BERUNTUNG, saya mengenal dua tokoh sangat terpuji ini. Dengan penuh kesengajaan dan sesadar-sadarnya, saya menggunakan istilah “tokoh sangat terpuji.â€
Mungkin ada yang tidak sepaham, tidak apa-apa. Berbeda pendapat, soal yang biasa di dalam alam demokrasi, meskipun menurut para cerdik cendikia, demokrasi di negeri ini mulai merosot.
Bukan hanya demokrasi di negeri ini yang mulai merosot, kalau pandapat itu benar. Menurut laporan tahunan tentang demokrasi dari “International Institute for Democracy and Electoral Assistance†(International IDEA) sebuah tanki pemikir yang bermarkas di Stockholm, Swedia (2021), meskipun merupakan “benteng demokrasi global†kini AS sedang mengalami kemunduran demokrasi, untuk pertama kalinya dalam 20 tahun terakhir
Kata Romo Mangunwijaya (1997), salah satu syarat mutlak demokrasi adalah, bangsa harus cukup rasional dan cukup cerdas. Bangsa yang emosional melulu dan setiap kali mudah terbakar retorika atau isu, tidak dapat berdemokrasi. Juga bangsa yang bodoh impulsif bermental instan saja sehingga sulit memperhitungkan akibat dari sebabnya, juga tidak mungkin berdemokrasi.
Bangsa yang mudah mata gelap, mengamuk dan “hantam kromoâ€, yang berjiwa “pukul dulu urusan belakangâ€, mustahil berdemokrasi. Bangsa atau paling sedikit orang yang tidak sportif, tidak fair play, dan marah ngawur jika kalah…juga tidak dapat berdemokrasi. Bangsa yang amat mudah tersinggung dan tidak tahu humor sehat, yang menomorsatukan gengsi sebagai nilai hidup …yang adigang, adigung, adiguna (mempongahkan kekuasaan, keluhuran, dan kemampuan diri), juga sangat sulit berdemokrasi.
Dalam konteks demokrasi pula, dua tokoh besar itu muncul. Tentang kedua tokoh besar ini, tentu, bukan hanya saya saja yang mengenalnya. Banyak orang di negeri ini yang mengenalnya. Bahkan, kenal lebih dekat dan sangat dekat dibanding saya. Saya hanya masuk dalam katagori, “sudah senang sekali kalau kiriman WA saya, dijawab.â€
Sangat wajar, kalau banyak orang dari pelbagai kalangan—politisi, usahawan, ulama, rakyat biasa (tua maupun muda; lelaki maupun perempuan; orang kota maupun orang desa), kaum terdidik maupun yang kurang terdidik, dan masih banyak lagi—mengenalnya, meskipun banyak di antar mereka belum pernah bertemu. Banyak kalangan yang pingin dan sudah sowan kepada mereka, terutama kalangan politisi.
Sangatlah bijaksana dan pantas sowan kepada kedua tokoh ini, bila ingin menjadi politisi yang berhati-nurani, yang berakal budi. Tentu kedua tokoh ini sangat berbeda, berbeda jauh sekali, bahkan sangat tidak dapat disamakan dengan “tokoh†(sesepuh) yang tidak perlu dan tidak pantas disowani, yang menurut Presiden Jokowi sering membuat keributan.
“Jangan menggadaikan kewibawaan dengan sowan kepada pelanggar hukum,†kata Jokowi kepada para polisi.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1997), kata “tokoh†diartikan sebagai orang yang terkemuka/terkenal, panutan (dalam hal-hal yang baik, tentunya). Misalnya, yang disebut sebagai tokoh agama adalah seseorang yang berilmu terutamanya dalam hal perkaitan dalam agama.
Ia wajar dijadikan sebagai
role-model dan tempat rujukan ilmu bagi orang lain. Karena apa yang dikatakan dan dilakukan benar-benar mencerminkan sebagai mahkluk yang berakal budi.
Jelas, bahwa tokoh semacam itu tidak masuk dalam kategori peribahasa
esuk dele sore tempe, mencla-mencle, tidak konsisten, tidak bisa pegang janji. Peribahasa itu menggambarkan orang yang kerap kali berubah dalam perkataan dan pendirian alias tidak konsisten.
Sikap tidak konsisten tentu saja akan mengecewakan orang-orang di sekitarnya. Orang lain sulit “memegang†perkataannya, dan cenderung akan menghindar apabila harus berurusan dengan orang yang tidak konsisten itu.
Dalam rumusan yang lebih dalam, antrolopog Niels Mulder (2012) merumuskan sikap semacam itu sebagai cerminan dari orang yang “terkosongkan dari kandungan moral†(
emptied of moral content). Kini yang mengalami “terkosongkan dari kandungan moralâ€, banyak.
