Pandemi Covid-19 telah membawa malapetaka bagi hampir semua aspek kehidupan masyarakat. Tidak hanya kesehatan dan ekonomi yang dibuat porak-poranda, tatanan politik yang kuat pun bisa digoyahkan.
Bangsa Eropa mungkin bisa berbangga hati, walaupun di awal pandemi muncul mereka selalu dicibir lantaran melakukan lockdown. Lockdown, kala itu, dianggap sebagai langkah berlebihan dan bisa mematikan sektor ekonomi.
Tapi nyatanya, kebijakan
lockdown merupakan awal mula dari keseriusan suatu negara dalam menghadapi pandemi. Langkah-langkah yang diambil jadi terukur dan efektif menekan sebaran virus.
Hasilnya, warga Eropa bisa berpesta dengan menyaksikan langsung Piala Eropa 2020 langsung dari stadion. Sementara negara di belahan bumi lain hanya bisa menyaksikan lewat layar kaca sendirian, tanpa ada acara nonton bareng sebagaimana biasanya meramaikan gelaran sepakbola. Negara tersebut termasuk Indonesia.
IndiaCovid-19 memiliki dampak yang serius bagi negara-negara yang tidak siap menghadapi pandemi. Seperti di India, sebanyak 12 menteri menyatakan mundur dari pemerintahan yang dipimpin Perdana Menteri Narendra Modi.
Dimulai oleh Menteri Pendidikan Ramesh Pokhriyal Nishank dan Menteri Ketenagakerjaan Santosh Gangwar, pada Rabu (7/7), sebanyak 10 menteri lantas menyusul meninggalkan Kabinet Persatuan.
Gonjang-ganjing ini tidak lepas dari kecaman publik kepada pemerintahan Modi karena dianggap gagal menahan gelombang kedua Covid-19 pada April hingga Mei. Di mana gelombang kedua tersebut telah memicu ratusan ribu kasus dalam sehari.
Modi yang biasanya kuat di depan rakyat tampak mulai kehilangan tongkatnya saat infrastruktur kesehatan India hampir runtuh, oksigen habis di kota-kota besar, rumah sakit kewalahan dengan pasien, dan petugas pemulasaran kelimpungan menghadapi angka kematian yang melonjak.
Malaysia
Dampak Covid-19 juga terasa berat bagi politik di negeri jiran, Malaysia. Desakan agar Perdana Menteri Muhyiddin mulai didengungkan. Tidak tanggung-tanggung, desakan itu disampaikan langsung oleh Presiden UMNO Ahmad Zahid Hamidi usai pihaknya menggelar rapat dewan tertinggi.
Desakan disampaikan karena Muhyiddin dianggap gagal memenuhi dua hal. Yaitu, Muhyiddin dinilai gagal memastikan aspirasi rakyat terwujud dan gagal menangani pandemi Covid-19.
Selain meminta Muhyiddin mundur, UMNO juga tegas menarik diri dari Koalisi Perikatan Nasional, koalisi yang mengantarkan Muhyiddin mengambil tampuk pimpinan negeri dari Mahathir Mohamad.
Akibatnya, koalisi jadi goyah. Muhyiddin tidak lagi memiliki pasukan mayoritas di parlemen. Artinya, Muhyiddin hanya tinggal menunggu waktu siapa yang akan menduduki kursinya.
Brazil
Kemurkaan rakyat pada pemerintah meletup di Rio de Janeiro, Brazil. Puluhan ribu orang berkumpul di jalanan pada Sabtu (3/6) dan meneriakan “Mundur Bolsonaro!â€.
Kemurkaan itu merupakan buah dari penilaian publik yang menganggap pemerintahan Presiden Jair Bolsonaro kacau balau dalam menangani pandemi Covid-19.
Vaksinasi justru menjadi penyumbang amarah publik. Ini lantaran ada dugaan dana pembelian vaksin senilai Rp 4,6 triliun ditilep.
"Orang-orang hanya turun ke jalan di tengah pandemi ketika pemerintah lebih berbahaya daripada virus," begitu tulisan spanduk luapan kekesalan dari pendemo.
Akankah Menjalar Ke Indonesia?Efek domino kerap terjadi di saat kondisi yang terjadi hampir sama. Setidaknya fenomena Arab Spring bisa menjadi gambaran untuk melihat bagaimana sebuah efek domino terjadi.
Di Indonesia, kondisinya tidak berbeda jauh dari yang dialami India. Di mana infrastruktur kesehatan hampir runtuh, oksigen langka, rumah sakit kewalahan, dan petugas pemulasaran kelimpungan.
Wanti-wanti agar Indonesia tidak berubah menjadi negara gagal juga sudah disampaikan oleh Ketua Fraksi Partai Demokrat Edhie Baskoro Yudhoyono (Ibas).
Lewat sebuah poster dari Fraksi Demorat DPR RI, Ibas mengingatkan pemerintah soal penanganan corona. Sebab, Covid-19 telah mengganas dan menyebabkan orang-orang di lingkaran terdekat jadi korban.
“Sampai kapan bangsa kita akan terus begini? Jangan sampai negara kita disebut sebagai 'failed nation' akibat ketidakmampuan negara selamatkan rakyatnya," ujarnya.
Pernyataan tersebut tidak boleh dianggap sepele oleh pemerintah. Selain pesannya yang memang didasarkan dari apa yang diderita rakyat, sang penyampai pesan juga merupakan bagian dari penting dari partai politik yang pernah berkuasa di negeri ini.
Semakin tidak boleh dianggap enteng lantaran sinyalemen bahwa partai-partai pendukung pemerintah akan berkhianat seperti yang terjadi di India dan Malaysia juga muncul.
Adalah mantan Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Arief Poyuono yang telah mencium benih-benih ketidakpuasan dan tanda-tanda ke arah pengkhianatan di kalangan menteri Kabinet Joko Widodo.
“Ada indikasi mulai adanya dugaan benih-benih pengkhianatan terhadap Jokowi di kabinet Jokowi dan lingkaran Jokowi,†kata sahabat Jokowi itu.
Pengkhianatan yang dimaksud adalah para menteri merencanakan untuk mundur lantaran pemerintah mulai mengalami krisis kepercayaan dari masyarakat. Arief Poyuono juga memastikan Presiden Joko Widodo telah mencium tanda-tanda ke arah pengkhianatan di kalangan menteri.
Atas alasan itu, dia meminta semua menteri untuk terus kompak dan bersama-sama menghadapi pandemi Covid-19.
Ya, fenomena dampak Covid-19 di luar negeri harus membuat pemerintah sadar bahwa penanganan yang amburadul akan membuat gejolak politik. Tidak sekadar teriakan “Presiden mundur!†dari masyarakat yang biasa dianggap angin lalu, tapi juga berpotensi ada gerakan politik yang suatu saat menggerogoti pemerintahan dari dalam.
Mereka yang tadinya menjadi lingkaran utama, bisa jadi melakukan pengkhianatan karena simpati publik yang sudah tidak lagi melekat pada pemerintah. Apalagi jelang Pemilu Serentak 2024, partai-partai yang kini berkoalisi tentu mulai berpikir untuk menang, sekalipun harus putar arah menjadi lawan pemerintah.