Pemerintahan Afghanistan telah jatuh ke tangan Taliban, terjadi tak lama setelah Amerika Serikat memutuskan untuk menarik diri dari negara itu setelah dua dekade lamanya.
Situasi kacau pada Minggu (15/8) di bandara Kabul menandai kemenangan Taliban atas pendudukan Istana Kepresidenan. Berbondong-bondong orang, termasuk diplomat AS mencoba melarikan diri dari negara yang selama ini dilanda perang itu.
Ini telah menarik perhatian global, bahkan banyak yang menyebut evakuasi diplomat AS sebagai 'momen Saigon', ketika pasukan Amerika menarik diri dari perang Vietnam.
Kejadian tersebut telah melahirkan banyak diskusi yang muncul secara online mengenai siapa yang berikutnya jadi 'korban' komitmen AS yang gagal.
Selama bertahun-tahun, Washington telah mengubah kebijakan luar negerinya menjadi permainan geopolitik yang didorong oleh ideologi. Sekarang situasi yang berubah dengan cepat di Afghanistan bahkan telah mengkhawatirkan beberapa orang di Taiwan dan membunyikan bel peringatan bagi para separatis di sana.
Ini bukan pertama kalinya AS telah meninggalkan sekutunya dan apa yang disebut aliansi, yang digunakan hanya sebagai bidak catur dalam strategi global Washington.
Banyak yang terkejut dengan kecepatan yang diraih Taliban atas Afghanistan dan membandingkan adegan di Kabul (tentang diplomat AS yang dibawa ke tempat yang aman dengan helikopter) dengan penarikan AS dari Vietnam pada tahun 1975, ketika dokumen Marinir AS terbakar di atap kedutaan AS di Saigon.
Washington Post juga menunjukkan bahwa kemajuan pesat Taliban di seluruh negeri telah memicu alarm global, menghidupkan kembali keraguan tentang kredibilitas janji-janji kebijakan luar negeri AS dan menarik kritik keras, bahkan dari beberapa sekutu terdekatnya.
Dalam artikelnya, media China menyoroti postingan pengguna internet di Taiwan.Di antara mereka menulis: "Saigon kemarin, hari ini Afghanistan, dan besok (apakah) Taiwan?"
Ini menyiratkan bahwa apa yang disebut aliansi yang telah ditempa Taiwan dengan AS hanyalah janji kosong yang pada akhirnya akan membuat rakyat Taiwan terluka sendirian.
Sebuah Op-Ed di situs berita lokal Taiwan udn.com mengatakan bahwa akhir yang tak terduga di Afghanistan telah "mengejutkan" sekutu dan mitra AS. Menimbulkan kewaspadaan menempatkan keselamatan Taiwan di tangan AS.
"Mereka seharusnya mengatakan 'dulu Vietnam, kemarin Taiwan dan hari ini Afghanistan'. Bukankah pulau itu ditinggalkan oleh AS pada 1979?" kata Chang Ching, seorang peneliti di Society for Strategic Studies yang berbasis di Taiwan kepada Global Times pada Senin (16/8).
Sebagai bagian dari upaya terbarunya untuk memainkan 'kartu Taiwan' dalam melawan China, pemerintahan Biden baru-baru ini mengumumkan akan mengadakan KTT virtual untuk Demokrasi, yang menggairahkan otoritas Partai Progresif Demokratik (DPP) Taiwan.
Kegagalan AS di Afghanistan harus menjadi peringatan bagi para separatis di pulau itu, yang harus memahami bahwa mereka tidak dapat mengandalkan Washington, karena Afghanistan bukanlah tempat pertama di mana AS meninggalkan sekutunya, juga tidak akan menjadi yang terakhir.
Pandemi, penarikan diri, menjadi tanda kekalahan total AS telah memberikan pukulan fatal bagi karir politik Biden dan kredibilitas Demokrat, kata Li Haidong, seorang profesor di Institut Hubungan Internasional Universitas Urusan Luar Negeri China.
"Tindakan melarikan diri AS adalah peringatan bagi separatis Taiwan, atau lebih tepatnya, perkiraan," kata Li.
Dia mencatat bahwa jika Taiwan terus di jalan yang disesatkan oleh separatis untuk langsung menghadapi daratan Cina, AS akan menyingkirkan Taiwan seperti yang telah dilakukan dengan Vietnam, dan sekarang Afghanistan.
Mundurnya AS dari Afghanistan telah memberikan pelajaran penting bagi pulau Taiwan, yaitu, hubungan lintas Selat harus diselesaikan oleh Taiwan sendiri, karena AS dapat memilih untuk meninggalkan pulau itu kapan saja sesuai dengan kepentingan intinya sendiri.
"Selain itu, AS tidak pernah berjanji untuk mengirim pasukan jika terjadi konflik militer di Selat Taiwan, dan hanya mengatakan akan menjual senjata ke Taiwan untuk meningkatkan kekuatan militernya," kata Chang.