Berita

Rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) di Jakarta, 18 Agustus 1945 yang antara lain menetapkan UUD 1945 sebagai dasar negara RI./Ist

Publika

Amien Rais Mendukung Kembali ke UUD 1945 untuk Disempurnakan dengan Adendum

JUMAT, 03 DESEMBER 2021 | 04:50 WIB | OLEH: PRIJANTO

SAYIDINA Umar Bin Chottob berkata: Ada kalanya orang yang buruk di masa silam,mereka akan menjadi orang yang paling baik di masa depan. Kata-kata tersebut sering saya dengar pada saat ada khotbah dan pengajian. Artinya, seseorang bisa saja berubah, sehingga stigmanisasi yang berlebihan kepada seseorang sesungguhnya tidaklah perlu. Orang baik bisa berubah menjadi pongah, buruk dan khianat, atau sebaliknya.

Pembatasan: Tidak ada maksud tertentu kecuali untuk membedakan dan mempermudah, dalam artikel ini hasil amandemen UUD 1945, kita sebut UUD 2002.

Tiga belas tahun yang lalu, dalam kaitan reaksi anak bangsa yang ingin Kembali ke UUD 1945, Amien Rais dalam Kata Pengantar pada buku Valina Singka Subekti “Menyusun Konstitusi Transisi” mengatakan seperti memutar jarum jam searah ke belakang, sesuatu yang mustahil dan tidak boleh terjadi. Amien Rais menyebut ada sepuluh implikasi yang harus dicamkan jika Kembali ke UUD 1945:


Pertama, DPD otomatis hilang.
Kedua, DPA muncul kembali.
Ketiga, Otonomi Daerah dibatalkan. Pemerintah pusat kembali memegang sentralisasi kekuasaan.
Keempat, MPR terdiri dari anggota DPR, Utusan Daerah dan Utusan Golongan.
Kelima, Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh MPR bukan oleh rakyat.
Keenam, pasal HAM dengan sepuluh ayat yang melindungi hak asasi manusia Indonesia menjadi hilang.
Ketujuh, tidak ada pasal yang menjamin kelestarian NKRI.
Kedelapan, tidak ada ketentuan sekurang-kurangnya 20 persen APBN dan APBD dialokasikan untuk pendidikan nasional.
Kesembilan, UU dibuat oleh eksekutif, sedangkan legislatif hanya menyetujui.
Kesepuluh, Presiden dapat dipilih berulang kali tanpa batas.

Dalam hal ini, Amien Rais nampak percaya diri bahwa UUD 2002 sebagai konstitusi yang sudah tepat untuk Indonesia. Namun, bagaimana mungkin Amien Rais bisa bilang Kembali ke UUD 1945 sesuatu yang mustahil dan tidak boleh terjadi? Pernyataan yang antagonistis dengan pernyataannya sendiri. Amien bilang hasil amandemen sebagai living constitution yang selalu terbuka untuk diubah menyesuaikan dengan perkembangan zaman. Konstitusi bukan ‘Kitab Suci’ yang tidak bisa diubah, kata para pengamandemen. Sejarah juga mencatat, Bung Karno pernah memutar balik pikiran bangsa Indonesia, kembali ke UUD 1945, pada 5 Juli 1959.

Jadi, apa dasarnya Amien Rais bilang mustahil dan tidak boleh terjadi? Bukankah perubahan itu bisa perubahan total “Kembali ke UUD 1945, selanjutnya dilakukan penyempurnaan dengan cara adendum?” Itulah kritisi saya dalam artikel berseri pada September 2020 yang menepis sepuluh implikasi yang disampaikan Amien Rais.

Ternyata tiga belas tahun kemudian Amien Rais berubah pikiran dan berpendapat, setelah mengamati perkembangan situasi global, regional dan nasional. Dikatakannya, antara lain, sementara krisis eksistensial di Indonesia berupa masa depan bangsa yang makin suram, bahkan gelap.

