Berita

Para pendukung mantan presiden Georgia, Mikhail Saakashvili berunjuk rasa di luar penjara Rustavi pada Senin 4 Oktober 2021/Net

Dunia

Tentang Kepulangan Saakashvili ke Tanah Air dari Pengasingan, Pengamat: Alih-alih Menyelamatkan Negara, Malah Masuk Penjara

RABU, 06 OKTOBER 2021 | 08:44 WIB | LAPORAN: RENI ERINA

Popularitas mantan presiden Georgia, Mikheil Saakashvili, nampaknya telah pudar. Itu terlihat dari kerumuman kecil para pendukungnya di depan penjara Rustavi yang menuntut pembebasannya dalam beberapa hari terakhir.

Kerumuman itu hanya sekitar ratusan, bukan ribuan seperti yang diharapkan Saakashvili saat ia menyatakan akan melakukan aksi protes bersama para pendukungnya untuk 'menyelamatkan Georgia'.

Selama delapan tahun, pria yang berkuasa di Georgia sepanjang 2004 hingga 2013 ini, berada di pengasingan di Ukraina setelah ia terlibat kasus pelanggaran kewenangan.

Saakashivili memutuskan pulang ke tanah airnya untuk bisa berpartisipasi dalam pemilihan Georgia, dan mendukung kemenangan Partai Gerakan Nasional Bersatu (ENM) yang didirikannya. Sebuah langkah yang dipandang para politikus sebagai 'keputusan yang salah'.   

Begitu menjejakkan kaki di Georgia, Saakashvili memposting video yang mengatakan ia telah kembali ke tanah airnya dari Ukraina, berharap bisa membuat kebangkitan politik dengan memimpin gerakan oposisi menuju kemenangan dalam pemilihan lokal. Namun, beberapa jam setelah video itu beredar, petugas kepolisian menangkap dan menahannya.

Kekecewaan Saakashvili mungkin bertambah, karena selain ia ditahan, partainya pun kalah dalam pemilihan yang berlangsung pada Sabtu (2/10).

Thomas de Waal, pengamat dari di Carnegie Europe, mengatakan dalam sebuah wawancara dengan Radio Liberty bahwa Saakashvili tidak pernah berpikir bahwa waktu telah bergerak dan banyak yang berubah di Georgia semenjak kepergiannya.

"Dia meremehkan bahwa Georgia telah bergerak sejak dia pergi. Dia memiliki 20 atau 30 persen dukungan, tetapi persentase justru adalah mereka yang menentangnya atau acuh tak acuh," kata Waal.  

"Dia menganggap dirinya sebagai penyelamat yang dapat memicu Revolusi Mawar lagi. Jujur saja, saya rasa publik Georgia tidak tertarik dengan hal itu," Waal, merujuk pada gerakan protes tahun 2003 yang menyingkirkan pemerintah Soviet yang korup.

Di awal kemunculannya sebagai presiden, Saakashvili pertama kali dipuji karena mendorong reformasi yang sangat dibutuhkan, memicu pujian di Barat, tetapi gemuruh ketidakpuasan tumbuh di antara orang-orang Georgia yang terkena dampak perubahannya. Seiring waktu, Saakashvili yang karismatik dan terpolarisasi mengumpulkan banyak kritik, yang menyalahkannya karena gaya pemerintahannya yang semakin otokratis.

Saakashvili meninggalkan Georgia pada tahun 2014 dan menjadi warga negara Ukraina, di mana ia menjabat sebagai gubernur wilayah Odesa sebelum berselisih dengan Presiden Ukraina saat itu Petro Poroshenko.

Ia kemudian terlibat perselisihan dengan aparat Ukraina yang menyebabkannya harus didepak keluar dari negara itu dan disebut-sebut dideportasi ke Polandia pada 2018.

Namun, tidak jelas apakah benar Saakashvili berada di Polandia. Ketika ia kembali ke tanah air, banyak media asing yang melaporkan ia terbang dari Ukraina.

Terlebih ketika banyak laporan yang menyatakan bahwa Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky akan mendesak pembebasan Saakashvili.

Pengadilan Georgia menghukum Saakashvili pada tahun 2018 secara in absentia dengan hukuman enam tahun penjara atas dugaan penyalahgunaan kekuasaan. Saakashvili juga menghadapi beberapa tuduhan lain yang berasal dari masa kepresidenannya 2004-13, termasuk pembubaran protes dengan kekerasan dan serangan di stasiun televisi yang dimulai oleh saingan politiknya.

Beberapa pengamat berspekulasi kepulangan Saakashvili ke tanah airnya, yang berarti menantang aparat untuk menerapkan hukuman penjara kepadanya, karena ia mengira peluang politiknya masih terbuka lebar. Dugaan yang keliru. Alih-alih membela Georgia seperti yang dikoarkannya, ia malah masuk jeruji.

Populer

KPK Ancam Pidana Dokter RSUD Sidoarjo Barat kalau Halangi Penyidikan Gus Muhdlor

Jumat, 19 April 2024 | 19:58

Pendapatan Telkom Rp9 T dari "Telepon Tidur" Patut Dicurigai

Rabu, 24 April 2024 | 02:12

Megawati Bermanuver Menipu Rakyat soal Amicus Curiae

Kamis, 18 April 2024 | 05:35

Sekda Jabar akan Tindak Pelaku Pungli di Masjid Raya Al Jabbar

Rabu, 17 April 2024 | 03:41

Diungkap Pj Gubernur, Persoalan di Masjid Al Jabbar Bukan cuma Pungli

Jumat, 19 April 2024 | 05:01

Bey Machmudin: Prioritas Penjabat Adalah Kepentingan Rakyat

Sabtu, 20 April 2024 | 19:53

Pj Gubernur Ingin Sumedang Kembali jadi Paradijs van Java

Selasa, 23 April 2024 | 12:42

UPDATE

Samsung Solve for Tomorrow 2024, Momentum untuk Dorong Peningkatan Literasi Digital

Sabtu, 27 April 2024 | 11:48

Paguyuban Warung Madura: Harusnya Kami Dilindungi Bukan Diberangus!

Sabtu, 27 April 2024 | 11:36

PIS Sukses Tekan Emisi 25,4 Ribu Ton Setara CO2

Sabtu, 27 April 2024 | 11:18

Sam Altman hingga Sundar Pichai Gabung Dewan Keamanan AI Amerika Serikat

Sabtu, 27 April 2024 | 10:59

OASA Perkuat Modal di Anak Usaha Rp69 Miliar

Sabtu, 27 April 2024 | 10:41

Ilham Bintang: Prabowo Siap-Siap Beli Obat Anti Resah

Sabtu, 27 April 2024 | 10:37

Induk Perusahaan Google Bagi-bagi Dividen untuk Pertama Kali

Sabtu, 27 April 2024 | 10:29

KPU Sewa 8 Kantor Hukum Hadapi Perselisihan Pileg 2024

Sabtu, 27 April 2024 | 10:20

Blinken: Amerika Tidak Bermaksud Menghambat Tiongkok Lewat Pembatasan Ekspor Chip

Sabtu, 27 April 2024 | 10:18

Realisasi Anggaran untuk IKN Capai Rp4,3 Triliun per April 2024

Sabtu, 27 April 2024 | 10:02

Selengkapnya