Berita

Ilustrasi logo NU/Net

Publika

Rais Aam PBNU

Oleh Moch Eksan*
KAMIS, 23 DESEMBER 2021 | 14:04 WIB

SEMENJAK Nahdlatul Ulama (NU) berdiri, sudah ada 10 kiai yang menduduki Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Mereka pimpinan tertinggi yang mempunyai otoritas syariah dalam kehidupan jam'iyyah dan warga nahdliyyin.

Hadratus Syeikh KH Hasyim Asy'ari menduduki Rois Aam (1926-1947), 21 tahun. KH Abdul Wahab Hasbullah (1947-1971), 24 tahun. KH Bisri Syamsuri (1971-1980), 7 tahun. KH Ali Maksum (1980-1984), 4 tahun. KH Achmad Shiddiq (1984-1991), 7 tahun. KH Ali Yafie (1991-1992), 1 tahun. KH Muhammad Ilyas Ruchyat (1982-1999), 7 tahun.

Selanjutnya, KH Muhammad Ahmad Sahal Mahfudz (1999-2014), 15 tahun. KH Mustofa Bisri (2014-2015), 1 tahun. KH Makruf Amin (2015-2018), 3 tahun. KH Miftahul Akhyar (2018-sekarang) melanjutkan jabatan Rais Aam KH Makruf Amien yang mengundurkan diri karena menjadi calon wakil presiden Jokowi.


Rais Aam merupakan nomenklatur khas NU. Apalagi Rois Akbar yang disandang oleh Kiai Hasyim, istilah yang tak ada duanya dalam sepanjang sejarah NU. Rais Aam diduduki secara periodik oleh kiai pesantren melalui pemilihan langsung dalam muktamar atau melalui sistem ahlul halli wal aqdi (AHWA).

Almagfurlah Kiai Achmad pernah merasakan pemilihan melalui AHWA sekaligus pilihan langsung dalam muktamar. Pada periode pertama, Kiai Achmad terpilih menjadi Rais Aam melalui AHWA yang diketuai oleh KH As'ad Syamsul Arifin pada Muktamar NU ke-27 1984 di Situbondo.

Sementara pada periode kedua, Kiai Achmad terpilih menjadi Rais Aam setelah mengalahkan KH Idham Chalid dengan 188 suara melawan 116 suara pada Muktamar NU ke-28 1989 di Yogyakarta.

Sejak Muktamar NU ke-33 2015 di Jombang, sistem pemilihan langsung dalam pemilihan Kiai Ilyas, dan Kiai Sahal pada Muktamar Cipasung, Muktamar Kediri, Muktamar Boyolali, Muktamar NU Makassar, dikembalikan pada sistem AHWA.

Muktamirin memilih 9 ulama. Antara lain: KH Maruf Amin, KH Nawawi Abdul Jalil, Tuanku Guru Turmudzi Babruddin, KH Kholilur Rahman, KH Dimyati Rois, KH Ali Akbar Marboen, KH Maktum Hanan, KH Maemun Zubair, dan KH Mas Subadar.

Para kiai yang memperoleh suara terbanyak peringkat 1 sampai 9 yang menjadi anggota Ahwa. Mereka yang bermusyawarah untuk memilih Rais Aam dari 9 nama terpilih atau dari luar. Semua berdasarkan pada hasil musyawarah mufakat. Musyawarah menyepakati Gus Mus sebagai Rais Aam. Tapi tak bersedia dan akhirnya disepakati Kiai Maruf yang menjadi Rais Aam masa khidmat 2015-2020.

Sehubungan dengan pencalonan Kiai Makruf sebagai wakil presiden Jokowi, Kiai Makruf mengundurkan diri dan diganti oleh Kiai Miftah selaku wakil Rais Aam yang otomatis naik menjadi Rais Aam PBNU, sesuai dengan AD/ART NU.

Memang, bursa calon Rais Aam taklah seramai calon Ketua Umum PBNU. Ini lantaran sistem AHWA ternyata efektif mengurangi temperatur politik menjelang Muktamar NU. Selain sistem AHWA menghindarkan para kiai bertarung terbuka dan kecenderungan menjatuhkan martabat seorang tokoh panutan umat.

