. Karena itu hak-hak manusia harus diatur melalui hukum.

Hari ini praktek oligarki tidak ubahnya dengan serigala yang mencabik-cabik dan memangsa sumber hukum: Undang Undang Dasar 1945.

Dengan menyelundupkan Presidential Threshold 20 persen dan mengobrak-abrik Rechtsstaat menjadi Machtsstaat.

Penulis adalah Pemerhati Sejarah

Populer

Fenomena Seragam Militer di Ormas

Minggu, 16 Februari 2025 | 04:50

Asian Paints Hengkang dari Indonesia dengan Kerugian Rp158 Miliar

Sabtu, 15 Februari 2025 | 09:54

Bos Sinarmas Indra Widjaja Mangkir

Kamis, 13 Februari 2025 | 07:44

Temuan Gemah: Pengembang PIK 2 Beli Tanah Warga Jauh di Atas NJOP

Jumat, 14 Februari 2025 | 21:40

PT Lumbung Kencana Sakti Diduga Tunggangi Demo Warga Kapuk Muara

Selasa, 18 Februari 2025 | 03:39

Pengiriman 13 Tabung Raksasa dari Semarang ke Banjarnegara Bikin Heboh Pengendara

Senin, 17 Februari 2025 | 06:32

Dugaan Tunggangi Aksi Warga Kapuk Muara, Mabes Polri Diminta Periksa PT Lumbung Kencana Sakti

Selasa, 18 Februari 2025 | 17:59

UPDATE

PDIP Minta Seluruh Kader Banteng Tenang

Kamis, 20 Februari 2025 | 23:23

Megawati Instruksikan Kepala Daerah dari PDIP Tunda Retret ke Magelang

Kamis, 20 Februari 2025 | 22:43

Wujudkan Pertanian Berkelanjutan dan Ketahanan Pangan, Pemerintah Luncurkan FAST Programme

Kamis, 20 Februari 2025 | 22:27

Trump Gak Ada Obat, IHSG Terseret Merah

Kamis, 20 Februari 2025 | 22:26

Uchok: Erick Thohir Akali Prabowo soal Danantara

Kamis, 20 Februari 2025 | 22:24

Hasto Ditahan, Megawati Tidak Menunjuk Plt Sekjen PDIP

Kamis, 20 Februari 2025 | 22:21

Resmi Pimpin Banten, Andra Soni-Dimyati Diingatkan Jangan Korupsi

Kamis, 20 Februari 2025 | 22:18

KPK Tahan Hasto, PDIP: Operasi Politik Mengawut-awut Partai

Kamis, 20 Februari 2025 | 22:17

Hasto Ditahan, PDIP: KPK Dikendalikan dari Luar Melalui AKBP Rossa

Kamis, 20 Februari 2025 | 22:16

Adityawarman Adil Apresiasi BSF CGM 2025: Gambaran Kekayaan Budaya Kota Bogor

Kamis, 20 Februari 2025 | 21:56

Selengkapnya