Berita

Ilustrasi nelayan/Net

Nusantara

Selama Pandemi, Hak Masyarakat Pesisir Atas Kesehatan Kerap Diabaikan Pemerintah

RABU, 29 SEPTEMBER 2021 | 14:07 WIB | LAPORAN: AGUS DWI

Masyarakat pesisir yang terdiri dari nelayan tradisional, perempuan nelayan, pembudidaya ikan, petambak garam, pelestari ekosistem pesisir, serta masyarakat adat pesisir, merupakan kelompok yang sangat rentan saat gelombang pandemi menghantam Indonesia sejak awal 2020 lalu.

Pusat Data dan Informasi KIARA (2021) mencatat sejumlah dampak pandemi bagi kehidupan masyarakat pesisir. Seperti terputusnya rantai dagang nelayan dengan pasar, terutama di kawasan-kawasan pulau kecil Indonesia yang ekonominya sangat tergantung pada kawasan pulau besar.

Selain itu, jatuhnya harga ikan karena nelayan hanya menjual ikan tangkapannya di kawasan terbatas, yaitu hanya di perkampungan yang merupakan kawasan tinggal nelayan atau perkampungan tetangga yang merupakan kawasan agraris.

Selanjutnya, nelayan mengalami kerugian secara ekonomi karena tidak mendapatkan pemasukan yang memadai karena  hasil tangkapan mereka menurun drastis akibat krisis iklim yang terus memburuk.

Selain itu, di sejumlah wilayah di Indonesia, masyarakat pesisir harus menghadapi ancaman perampasan ruang berupa ekspansi proyek skala besar. Seperti pertambangan pasir dan reklamasi yang menghancurkan kawasan tangkap mereka.

Atas kejadian itu, perempuan nelayan adalah kelompok yang paling menderita karena beban kehidupan mereka semakin berlipat dalam rangka memenuhi ekonomi keluarga.

Sekretaris Jenderal KIARA, Susan Herawati mengatakan, beberapa bulan setelah pandemi menghantam tanah air, pemerintah Indonesia menggencarkan program vaksinasi, termasuk di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil, yang menjadi tempat tinggal masyarakat pesisir.

“Berbagai temuan di lapangan menunjukkan bahwa pendekatan represif dengan cara memaksa dan tanpa memberikan pilihan adalah cara kerja dari program vaksinasi ini. Akhirnya, secara psikologis masyarakat pesisir berada dalam ketakutan,” kata Susan, dalam keterangannya, Rabu (29/9).

Contoh pendekatan represif ini, lanjut Susan Herawati, dapat ditemui di Pulau Pari, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta, dan daerah lainnya di pesisir Indonesia, di mana nelayan dan perempuan nelayan dipaksa ikut program vaksinasi. Jika tidak ikut, mereka diancam tidak akan diberikan bantuan sosial dari Pemerintah.

Ironisnya, cara-cara semacam itu mendapatkan legitimasi melalui Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Perpres Nomor 99 Tahun 2020 tentang Pengadaan Vaksin dan Pelaksanaan Vaksinasi dalam Rangka Penanggulangan Pandemi Covid-19.

“Isi perpres tentang vaksinasi corona ini menetapkan sanksi bagi mereka yang menolak vaksinasi corona, sebagaimana diatur dalam Pasal 13A Ayat 4. Terdapat tiga jenis sanksi administratif yang bisa dijatuhkan kepada penolak vaksinasi corona. Yakni, penundaan atau penghentian pemberian jaminan sosial atau bantuan sosial; Penundaan atau penghentian layanan administrasi pemerintahan, atau denda,” jelas Susan, dikutip Kantor Berita RMOLAceh.

Susan menilai Perpres Nomor 14 tahun 2021 itu bertentangan dengan sejumlah aturan lebih tinggi. Di antaranya Undang-Undang (UU) No. 36 tahun 2009 Tentang Kesehatan (Pasal 4 & 5) yang menyatakan bahwa “setiap orang berhak atas kesehatan” & “Setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh akses atas sumber daya di bidang kesehatan, serta memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, terjangkau dan juga setiap orang berhak secara mandiri dan bertanggung jawab menentukan sendiri pelayanan kesehatan yang diperlukan bagi dirinya”.

“Dengan demikian, hak atas kesehatan masyarakat pesisir selama pandemi ini diabaikan oleh negara,” tegas Susan.

Populer

Pendapatan Telkom Rp9 T dari "Telepon Tidur" Patut Dicurigai

Rabu, 24 April 2024 | 02:12

Polemik Jam Buka Toko Kelontong Madura di Bali

Sabtu, 27 April 2024 | 17:17

Pj Gubernur Ingin Sumedang Kembali jadi Paradijs van Java

Selasa, 23 April 2024 | 12:42

Jurus Anies dan Prabowo Mengunci Kelicikan Jokowi

Rabu, 24 April 2024 | 19:46

Tim Hukum PDIP Minta Penetapan Prabowo-Gibran Ditunda

Selasa, 23 April 2024 | 19:52

Pj Gubernur Jabar Minta Pemkab Garut Perbaiki Rumah Rusak Terdampak Gempa

Senin, 29 April 2024 | 01:56

Bey Pastikan Kesiapan Pelaksanaan Haji Jawa Barat

Rabu, 01 Mei 2024 | 08:43

UPDATE

Hadiri Halal Bihalal Ansor, Kapolda Jateng Tegaskan Punya Darah NU

Jumat, 03 Mei 2024 | 06:19

Bursa Bacalon Wali Kota Palembang Diramaikan Pengusaha Cantik

Jumat, 03 Mei 2024 | 06:04

KPU Medan Tunda Penetapan Calon Terpilih Pileg 2024

Jumat, 03 Mei 2024 | 05:50

Pensiunan PNS di Lubuklinggau Bingung Statusnya Berubah jadi Warga Negara Malaysia

Jumat, 03 Mei 2024 | 05:35

Partai KIM di Kota Bogor Kembali Rapatkan Barisan Jelang Pilkada

Jumat, 03 Mei 2024 | 05:17

PAN Jaring 17 Kandidat Bakal Calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota Bengkulu

Jumat, 03 Mei 2024 | 04:58

Benny Raharjo Tegaskan Golkar Utamakan Kader untuk Pilkada Lamsel

Jumat, 03 Mei 2024 | 04:41

Pria di Aceh Nekat Langsir 300 Kg Ganja Demi Upah Rp50 Ribu

Jumat, 03 Mei 2024 | 04:21

Alasan Gerindra Pagar Alam Tak Buka Pendaftaran Bacawako

Jumat, 03 Mei 2024 | 03:57

KPU Tubaba Tegaskan Caleg Terpilih Tidak Dilantik Tanpa Serahkan LHKPN

Jumat, 03 Mei 2024 | 03:26

Selengkapnya