Ada nama calon Rais Aam yang dipaketkan dengan kandidat calon Ketua Umum PBNU. Jatim misalnya mempaketkan nama Kiai Miftah sebagai Rais Aam dan Gus Yahya sebagai Ketua Umum PBNU.

Kubu KH As'ad Said Ali misalnya mempaketkan Maulana Habib Muhammad Luthfi Bin Yahya sebagai Rais Aam dan Kiai As'ad sebagai Ketua Umum. Ada juga lontaran wacana jauh sebelum muktamar, Cak Imin mempaketkan Kiai Said sebagai Rais Aam dan Gus Yahya sebagai Ketua Umum PBNU.

Disamping itu, ada pula yang memasrahkan sepenuhnya pada AHWA yang akan diusulkan oleh seluruh muktamarin dari PWNU, PCNU dan PCINU. Mereka sangat memahami benar, otoritas Muktamar NU sebatas memilih AHWA. Yang berhak menentukan hasil musyawarah mufakat 9 Ahwa nanti. Konstitusi NU memperkenankan nama Rais Aam dari dalam maupun di luar Ahwa sendiri.

Namun demikian, nama yang beredar kuat saat ini, ada dua. Yaitu Kiai Miftah dan Habib Luthfi. Dua ulama asal Surabaya dan Pekalongan ini memenuhi kriteria AD/ART. Dimana Rois Aam harus seorang yang faqih (ahli agama), munaddhim (organisatoris), muharrik (penggerak) dan wira'i (hati-hati dalam agama). Lima kriteria tersebut sangat nampak pada dua figur Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan anggota Wantimpres tersebut.

*Penulis adalah mantan Wakil Sekretaris PCNU Jember dan Pendiri Eksan Institute

Populer

Mahfud MD soal Bencana Sumatera: Menyuruh Pejabat Mundur Tidak Relevan

Rabu, 10 Desember 2025 | 05:53

Ketika Kebenaran Nasib Buruh Migran Dianggap Ancaman

Sabtu, 20 Desember 2025 | 12:33

OTT KPK juga Tangkap Haji Kunang Ayah Bupati Bekasi

Jumat, 19 Desember 2025 | 03:10

Uang yang Diamankan dari Rumah Pribadi SF Hariyanto Diduga Hasil Pemerasan

Rabu, 17 Desember 2025 | 08:37

OTT Beruntun! Giliran Jaksa di Bekasi Ditangkap KPK

Kamis, 18 Desember 2025 | 20:29

Tunjuk Ara di Depan Luhut

Senin, 15 Desember 2025 | 21:49

Makin Botak, Pertanda Hidup Jokowi Tidak Tenang

Selasa, 16 Desember 2025 | 03:15

UPDATE

Bahlil: Jangan Uji NYali, Kita Nothing To Lose

Sabtu, 20 Desember 2025 | 15:44

Bukan AI Tapi Non-Human

Sabtu, 20 Desember 2025 | 15:43

Usai Dicopot Ketua Golkar Sumut, Ijeck Belum Komunikasi dengan Doli

Sabtu, 20 Desember 2025 | 15:12

Exynos 2600 Dirilis, Chip Smartphone 2nm Pertama di Dunia

Sabtu, 20 Desember 2025 | 14:52

Akui Kecewa Dicopot dari Ketua DPD Golkar Sumut, Ijeck: Mau Apalagi? Kita Terima

Sabtu, 20 Desember 2025 | 14:42

Bahlil Sentil Senior Golkar: Jangan Terlalu Lama Merasa Jadi Ketua Umum

Sabtu, 20 Desember 2025 | 14:22

Kajari Bekasi Eddy Sumarman yang Dikaitkan OTT KPK Tak Punya Rumah dan Kendaraan

Sabtu, 20 Desember 2025 | 14:07

Sekretaris Golkar Sumut Mundur, Ijeck Apresiasi Kesetiaan Kader

Sabtu, 20 Desember 2025 | 14:06

Dana Asing Banjiri RI Rp240 Miliar Selama Sepekan

Sabtu, 20 Desember 2025 | 14:01

Garda Satu dan Pemkab Tangerang Luncurkan SPPG Tipar Raya Jambe

Sabtu, 20 Desember 2025 | 13:38

Selengkapnya