Guru besar ilmu hukum Universitas Padjajaran Profesor Romli Atmasasmita/Net
Kesimpulan Komnas HAM soal adanya indikasi pelanggaran HAM terhadap proses Tes Wawasan Kebangsaan merupakan tuduhan serius kepada pemerintahan Joko Widodo.
Demikian antara lain ditegaskan oleh guru besar ilmu hukum Universitas Padjajaran Profesor Romli Atmasasmita kepada Kantor Berita Politik RMOL, Selasa (17/8).
"Harus dijelaskan secara rinci fakta temuan Komnas HAM. Karena merupakan tuduhan serius terhadap pemerintahan Joko Widodo," kata Prof Romli.
Terlebih, lanjutnya, Presiden Joko Widodo telah menerima hasil laporan pelaksanaan asasement TWK dari Badan Kepegawaian Negara (BKN) dan Menpan RB.
Untuk itu, penulis buku pengantar Ilmu Hukum Pidana Internasional ini menegaskan kalau tudingan Komnas HAM ini telah
merendahkan citra negara Republik Indonesia yang memegang teguh Pancasila dan UUD45 di dalam pandangan dunia.
Disamping itu, Prof Romli menekankan, kesimpulan faktual Komnas HAM bahwa, proses alih status pegawai KPK menjadi ASN merupakan bentuk "penyingkiran" terhadap pegawai KPK tertentu tanpa bukti hukum yang jelas adalah merupakan fitnah dan penyebaran informasi bohong.
Terlebih, saat tidak ditemukannya alasan Taliban dalam pemberhentian pegawai KPK yang ternyata muncul di dalam hasil temuan Komnas HAM merupakan satu kebohongan sekaligus bentuk pencemaran nama baik kepada institusi negara yang terlibat dalam proses TWK yaitu BKN, Kemenpan RB, Kemenkumham dan Dinas Psikologi TNI AD.
"Berdasarkan asas, siapa yang menuduh wajib membuktikannya di muka hukum," ujar Prof Romli mengingatkan.
Oleh sebabnya menurut Prof Romli Presiden Joko Widodo segera mengambil langkah serius menyikapi apa yang disampaikan oleh Komnas HAM tersebut soal TWK pegawai KPK, karena di dalamnya terdapat dugaan pencemaran nama baik institusi negara, kebohongan dan cenderung fitnah.
"Presiden wajib mengambil langkah yang tepat dalam menilai laporan Komnas HAM, disebabkan telah merugikan kepentingan NKRI, Pancasila dan UUD 45 baik level nasional dan internasional," pungkas Prof Romli.