Rentetan kasus kekerasan seksual yang terjadi di Provinsi Aceh, khususnya yang terbaru yakni tindakan penyekapan dan pemerkosaan 14 pelaku (gang rape ) terhadap anak perempuan berusia 15 tahun di sebuah caffe di Kabupaten Nagan Raya bisa dikatakan Aceh darurat kekerasan seksual.
Direktur Yayasan Anak Bangsa, Sriwahyuni mengatakan, tindakan kekerasan seksual dengan beragam bentuknya adalah tindakan biadab dan tidak berprikemanusiaan. Siapapun pelakunya layak mendapat hukuman yang menjerakan sesuai undang undang perlindungan anak.
“Hampir setiap hari khalayak Aceh membaca di media massa yang memberitakan soal tindakan pemerkosaan, pelecehan, pemerkosaan beramai ramai, perundungan yang berujung pada kekerasan seksual dan lain lain,†kata Sri dalam keterangan tertulis, Sabtu sore (18/12).
Bahkan ia mengungkap, data terakhir BP3A Provinsi Aceh mencatat selama tahun Januari hingga Agustus 2021 telah terjadi 355 kasus. Kekerasan seksual mayoritas menyasar remaja dan anak usia dini. Tindakan kekerasan seksual ini menjadi momok yang sangat menakutkan dan sudah mencapai situasi darurat.
Untuk itu Yayasan Anak Bangsa, Walhi Aceh dan Koalisi NGO HAM Aceh meminta kepada pemerintah Aceh untuk segera mengambil tindakan preventif dan menyatakan Aceh sebagai daerah dengan status darurat kekerasan seksual.
“Pernyataan tersebut harus di tindak lanjuti dengan meningkatkan kesiagaan seluruh lapisan masyarakat yang bersinergi dengan pihak keamanan. Pantau dan perhatikan bagaimana kehidupan masyarakat, kantong kantong kemiskinan, jaringan narkoba, penggunaan internet yang tidak sehat, tempat tempat berkumpul generasi muda yang mencurigakan,†pintannya.
Disamping itu, Sriwahyuni menambahkan, segala unsur pemerintah dan masyarakat hendaknya wajib meningkatkan kesadaran apa yang di sebut dengan kekerasan seksual. Tokoh masyarakat, tokoh pendidikan, Dayah Dayah dan pesantren, mohon tingkatkan perhatian, tambah wawasan dan pengetahuan apa yang di maksud dengan kekerasan seksual.
“Pemerintah Aceh harus segera melakukan gerakan cepat, dengan membentuk tim khusus pencegahan kekerasan seksual yang bertugas melakukan sosialisasi dan pencegahan di kampung kampung. Lembaga ini harus segera dibentuk dan di fungsikan guna menunjukkan bahwa provinsi Aceh sebagai daerah ber- syariat Islam jauh lebih serius dari provinsi lain di negara ini dalam melakukan upaya pencegahan kekerasan seksual,†kata Sriwahyuni.
Terakhir, ia meminta agar pemerintah merevisi qanun jinayah. Hal ini, kata dia, harus segera dilakukan sehingga tidak menambah kesulitan dalam penegakan hukum, dan pemulihan bagi korban.
“Dualisme hukum yang terajadi sangat menguras energi pendamping daalm upaya mendampingi korban baik dalam proses litigasi dan juga non litigasi,†pungkas Sriwahyuni.