Berita

Presiden Amerika Serikat, Joe Biden/Net

Muhammad Najib

Manuver Melingkar Biden Di Timur Tengah

SENIN, 10 MEI 2021 | 14:16 WIB | OLEH: DR. MUHAMMAD NAJIB

TELAH lama Barat mempelajari bagaimana mengalahkan umat Islam yang dipimpin Turki Usmani, yang menguasai wilayah mereka mulai Eropa Timur sampai Eropa Tengah yang dikenal dengan sebutan Balkan.

Mereka kemudian mendapatkan kesimpulan bahwa kekuatan umat Islam terletak pada persatuannya. Karena itu, untuk mengalahkannya harus dipecah terlebih dahulu.

Berangkat dari tesis inilah, kemudian Inggris mengirim seorang intel bernama T. E. Lawrence yang kemudian dikenal dengan nama Lawrence of Arabia ke Hijaz (kini bagian dari Saudi Arabia) dan Syam (kini masuk wilayah Suriah, Yordania, dan Lebanon).

Lawrence kemudian menemui suku-suku Arab yang hidup di padang pasir sepanjang wilayah ini, mengingatkan para kepala suku bahwa bangsanya sedang dijajah oleh bangsa Turki.

Kemudian meyakinkan mereka bahwa jika bangsa Arab merdeka maka nasibnya akan lebih baik. Sebagai bentuk dukungan, Inggris kemudian menawarkan dan memberikan bantuan berupa senjata dan uang.

Sejarah kemudian mencatat, meletusnya pemberontakan bangsa Arab dimulai dari wilayah yang dikunjungi Lawrence, menjadi salah satu kunci kekalahan Turki Usmani menghadapi Sekutu yang dipimpin oleh Inggris dan Perancis dalam Perang Dunia Pertama.

Pemberontakan bangsa Arab yang menjaga dua kota suci umat Islam yang juga meneriakkan: "Allahu Akbar", mengakibatkan seruan jihad yang dikumandangkan dari Istanbul tidak bergema di dunia Islam.

Inggris dan Perancis yang keluar sebagai memenangkan perang, untuk tetap bisa mengendalikan Timur Tengah, kemudian memecah-mecah dunia Islam yang membentang luas dari Eropa, Afrika, dan Asia menjadi negara bangsa yang kecil-kecil.

Setelah itu, memainkan politik belah-bambu, dimana sebagian diinjak dan bagian yang lainnya ditarik dengan menggunakan instrumen steak and carrot, yakni yang kooperatif diberikan bantuan sedangkan yang tidak kooperatif diberi berbagai bentuk sanksi.

Pasca Perang Dunia Kedua, yang dimenangkan oleh Sekutu yang dipimpin oleh Amerika, Washington melanjutkan pola ini.

Tesis yang sama kemudian dikembangkan Washington untuk keperluan sebaliknya.

Dunia Islam dipersatukan ketika kekuatannya diperlukan. Jurus ini pernah dipraktikan ketika Amerika bersama NATO mengalahkan Uni Soviet. Umat Islam disatukan dengan isu melawan komunis ateis yang dimotori oleh Rusia yang menindas umat Islam di Afghanistan.

Para mujahidin dari seluruh penjuru dunia kemudian terpanggil untuk berjuang di medan perang Afghanistan. Dengan biaya murah dan tanpa korban nyawa tentara Amerika atau negara-negara yang tergabung dalam NATO, Uni Soviet dikalahkan bahkan kemudian bubar.

Di bawah Joe Biden, kini Washington berusaha mempersatukan kembali dunia Islam. Banyak indikator yang menunjukkan hal ini, salah satu yang cukup menonjol terlihat nyata pada pertemuan para petinggi Saudi Arabia dan Iran di Bagdad, Irak, yang dimediasi Perdana Mentri Irak Mustafa Al Khadimi.

Tanpa dukungan Washington, dua negara penting di kawasan Timur Tengah yang bermusuhan selama bertahun-tahun ini mustahil bisa terwujud.

Pada saat bersamaan, Amerika terus mendengungkan terjadinya penodaan agama Islam dan pelanggaran HAM terhadap suku Uighur. Hal ini harus dibaca sebagai bagian dari instrumen untuk menyatukan dunia Islam sekaligus manuver politik untuk memojokkan China.

Jika para petinggi di Tiongkok jeli, maka Beijing tidak akan membiarkan isu tentang Uighur terus digoreng. Masalah etnis Uighur segera diselesaikan, sehingga ia tidak bergema di dunia Islam.

Jika hal ini terlambat dilakukan, maka bukan mustahil fenomena Afghanistan akan terulang. Washington yang kini sedang menggiring dunia Islam  yang diarahkan ke Tiongkok, tentu akan mendapatkan dukungan semakin luas.

Penulis adalah pengamat politik Islam dan demokrasi.

Populer

Bangun PIK 2, ASG Setor Pajak 50 Triliun dan Serap 200 Ribu Tenaga Kerja

Senin, 27 Januari 2025 | 02:16

Gara-gara Tertawa di Samping Gus Miftah, KH Usman Ali Kehilangan 40 Job Ceramah

Minggu, 26 Januari 2025 | 10:03

Viral, Kurs Dolar Anjlok ke Rp8.170, Prabowo Effect?

Sabtu, 01 Februari 2025 | 18:05

KPK Akan Digugat Buntut Mandeknya Penanganan Dugaan Korupsi Jampidsus Febrie Adriansyah

Kamis, 23 Januari 2025 | 20:17

Prabowo Harus Ganti Bahlil hingga Satryo Brodjonegoro

Minggu, 26 Januari 2025 | 09:14

Datangi Bareskrim, Petrus Selestinus Minta Kliennya Segera Dibebaskan

Jumat, 24 Januari 2025 | 16:21

Masyarakat Baru Sadar Jokowi Wariskan Kerusakan Bangsa

Senin, 27 Januari 2025 | 14:00

UPDATE

Melalui Rembug Ngopeni Ngelakoni, Luthfi-Yasin Siap Bangun Jateng

Minggu, 02 Februari 2025 | 05:21

PCNU Bandar Lampung Didorong Jadi Panutan Daerah Lain

Minggu, 02 Februari 2025 | 04:58

Jawa Timur Berstatus Darurat PMK

Minggu, 02 Februari 2025 | 04:30

Dituding Korupsi, Kuwu Wanasaba Kidul Didemo Ratusan Warga

Minggu, 02 Februari 2025 | 03:58

Pelantikan Gubernur Lampung Diundur, Rahmat Mirzani Djausal: Tidak Masalah

Minggu, 02 Februari 2025 | 03:31

Ketua Gerindra Banjarnegara Laporkan Akun TikTok LPKSM

Minggu, 02 Februari 2025 | 02:57

Isi Garasi Raffi Ahmad Tembus Rp55 Miliar, Koleksi Menteri Terkaya jadi Biasa Saja

Minggu, 02 Februari 2025 | 02:39

Ahli Kesehatan Minta Pemerintah Dukung Penelitian Produk Tembakau Alternatif

Minggu, 02 Februari 2025 | 02:18

Heboh Penahanan Ijazah, BMPS Minta Pemerintah Alokasikan Anggaran Khusus Sekolah Swasta

Minggu, 02 Februari 2025 | 01:58

Kecewa Bekas Bupati Probolinggo Dituntut Ringan, LIRA Jatim: Ada Apa dengan Ketua KPK yang Baru?

Minggu, 02 Februari 2025 | 01:42

Selengkapnya