Presiden Amerika Serikat, Joe Biden/Net
TELAH lama Barat mempelajari bagaimana mengalahkan umat Islam yang dipimpin Turki Usmani, yang menguasai wilayah mereka mulai Eropa Timur sampai Eropa Tengah yang dikenal dengan sebutan Balkan.
Mereka kemudian mendapatkan kesimpulan bahwa kekuatan umat Islam terletak pada persatuannya. Karena itu, untuk mengalahkannya harus dipecah terlebih dahulu.
Berangkat dari tesis inilah, kemudian Inggris mengirim seorang intel bernama T. E. Lawrence yang kemudian dikenal dengan nama Lawrence of Arabia ke Hijaz (kini bagian dari Saudi Arabia) dan Syam (kini masuk wilayah Suriah, Yordania, dan Lebanon).
Lawrence kemudian menemui suku-suku Arab yang hidup di padang pasir sepanjang wilayah ini, mengingatkan para kepala suku bahwa bangsanya sedang dijajah oleh bangsa Turki.
Kemudian meyakinkan mereka bahwa jika bangsa Arab merdeka maka nasibnya akan lebih baik. Sebagai bentuk dukungan, Inggris kemudian menawarkan dan memberikan bantuan berupa senjata dan uang.
Sejarah kemudian mencatat, meletusnya pemberontakan bangsa Arab dimulai dari wilayah yang dikunjungi Lawrence, menjadi salah satu kunci kekalahan Turki Usmani menghadapi Sekutu yang dipimpin oleh Inggris dan Perancis dalam Perang Dunia Pertama.
Pemberontakan bangsa Arab yang menjaga dua kota suci umat Islam yang juga meneriakkan: "Allahu Akbar", mengakibatkan seruan jihad yang dikumandangkan dari Istanbul tidak bergema di dunia Islam.
Inggris dan Perancis yang keluar sebagai memenangkan perang, untuk tetap bisa mengendalikan Timur Tengah, kemudian memecah-mecah dunia Islam yang membentang luas dari Eropa, Afrika, dan Asia menjadi negara bangsa yang kecil-kecil.
Setelah itu, memainkan politik belah-bambu, dimana sebagian diinjak dan bagian yang lainnya ditarik dengan menggunakan instrumen
steak and carrot, yakni yang kooperatif diberikan bantuan sedangkan yang tidak kooperatif diberi berbagai bentuk sanksi.
Pasca Perang Dunia Kedua, yang dimenangkan oleh Sekutu yang dipimpin oleh Amerika, Washington melanjutkan pola ini.
Tesis yang sama kemudian dikembangkan Washington untuk keperluan sebaliknya.
Dunia Islam dipersatukan ketika kekuatannya diperlukan. Jurus ini pernah dipraktikan ketika Amerika bersama NATO mengalahkan Uni Soviet. Umat Islam disatukan dengan isu melawan komunis ateis yang dimotori oleh Rusia yang menindas umat Islam di Afghanistan.
Para mujahidin dari seluruh penjuru dunia kemudian terpanggil untuk berjuang di medan perang Afghanistan. Dengan biaya murah dan tanpa korban nyawa tentara Amerika atau negara-negara yang tergabung dalam NATO, Uni Soviet dikalahkan bahkan kemudian bubar.
Di bawah Joe Biden, kini Washington berusaha mempersatukan kembali dunia Islam. Banyak indikator yang menunjukkan hal ini, salah satu yang cukup menonjol terlihat nyata pada pertemuan para petinggi Saudi Arabia dan Iran di Bagdad, Irak, yang dimediasi Perdana Mentri Irak Mustafa Al Khadimi.
Tanpa dukungan Washington, dua negara penting di kawasan Timur Tengah yang bermusuhan selama bertahun-tahun ini mustahil bisa terwujud.
Pada saat bersamaan, Amerika terus mendengungkan terjadinya penodaan agama Islam dan pelanggaran HAM terhadap suku Uighur. Hal ini harus dibaca sebagai bagian dari instrumen untuk menyatukan dunia Islam sekaligus manuver politik untuk memojokkan China.
Jika para petinggi di Tiongkok jeli, maka Beijing tidak akan membiarkan isu tentang Uighur terus digoreng. Masalah etnis Uighur segera diselesaikan, sehingga ia tidak bergema di dunia Islam.
Jika hal ini terlambat dilakukan, maka bukan mustahil fenomena Afghanistan akan terulang. Washington yang kini sedang menggiring dunia Islam yang diarahkan ke Tiongkok, tentu akan mendapatkan dukungan semakin luas.
Penulis adalah pengamat politik Islam dan demokrasi.