Berita

Ilustrasi/Net

Publika

Permendikbud Seks Itu... Pleonasme

SABTU, 20 NOVEMBER 2021 | 22:24 WIB | OLEH: DJONO W OESMAN

Polemik PPKS (Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual) mengerucut. Ke Pasal 5 Ayat 2. Soal kata: "Tanpa persetujuan korban". Yang ditafsirkan banyak pihak sebagai: Melegalkan zina.

Permendikbud No 30 Tahun 2021 tentang PPKS, diteken Mendikbudristek, Nadiem Anwar Makarim, 31 Agustus 2021. Lantas disosialisasikan.

Saat sosialisasi itulah heboh. Viral. Dikritik pihak ormas agama, sampai politisi PKS. Banyak ormas jadi ikutan menumpangi protes.


Sebaliknya, pihak kampus, dari Universitas Airlangga, Aliansi Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) se-Universitas Indonesia, sampai menteri agama, mendukung.

Terjadi-lah silang pendapat. Terus menerus. Mengerucut pada pasal tersebut di atas. Dengan tafsir zina.

Supaya jelas, sumber masalah diurai. Pasal 5 Ayat 2. Terdiri dari 15 item. Dari huruf "a" sampai "u". Yang memuat kata "Tanpa persetujuan korban", tidak di semua item itu. Hanya sebagian. Tepatnya di 7 item. Berikut ini:

b) Memperlihatkan alat kelaminnya dengan sengaja tanpa persetujuan Korban.

f) Mengambil, merekam, dan/atau mengedarkan foto dan/atau rekaman audio dan/atau visual Korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan Korban.

g) Mengunggah foto tubuh dan/atau informasi pribadi Korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan Korban.

h) Menyebarkan informasi terkait tubuh dan/atau pribadi Korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan Korban.

j) Membujuk, menjanjikan, menawarkan sesuatu, atau mengancam Korban untuk melakukan transaksi atau kegiatan seksual yang tidak disetujui oleh Korban.

m) Membuka pakaian Korban tanpa persetujuan Korban.

l) Menyentuh, mengusap, meraba, memegang, memeluk, mencium dan/atau menggosokkan bagian tubuhnya pada tubuh Korban tanpa persetujuan Korban.

Tujuh item itulah yang dihebohkan. Dalam logika bahasa, kata "tanpa persetujuan Korban", (oleh para kritikus) dibalik. Ditarsifkan jadi begini:  
"Berarti, seandainya dengan persetujuan, maka tidak ada masalah. Alias boleh."

Lantas, penafsiran tersebut, 'di-maju-kan', jadi: Konsensual (suka sama suka, dibolehkan). Lebih 'di-maju-kan' lagi, jadi begini: "Artinya, peraturan tersebut melegalkan zina."

Di-maju-kan lagi: Zina dilarang agama. Pemerintahan bobrok... dan seterusnya.

Contoh konkret: Item "m": (Dilarang) "Membuka pakaian Korban, tanpa persetujuan Korban."

Ditafsirkan: Bagaimana seumpama korban diam saja? Bagaimana seandainya korban menyetujui?

Di situ pokok kehebohan. Yang kemudian ditumpangi banyak pihak. Pihak Kemendikbud Ristek pun bersikukuh, bahwa tidak ada yang salah di Peraturan tersebut.

Lebih heboh lagi, ada Ormas yang mengancam, bakal mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Tentu, Ormas tersebut bakal diliput pers. Juga tersebar di medsos. Viral.

Itu bisa dianggap sebagai upaya koreksi. Yang bisa pula ditafsirkan  sebagai aksi Pansos.

Sementara, pelecehan seks mahasiswi terus terjadi. Terbaru, Dekan FISIP Universitas Riau, Syafri Harto, ditetapkan tersangka oleh Polda Riau, dituduh pelecehan seksual terhadap mahasiswi.

Ketua Panitia Kerja RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), Willy Aditya, kepada pers, Kamis (18/11/21) mengatakan:  

"Itu bukti pentingnya RUU TPKS. Langsung, lho... Itu dampaknya. Ini (RUU TPKS) mengatur yang lebih luas, bukan kemudian melakukan legalisasi free sex, bukan."

Korban berjatuhan. Para pihak berdebat, berpolemik. Demi Pansos.

Tak kurang, Menteri Koordinator Pemberdayaan Manusia dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy, komentar ke pers, Kamis (18/11/21), demikian:

"Secara subtansif harus kita dukung karena itu upaya untuk mencegah dan melindungi dan memberikan pembelaan kepada mereka yang menjadi korban dari kekerasan seksual."

Dilanjut: "Memang, sekarang masih dalam keadaan ada perbedaan di masyarakat. Karena, di situ ada frasa yang ambiguitas masih mengganda arti dan saya yakin dalam waktu yang tidak lama nanti akan segera dikoreksi. Diadakan pembenahan."

