Berita

Begawan Ekonom Indonesia yang pernah menjabat Menko Ekuin era Presiden Abdurrachman Wahid, Rizal Ramli/Net

Politik

Cerita Presidential Threshold "Didongkrak" Tinggi, Rizal Ramli: Itu Ada Karena Hasrat PDIP Hadang Laju SBY

KAMIS, 19 AGUSTUS 2021 | 22:58 WIB | LAPORAN: AHMAD KIFLAN WAKIK

Berlakunya ambang batas pencalonan atau presidential threshold merupakan perbuatan kriminal dalam politik yang menjadi legal dalam sistem hukum Indonesia hari ini.

Begitu dikatakan Mantan Menko Ekuin era Presiden Abdurrachman Wahid, Rizal Ramli, dalam peluncuran buku karya pemerhati politik M. Rizal Fadillah berjudul "Rakyat Menampar Muka", Kamis (19/8).

"Di UUD tidak ada kewajiban threshold, siapapun boleh maju asal didukung oleh partai yang lolos verifikasi," ujar Rizal.

Dijelaskan Rizal, angka threshold yang tinggi sejarahnya dimulai dari hasrat PDI Perjuangan pada tahun 2009 yang tidak menginginkan Presiden keenam RI, Susilo Bambang Yudhoyono, menjabat untuk periode kedua.

"Saya ingat sejarahnya kok, waktu itu batasannya hanya 5 persen, kemudian PDIP pada waktu itu memblok agar SBY tidak maju, nah diubah ke 20 persen, ternyata PDIP sendiri dapatnya hanya 17 persen, akhirnya tidak bisa juga maju sendiri, harus ngajak partainya Prabowo," terangnya.

"Jadi sebetulnya ide memperbesar threshold bukan untuk menyederhanakan partai-partai, enggak ada itu. Idenya hanya ngeblok saja, supaya orang nggak bisa maju," imbuhnya.

Begawan ekonom Indonesia ini menambahkan, sejak saat itu kemudian ambang batas di dorong untuk naik dengan dalih memperkecil jumlah partai politik di sistem demokrasi Indonesia.

"Alasan historisnya yang seolah-olah dikasih argumen bahwa threshold harus terus dinaikkan agar partai di Indonesia jumlahnya kecil, kan nggak ada gunanya walau kecil kalau tidak berpihak kepada rakyat," pungkasnya.

Hadir pembicara lainnya ekonom Anthony Budiawan, Koordinator Gerakan Indonesia Bersih Adhie Massardi, akademisi Ubedilah Badrun.

Populer

KPK Ancam Pidana Dokter RSUD Sidoarjo Barat kalau Halangi Penyidikan Gus Muhdlor

Jumat, 19 April 2024 | 19:58

Pendapatan Telkom Rp9 T dari "Telepon Tidur" Patut Dicurigai

Rabu, 24 April 2024 | 02:12

Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor Resmi Tersangka KPK

Selasa, 16 April 2024 | 07:08

Megawati Bermanuver Menipu Rakyat soal Amicus Curiae

Kamis, 18 April 2024 | 05:35

Sekda Jabar akan Tindak Pelaku Pungli di Masjid Raya Al Jabbar

Rabu, 17 April 2024 | 03:41

Diungkap Pj Gubernur, Persoalan di Masjid Al Jabbar Bukan cuma Pungli

Jumat, 19 April 2024 | 05:01

Halal Bihalal Partai Golkar

Selasa, 16 April 2024 | 01:21

UPDATE

Mudahkan Milenial dan Gen Z Miliki Hunian di Bali, BTN Tawarkan Skema Khusus

Sabtu, 27 April 2024 | 01:36

Sikap Ksatria Prabowo Perlu Ditiru Para Elite Politik

Sabtu, 27 April 2024 | 01:11

Gus Fawait Resmi Didukung Gerindra Maju Bacabup Jember

Sabtu, 27 April 2024 | 00:59

Rekonsiliasi Prabowo-Megawati Bisa Dinginkan Suhu Politik

Sabtu, 27 April 2024 | 00:31

Kejagung Tetapkan 5 Tersangka Baru Korupsi PT Timah, 3 Orang Langsung Ditahan

Jumat, 26 April 2024 | 23:55

Menlu RI Luncurkan Buku "Menghadirkan Negara Hingga Ujung Dunia" di HWPA Award 2023

Jumat, 26 April 2024 | 23:37

Indonesia Tim Pertama yang Jebol Gawang Korsel, Pimpinan Komisi X: Prestasi yang Patut Diapresiasi

Jumat, 26 April 2024 | 23:33

Konfrontasi Barat Semakin Masif, Rusia Ajak Sekutu Asia Sering-sering Latihan Militer

Jumat, 26 April 2024 | 23:21

Menlu RI: Jumlah Kasus WNI di Luar Negeri Melonjak 50 Persen Jadi 53.598

Jumat, 26 April 2024 | 23:06

Ubedilah: 26 Tahun Reformasi, Demokrasi Memburuk

Jumat, 26 April 2024 | 23:01

Selengkapnya