Taliban mengambil alih kekuasaan di Kabul pada 15 Agustus 2021/Net
Tahun telah berganti. Namun warga Afghanistan masih menghadapi masalah yang berkepanjangan akibat peristiwa yang terjadi tahun lalu.
15 Agustus 2021 menjadi hari bersejarah baru bagi warga Afghanistan. Pada hari itu, kelompok Taliban merebut kekuasaan dari pemerintahan sipil pimpinan Presiden Ashraf Ghani tanpa perlawanan di Kabul. Ghani bahkan kemudian diketahui telah lebih dulu angkat kaki dari negaranya, sebelum Taliban memasuki Kabul.
Sejak saat itu, warga Afghanistan harus menghadapi perubahan dramatis dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam segi politik, ekonomi, keamanan dan juga sosial. Korbannya tidak lain merupakan warga Afghanistan sendiri.
Salah satu masalah utama yang paling dirasakan oleh warga Afghanistan adalah ekonomi. Betapa tidak, kekuasaan Taliban di Afghanistan tidak diakui oleh banyak negara di dunia. Sebagai akibatnya, aset Afghanistan pun dibekukan oleh Amerika Serikat dan Bank Dunia. Sejumlah program bantuan lainnya pun dihentikan oleh organisasi internasional.
Situasi semakin memburuk di akhir tahun 2021 lalu. Banyak kantor, media hingga lembaga pendidikan memangkas jumlah karyawannya bahkan tidak sedikit yang gulung tikar karena tidak lagi memiliki dana untuk membayar gaji.
Bank-bank di Afghanistan juga mengalami krisis keuangan. Antrean panjang di depan bank dan ATM pun sudah menjadi pemandangan sehari-hari.
Warga yang kehabisan uang pun berupaya menjual apapun yang mereka miliki di rumah. Bahkan pada tingkat yang lebih ekstrem, sejumlah keluarga miskin "menjual" anak mereka untuk pernikahan dini atau tujuan lain demi bisa bertahan hidup.
Di tengah situasi tersebut, apa yang dilakukan oleh Taliban untuk menyelesaikan masalah?
Reporter
Kantor Berita Politik RMOL di Kabul, Abdul Mansoor Hassan Zada menjelaskan bahwa tidak sedikit warga Afghanistan yang kehilangan harapan akan masa depan yang lebih baik di bawah pemerintahan Taliban.
Betapa tidak, pemerintah Taliban justru lebih memberikan fokus pada upaya pengetatan aturan ibadah.
"Seperti di beberapa provinsi di Afghanistan, pria dewasa diwajibkan untuk menunaikan ibadah salat subuh dan isya di dalam masjid. Bahkan ada semacam absensi untuk mengetahui apakah ia hadir atau tidak, seperti sekolah," ujarnya.
Namun aturan semacam itu tidak diberlakukan dengan ketat di Kabul, melainkan hanya di beberapa provinsi di mana Taliban memegang kendali penuh.
Hal lain, misalnya, Taliban juga melarang anak perempuan untuk pergi ke sekolah serta mengingatkan pria Afghanistan untuk memelihara janggut sebagai sunnah.
Sehingga apa yang dilakukan oleh Taliban tampak tidak sesuai dengan solusi yang sangat dibutuhkan oleh warga Afghanistan saat ini yang banyak mengalami kesulitan ekonomi.
"Kami seakan kehilangan harapan," ujarnya.