Tekanan kata: "ambiguitas". Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, berarti mendua. Atau punya dua pengertian. Juga, kata "segera dikoreksi".

Artinya, Menko PMK mengakui, ada kesalahan di peraturan itu. Maka, segera dikoreksi.

Tujuh item di Pasal yang dimasalahkan itu, mungkin, pleonasme. Atau penggunaan kata berlebihan, yang sebenarnya tidak perlu. Contoh, kata: "Api yang menyala". Kalau sudah "api' pastilah "menyala".

Hendra Kasmi, dalam bukunya "Kajian Majas pada Artikel Jurnalisme Warga Serambi Indonesia", menyebutkan: Pleonasme, bagian dari Majas (gaya bahasa).
"Pleonasme digunakan untuk menegaskan suatu kalimat. Padahal, tanpa ditegaskan, kalimat itu sudah tegas."

Mengapa pleonasme digunakan dalam suatu kalimat? "Karena, penulisnya merasa kurang yakin dengan kalimat tersebut. Sehingga diberi kata penegasan. Agar lebih tegas." (Kajian Majas pada Artikel Jurnalisme Warga Serambi Indonesia, 2020).

Contoh di kalimat panjang: "Barisan tentara musuh mundur ke belakang, mengaku kalah dalam peperangan."

Pembahasan: Kata ‘ke belakang’ tidak diperlukan lagi. Karena ‘mundur’ sudah berarti ke belakang.

Tapi, ada contoh lain: "Adi menengok ke belakang, mencari asal suara itu."
Pembahasan: Memang, kata ‘ke belakang’ tidak terlalu perlu. Walau, ada sedikit perlu: Merujuk arah. Karena, mungkin, bisa ke kiri atau kanan.

Terus... bagaimana dengan kalimat ini: "Dilarang menelanjangi, memperkosa, tanpa persetujuan korban."

Dimajukan lagi: "Aparat hukum akan memberikan sanksi kepada pemerkosa, kalau aparatnya tidak malas."

Tapi, mohon abaikan kalimat terakhir itu. Karena kelewat maju.

Populer

Mantan Jubir KPK Tessa Mahardhika Lolos Tiga Besar Calon Direktur Penyelidikan KPK

Rabu, 24 Desember 2025 | 07:26

Mantan Wamenaker Noel Ebenezer Rayakan Natal Bersama Istri di Rutan KPK

Kamis, 25 Desember 2025 | 15:01

Sarjan Diduga Terima Proyek Ratusan Miliar dari Bupati Bekasi Sebelum Ade Kuswara

Jumat, 26 Desember 2025 | 14:06

Kejagung Copot Kajari Kabupaten Tangerang Afrillyanna Purba, Diganti Fajar Gurindro

Kamis, 25 Desember 2025 | 21:48

Camat Madiun Minta Maaf Usai Bubarkan Bedah Buku ‘Reset Indonesia’

Selasa, 23 Desember 2025 | 04:16

8 Jenderal TNI AD Pensiun Jelang Pergantian Tahun 2026, Ini Daftarnya

Rabu, 24 Desember 2025 | 21:17

Adik Kakak di Bekasi Ketiban Rezeki OTT KPK

Senin, 22 Desember 2025 | 17:57

UPDATE

Investigasi Kecelakaan Jeju Air Mandek, Keluarga Korban Geram ? ?

Sabtu, 27 Desember 2025 | 17:52

Legislator Nasdem Dukung Pengembalian Dana Korupsi untuk Kesejahteraan Rakyat

Sabtu, 27 Desember 2025 | 17:43

Ledakan Masjid di Suriah Tuai Kecaman PBB

Sabtu, 27 Desember 2025 | 16:32

Presiden Partai Buruh: Tidak Mungkin Biaya Hidup Jakarta Lebih Rendah dari Karawang

Sabtu, 27 Desember 2025 | 16:13

Dunia Usaha Diharapkan Terapkan Upah Sesuai Produktivitas

Sabtu, 27 Desember 2025 | 15:26

Rehabilitasi Hutan: Strategi Mitigasi Bencana di Sumatera dan Wilayah Lain

Sabtu, 27 Desember 2025 | 15:07

Pergub dan Perda APBD DKI 2026 Disahkan, Ini Alokasinya

Sabtu, 27 Desember 2025 | 14:52

Gebrakan Sony-Honda: Ciptakan Mobil untuk Main PlayStation

Sabtu, 27 Desember 2025 | 14:24

Kebijakan Purbaya Tak Jauh Beda dengan Sri Mulyani, Reshuffle Menkeu Hanya Ganti Figur

Sabtu, 27 Desember 2025 | 14:07

PAN Dorong Perlindungan dan Kesejahteraan Tenaga Administratif Sekolah

Sabtu, 27 Desember 2025 | 13:41

Selengkapnya