Kita melihat keterbelahan bangsa yang makin dalam, terutama dirasakan umat Islam. Tonggak-tonggak demokrasi sudah banyak yang roboh. Indonesia makin jauh masuk ke debt-trap China. Kekayaan alam Indonesia banyak yang mengalir ke luar negeri daripada dinikmati oleh masyarakat bangsa Indonesia. Kesenjangan kaya miskin semakin menganga, seperti temuan Oxfam London yang menyebut ada empat oknum yang kekayaan mereka lebih besar dari 100 juta penduduk miskin.

Demokrasi Indonesia sudah terkubur secara sitematik dan sudah terjadi apa yang dinamakan sebagai The Corporate Coup d’etat.

Tampaknya hasil pengamatan situasi dan kondisi Indonesia itulah yang mengubah pemikiran Amien Rais. Setelah mendengarkan penyampaian pemikiran saya dalam buku “Untaian Butir-Butir Mutiara Konstitusi Indonesia”  di Rumah Perjuangan Bangsa, 28 November 2021, Amien Rais menyatakan mendukung atas konsepsi “Kembali ke UUD 1945, Untuk Disempurnakan Dengan Adendum”. Alhamdulillah.

Pada hakikatnya, konsepsi tersebut merupakan upaya “Pewarisan dan Pelestarian Nilai-Nilai Pancasila, Cita-Cita, dan Tujuan Didirikannya Negara Indonesia Merdeka Demi Terjaga dan Kokohnya Persatuan Indonesia Melalui Dekrit Presiden yang Terkoordinasikan”.

Apakah ada perbedaan antara Dekrit Presiden dengan Dekrit Presiden yang Terkoordinasikan? Apakah Dekrit Presiden yang Terkoordinasikan tersebut ada dasar hukumnya? Persoalan ini akan saya sampaikan pada artikel tersendiri. Semoga terinspirasi dan bersedia mendukung demi negeri yang kita cintai.

Penulis adalah mantan Gubernur DKI Jakarta, Ketua PPAD DKI Jakarta


Populer

Bobby dan Raja Juli Paling Bertanggung Jawab terhadap Bencana di Sumut

Senin, 01 Desember 2025 | 02:29

NU dan Muhammadiyah Dikutuk Tambang

Minggu, 30 November 2025 | 02:12

Padang Diterjang Banjir Bandang

Jumat, 28 November 2025 | 00:32

Sergap Kapal Nikel

Kamis, 27 November 2025 | 05:59

Peluncuran Tiga Pusat Studi Baru

Jumat, 28 November 2025 | 02:08

Bersihkan Sisa Bencana

Jumat, 28 November 2025 | 04:14

Evakuasi Banjir Tapsel

Kamis, 27 November 2025 | 03:45

UPDATE

Puan Harap Korban Banjir Sumatera Peroleh Penanganan Baik

Sabtu, 06 Desember 2025 | 02:10

Bantuan Kemensos Telah Terdistribusikan ke Wilayah Aceh

Sabtu, 06 Desember 2025 | 02:00

Prabowo Bantah Rambo Podium

Sabtu, 06 Desember 2025 | 01:59

Pansus Illegal Logging Dibahas Usai Penanganan Bencana Sumatera

Sabtu, 06 Desember 2025 | 01:39

BNN Kirim 2.000 Paket Sembako ke Korban Banjir Sumatera

Sabtu, 06 Desember 2025 | 01:18

Bahlil Sebut Golkar Bakal Dukung Prabowo di 2029

Sabtu, 06 Desember 2025 | 01:03

Banjir Sumatera jadi Alarm Keras Rawannya Kondisi Ekologis

Sabtu, 06 Desember 2025 | 00:56

UEA Berpeluang Ikuti Langkah Indonesia Kirim Pasukan ke Gaza

Sabtu, 06 Desember 2025 | 00:47

Media Diajak Kawal Transformasi DPR Lewat Berita Berimbang

Sabtu, 06 Desember 2025 | 00:18

AMAN Raih Dua Penghargaan di Ajang FIABCI Award 2025

Sabtu, 06 Desember 2025 | 00:15

Selengkapnya