Militer di Myanmar pasca kudeta/Net
Seorang ahli hukum Tiongkok memperingatkan agar perusahaan China yang beroperasi di Myanmar mewaspadai risiko kontrak dan gagal bayar, di tengah pergolakan politik pasca kudeta militer pekan lalu.
Peringatan itu datang dari seorang pengacara China yang berbasis di Myanmar pada Jumat (5/2) kepada Global Times. Dia mengatakan, perusahaan China perlu memperhatikan risiko dari situasi politik, serta perjanjian hukum dan komersial serta implementasi kebijakan.
“Kegagalan pemerintah (Myanmar) adalah risiko besar, terutama untuk proyek-proyek besar dan strategis di berbagai sektor termasuk transportasi dan energi,†kata pengacara yang tidak mau disebutkan namanya itu.
"Risiko default atau kelalaian yang menyebar ke pihak rekanan juga harus dipantau secara ketat," ujarnya.
Dia mengatakan, adanya ketidakpastian perombakan pemerintahan di masa depan, mungkin akan berdampak pada proyek yang didukung China di negara tersebut.
Namun, menurutnya, perusahaan China dapat mencari perlindungan dari perjanjian yang melindungi investasi mereka, jika nantinya terjadi keadaan darurat dan dapat mencari arbitrase internasional jika mereka menghadapi penyitaan ilegal atas properti mereka.
Sejumlah perusahaan China yang beroperasi di Myanmar mengatakan, mereka sedang mencermati situasi saat ini.
Bisnis China tumbuh subur di negara Asia Tenggara itu, berkat upaya luar biasa yang telah dilakukan untuk mengembangkan Koridor Ekonomi China-Myanmar, yang mencakup berbagai proyek infrastruktur yang memungkinkan peningkatan konektivitas antara kedua negara.
Pengacara tersebut mendesak perusahaan China untuk mematuhi hukum dan peraturan setempat mengingat situasi yang kompleks.
Tentara telah mengambilalih kekuasaan dengan melakukan kudeta pada Senin (1/2), sekaligus menahan Presiden Win Myint dan Pemimpin De Facto Myanmar Aung San Suu Kyi, bersama sejumlah petinggi partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) lainnya.