Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti/Net
Sejumlah kegaduhan, pembelahan anak bangsa, hingga polarisasi antar kelompok yang tajam dalam beberapa tahun terakhir terjadi karena UU Pemilu memberikan ambang batas pencalonan presiden, atau presidential threshold.
Begitu kata Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti di hadapan para anggota DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota Fraksi Bulan Bintang se-Indonesia yang mengikuti Bimbingan Teknis 'Pendalaman Tugas Pimpinan dan Anggota DPRD' di Jakarta, Selasa malam (7/12).
Hadir dalam kesempatan itu, Ketua Umum PBB Yusril Ihza Mahendra (via Zoom), Sekjen PBB Afriansyah Noor, Ketua Majelis Syuro PBB KH Masrur Anhar, Bupati Konawe Utara Ruksamin (Ketua DPW PBB Sulawesi Tenggara) dan para pengurus PBB lainnya.
Dia mengurai, dalam dua kali pilpres, Indonesia hanya mampu memunculkan dua pasang calon head to head. Akibatnya, terjadi polarisasi dan pembelahan di masyarakat yang sangat tajam dan sampai hari ini masih dirasakan.
Saat ini, kata LaNyalla, sesama anak bangsa saling melakukan persekusi. Saling melaporkan ke ranah hukum. Bahkan ruang-ruang dialog yang ada juga dibatasi dan dipersekusi. Yang kemudian muncul adalah sweeping bendera, sweeping kaos, sweeping forum diskusi, pembubaran pengajian dan lain sebagainya.
“Semuanya sama sekali tidak mencerminkan kehidupan di negara demokrasi. Tetapi lebih kepada tradisi bar-bar. Sebuah kemunduran bagi indeks demokrasi di Indonesia,†ujarnya.
Secara tidak sadar, sambung LaNyalla, anak bangsa membenturkan Vis-Ã -vis Pancasila dengan Islam. Hanya karena semangat melakukan apapun yang bersifat antithesa untuk menjelaskan identitas dan posisi. Padahal tidak ada satupun tesis yang bisa menjelaskan pertentangan antara Pancasila dengan Islam.
“Itulah dampak buruk dari penerapan Ambang Batas Pencalonan Presiden, atau dalam kasus tertentu juga terjadi di ajang pemilihan kepala daerah,†lanjutnya.
Padahal Ambang Pencalonan Presiden itu sama sekali tidak ada dalam konstitusi Indonesia. Yang ada adalah aturan Ambang Batas Keterpilihan, yang dimaksudkan untuk menyeimbangkan antara popularitas dengan prinsip keterwakilan yang lebih lebar dan menyebar.
“Ambang batas pencapresan atau Presidential Threshold membuat potensi bangsa ini menjadi kerdil. Padahal kita tidak kekurangan calon pemimpin kompeten. Tetapi, kemunculannya dihalangi aturan main yang sekaligus mengurangi pilihan rakyat untuk menemukan pemimpin terbaiknya,†tegasnya.