Berita

Ilustrasi/Net

Muhammad Najib

Penyelesaian Konflik Palestina-Israel Tanggung Jawab Semua Bangsa

MINGGU, 30 MEI 2021 | 17:15 WIB | OLEH: DR. MUHAMMAD NAJIB

JANGAN meratapi kejadian di masa lalu. Menyalahkan, apalagi mencari kambing hitam, hanya akan membuang-buang energi. Marilah menatap masa depan, sembari mencari jalan terbaik untuk semua pihak.

Barangkali inilah nasihat sekaligus kerangka berpikir yang harus dibangun untuk dijadikan landasan dan pegangan kokoh untuk menyelesaikan persoalan Palestina-Israel yang sangat rumit.

Paling tidak ada tiga persoalan yang tidak mudah, akan tetapi bukan berarti tidak bisa diselesaikan.


Pertama, masalah batas wilayah. Paling tidak, tiga kali perang besar Arab-Israel (1948, 1967, dan 1973), telah mengubah peta batas wilayah Palestina-Israel.

Dalam kondisi status quo sejak dideklarasikannya negara Israel, penguasa negara Zionis ini secara sistematis terus-menerus menggerus wilayah Palestina, baik secara halus maupun kasar, dengan modus ekonomi, politik, hukum, dan militer.

Kelompok-kelompok Yahudi fundamentalis, bahkan mengklaim seluruh wilayah Palestina merupakan wilayah Israel di masa depan. Dengan kata lain, orang-orang Palestina yang kini bermukim di Tepi Barat dan Gaza harus meninggalkan tanah kelahirannya secara sukarela atau terpaksa.

Kedua, masalah keamanan. Israel sebagai sebuah negara kecil yang dikelilingi oleh negara Arab, yang proses kehadirannya tidak dikehendaki oleh tetangga-tetangganya tentu merasa tidak aman, bahkan merasa selalu terancam.

Persoalannya menjadi lebih parah, karena penguasa di Tel Aviv tidak segan-segan menggunakan kekerasan baik terhadap warga dan keturunan Palestina, serta tetangga-tetangga Arabnya yang dianggap mengancam eksistensinya.

Ketiga, hak kembali rakyat Palestina. Tiga perang besar Arab-Israel telah menyebabkan rakyat Palestina terusir dari tempat tinggalnya, kemudian mengungsi baik di wilayah Palestina sendiri, atau ke negara tetangganya seperti Yordania, Lebanon, Suriah, dan Mesir.

Seiring dengan perjalanan waktu, para pengungsi ini kemudian menyebar ke banyak negara Arab lain, serta negara-negara Barat di kawasan Eropa, Amerika, dan banyak lagi yang tidak mungkin disebut semuanya.

Jika Palestina memperoleh kemerdekaannya, tentu mereka memiliki hak untuk kembali. Mereka yang hidup mapan di tempat tinggalnya yang baru, memiliki keinginan untuk kembali ke tanah leluhurnya jauh lebih kecil dibanding mereka yang hidup sengsara dengan status pengungsi.

Hak kembali ini akan berimplikasi terhadap komposisi demografi yang ada. Menurut Arabian Business dan Aljazeera, jumlah penduduk Israel dan keturunan Palestina tahun 2020, memiliki komposisi yang seimbang, yakni masing-masing berjumlah sekitar 7 juta.

Dengan tingkat kelahiran yang lebih tinggi, dan keinginan pulang diaspora Palestina yang kini hidup di pengasingan, sangat menakutkan Israel. Apalagi ditambah kenyataan, jumlah penduduk Israel saat ini dicapai melalui perjuangan berat, baik dengan pendekatan ideologis, insentif ekonomis, dan kampanye besar-besaran dengan menawarkan berbagai bentuk kemudahan lainnya bagi mereka yang bersedia hijrah ke Israel.

Kini peluang untuk mencapai solusi jangka panjang konflik antara Palestina vs Israel jauh lebih kondusif dibanding sebelumnya. Ada sejumlah faktor pendukung yang harus dimanfaatkan.

Pertama, penguasa di Gedung Putih saat ini walau tetap mendukung Israel, akan tetapi mampu bersikap rasional dan proporsional, serta tidak mengabaikan hak-hak bangsa Palestina untuk memiliki negara.

Kedua, sikap masyarakat global lebih berpihak pada Palestina dibanding Israel, termasuk mereka yang berada di Eropa dan Amerika Serikat yang sebelumnya lebih condong pada Israel.

Ketiga, lembaga-lembaga internasional termasuk Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), secara terbuka telah memberikan dukungan penyelesaian konflik Palestina-Israel yang kini sudah berusia lebih dari seratus tahun, dihitung sejak Inggris memegang mandat atas wilayah Palestina.

Jika Indonesia ingin mengoptimalkan perannya, maka harus bergerak dengan kerangka ini, yang diharapkan akan bermuara sesuai formula Two States Solutions, yang telah disepakati kedua belah pihak sesuai perjanjian Oslo tahun 1993.

Penulis adalah Pengamat Politik Islam dan Demokrasi

Populer

Mantan Jubir KPK Tessa Mahardhika Lolos Tiga Besar Calon Direktur Penyelidikan KPK

Rabu, 24 Desember 2025 | 07:26

Mantan Wamenaker Noel Ebenezer Rayakan Natal Bersama Istri di Rutan KPK

Kamis, 25 Desember 2025 | 15:01

Camat Madiun Minta Maaf Usai Bubarkan Bedah Buku ‘Reset Indonesia’

Selasa, 23 Desember 2025 | 04:16

Sarjan Diduga Terima Proyek Ratusan Miliar dari Bupati Bekasi Sebelum Ade Kuswara

Jumat, 26 Desember 2025 | 14:06

Adik Kakak di Bekasi Ketiban Rezeki OTT KPK

Senin, 22 Desember 2025 | 17:57

8 Jenderal TNI AD Pensiun Jelang Pergantian Tahun 2026, Ini Daftarnya

Rabu, 24 Desember 2025 | 21:17

Ketika Kebenaran Nasib Buruh Migran Dianggap Ancaman

Sabtu, 20 Desember 2025 | 12:33

UPDATE

Program Belanja Dikebut, Pemerintah Kejar Transaksi Rp110 Triliun

Sabtu, 27 Desember 2025 | 08:07

OJK Ingatkan Risiko Tinggi di Asuransi Kredit

Sabtu, 27 Desember 2025 | 07:48

Australia Dukung Serangan Udara AS terhadap ISIS di Nigeria

Sabtu, 27 Desember 2025 | 07:32

Libur Natal Pangkas Hari Perdagangan, Nilai Transaksi BEI Turun Tajam

Sabtu, 27 Desember 2025 | 07:17

Israel Pecat Tentara Cadangan yang Tabrak Warga Palestina saat Shalat

Sabtu, 27 Desember 2025 | 07:03

Barzakh itu Indah

Sabtu, 27 Desember 2025 | 06:38

Wagub Babel Hellyana seperti Sendirian

Sabtu, 27 Desember 2025 | 06:21

Banjir Cirebon Cermin Politik Infrastruktur Nasional Rapuh

Sabtu, 27 Desember 2025 | 06:13

Jokowi sedang Balas Dendam terhadap Roy Suryo Cs

Sabtu, 27 Desember 2025 | 06:06

Komdigi Ajak Warga Perkuat Literasi Data Pribadi

Sabtu, 27 Desember 2025 | 05:47

Selengkapnya