II
Tokoh masyarakat adalah orang-orang yang memiliki pengaruh—tentu dalam hal-hal yang baik—dan ada yang bersifat formal dan informal. Tokoh masyarakat ada yang formal dan pula yang informal. Yang bersifat formal adalah orang-orang yang diangkat dan dipilih oleh lembaga negara dan bersifat struktural, seperti lurah, camat, lurah, sampai ke tingkat atas.
Sedangkan tokoh masyarakat yang bersifat informal adalah orang-orang yang diakui oleh masyarakat karena dipandang pantas menjadi pemimpin yang disegani dan berperan besar dalam memimpin dan mengayomi masyarakat, sagala ucapan dan tindakannya pantas didengarkan serta ditiru.
Ada ujar-ujaran dalam bahasa Jawa yang berbunyi,
sejatiné pemimpin iku kang bisa ngayomi lan ngayemi (sesungguhnya pemimpin itu adalah orang yang bisa melindungi dan menenteramkan).
Rasanya banyak yang sepakat—meski juga ada yang tidak sepakat—kalau dikatakan bahwa Soekarno adalah tokoh nasionalis sejati. Ganda Febri Kurniawan, Warto, Leo Agung Sutimin (2019) menulis ketokohan Soekarno menyerupai Genghis Khan Hasar dari legenda kerajaan Mongolia (Nikolay, dkk., 2018: 75).
Ia merupakan representasi dari mesianisme dalam konteks Indonesia, atau dalam kebudayaan Jawa dikenal dengan istilah Ratu Adil. Gerakan Ratu Adil menurut Kartodirdjo (1984: 19) adalah tindakan kepeloporan pembebasan masyarakat yang proses penunjukan pada pemimpinnya menggunakan pendekatan teologi agama.
Soekarno, menurut Kartodirdjo (1984: 98) adalah Ratu Adil atau mesias dalam konteks Indonesia. Peranan heroiknya dalam mengusir penjajah kolonial Belanda merupakan pencapaian luar biasa dalam proses dekolonisasi yang dikerjakan sejak awal abad ke-20.
III
Sampai di sini, saya ingin menyebut dua tokoh yang menjadi judul tulisan ini: Buya Syafii Maarif dan Abdillah Toha. Orang bisa dan malahan boleh berbeda pendapat tentang kedua tokoh itu.
Sekali lagi, inilah indahnya demokrasi; kita bersama dalam kemajemukan tentang banyak hal, tetapi untuk kebaikan. Dalam demokrasi kita merayakan perbedaan.
Bagi saya, Buya Syafii Maarif adalah mata-air keteladanan dalam banyak hal, baik kejujuran, kesederhanaan, sikap hidup, tindakan nyata dan berbagai hal kebaikan lainnya.
Demikian juga Abdillah Toha, yang selalu mengatakan apa adanya sekalipun terhadap orang yang didukungnya, tanpa “topeng†kepalsuan dengan aksi sekadar sensasi, seperti yang banyak dilakukan oleh mereka yang menokohkan diri, yang suka menebarkan pesona demi gensi dan demi kuasa.
Ketokohan seseorang sekurang-kurangnya, dapat dilihat dari tiga indikator. Pertama, integritas tokoh tersebut. Kedua, karya-karya monumental. Karya-karya tersebut bisa berupa karya tulis, karya nyata dalam bentuk fisik maupun non fisik yang bermanfaat bagi masyarakat, baik sezamannya, ataupun masa sesudahnya.
Ketiga, kontribusi atau pengaruhnya terlihat atau dirasakan secara nyata oleh masyarakat, baik dalam bentuk pikiran, maupun tindakannya, hingga ketokohannya diakui, diidolakan, diteladani, dan dianggap memberikan inspirasi banyak orang.
Kini, negeri ini membutuhkan lebih banyak tokoh yang sekurang-kurangnya memenuhi tiga hal tersebut di atas; tokoh yang moderat, tidak terlalu ekstrem dalam berpikir, akan tetapi tetap dengan landasan berpikir yang kuat; yang luwes, supel dan terbuka serta bisa berkomunikasi dengan orang banyak. Tentu, tokoh yang berakal budi.
Sebab, “mahkluk yang berakal budiâ€, inilah yang membedakan manusia dengan binatang yang hidup dari naluri dan insting saja, tidak menggunakan akal dan budi. Sementara manusia hidup dengan akal dan budinya.
Dengan akal budinya, manusia dapat secara bebas memilih mana tindakan yang baik dan tidak baik. Itulah salah satu alasan, mengapa manusia menjulang tinggi di atas binatang.