Berita

Anggota Komisi VI DPR RI fraksi PDI Perjuangan, Deddy Yevri Hanteru Sitorus/Net

Politik

Dana Proyek Kereta Cepat Bengkak, Deddy Sitorus Minta Pemerintah Urung Gunakan APBN dan Lakukan Audit

SENIN, 11 OKTOBER 2021 | 16:16 WIB | LAPORAN: RAIZA ANDINI

Sumber pembiayaan proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung dianulir Presiden Joko Widodo, yakni diambil dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Beberapa pihak menganggap Kepala Negara inkonsisten karena kebijakan ini.

Kebijakan ini dituangkan Jokowi ke dalam Peraturan Presiden (Perpres) 93/2021, Perubahan atas Perpres 107/2015 tentang Percepatan Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana Kereta Cepat Antara Jakarta dan Bandung.

Pada 2015 silam, Jokowi menyatakan bahwa proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung tidak akan membebani APBN, tapi menggunakan skema business to business (B to B).

Tertuang juga dalam aturan lamanya, yaitu Pasal 4 Perpres 107/2015 bahwa pendanaan proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung dilakukan dengan skema obligasi oleh konsorsium BUMN atau patungan.

Bertepatan dengan perubahan beleid tersebut, biaya proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung membengkak. Yaitu, dari semula 6,07 miliar dolar Amerika Serikat atau sekitar Rp 86,67 triliun menjadi 8 miliar dolar Amerika Serikat atau setara Rp 114,24 triliun.

Artinya, ditemukan pembengkakan anggaran sekitar Rp 27,57 triliun.

Menanggapi kebijakan baru Jokowi, Anggota Komisi VI DPR RI, Deddy Yevri Hanteru Sitorus meminta pemerintah konsisten dengan skema awal pendanaan proyek strategis nasional ini. bukan justru menyentuh duit negara.

"Kita berharap agar pemerintah konsisten dengan tidak menggunakan APBN untuk proyek ini," ucap Deddy kepada Kantor Berita Politik RMOL, Senin (11/10).

Legislator dari Fraksi PDI Perjuangan ini memandang seharusnya pemerintah melakukan  investigasi terlebih dahulu sebelum menetapkan kebijakan baru.

"Harus ada audit menyeluruh terhadap proyek ini sebelum mengambil keputusan bahwa negara harus intervensi pembiayaan," katanya.

Menurut Deddy, berdasarkan logika bussines planning yang dipakai ketika proyek ini dibuat, sudah sepatutnya ada evaluasi secara menyeluruh, agar tidak terjadi moral hazard.

"Apakah ada penyimpangan dari perencanaan semula? Ataukah memang sejak awal tidak feasible tetapi dipaksakan secara tidak bertanggung jawab?," tandasnya.

Populer

Pendapatan Telkom Rp9 T dari "Telepon Tidur" Patut Dicurigai

Rabu, 24 April 2024 | 02:12

Polemik Jam Buka Toko Kelontong Madura di Bali

Sabtu, 27 April 2024 | 17:17

Pj Gubernur Ingin Sumedang Kembali jadi Paradijs van Java

Selasa, 23 April 2024 | 12:42

Jurus Anies dan Prabowo Mengunci Kelicikan Jokowi

Rabu, 24 April 2024 | 19:46

Tim Hukum PDIP Minta Penetapan Prabowo-Gibran Ditunda

Selasa, 23 April 2024 | 19:52

Pj Gubernur Jabar Minta Pemkab Garut Perbaiki Rumah Rusak Terdampak Gempa

Senin, 29 April 2024 | 01:56

Bocah Open BO Jadi Eksperimen

Sabtu, 27 April 2024 | 14:54

UPDATE

Pendapatan Garuda Indonesia Melonjak 18 Persen di Kuartal I 2024

Kamis, 02 Mei 2024 | 11:41

Sidang Pendahuluan di PTUN, Tim Hukum PDIP: Pelantikan Prabowo-Gibran Bisa Ditunda

Kamis, 02 Mei 2024 | 11:35

Tak Tahan Melihat Penderitaan Gaza, Kolombia Putus Hubungan Diplomatik dengan Israel

Kamis, 02 Mei 2024 | 11:34

Pakar Indonesia dan Australia Bahas Dekarbonisasi

Kamis, 02 Mei 2024 | 11:29

Soal Usulan Kewarganegaraan Ganda, DPR Dorong Revisi UU 12 Tahun 2006

Kamis, 02 Mei 2024 | 11:25

Momen Hardiknas, Pertamina Siap Hadir di 15 Kampus untuk Hadapi Trilemma Energy

Kamis, 02 Mei 2024 | 11:24

Prabowo-Gibran Diminta Lanjutkan Merdeka Belajar Gagasan Nadiem

Kamis, 02 Mei 2024 | 11:16

Kebijakan Merdeka Belajar Harus Diterapkan dengan Baik di Jakarta

Kamis, 02 Mei 2024 | 11:06

Redmi 13 Disertifikasi SDPPI, Spesifikasi Mirip Poco M6 4G

Kamis, 02 Mei 2024 | 10:59

Prajurit TNI dan Polisi Diserukan Taat Hukum

Kamis, 02 Mei 2024 | 10:58

Selengkapnya