Politisi Partai Demokrat, Rachland Nashidik/Net
Kasus penembakan berujung tewasnya enam laskar Front Pembela Islam (FPI) bisa dibawa ke Komisi Hak Asasi Manusia (HAM) Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB).
Politisi Partai Demokrat, Rachland Nashidik menyebutkan, peluang itu terbuka karena Indonesia sudah meratifikasi Convention against Torture atau Konvensi Anti Penyiksaan melalui UU 5/1998.
"Bila ada bukti kuat, 6 warga sipil yang ditembak mati itu mengalami penyiksaan, hal tersebut bisa dilaporkan pada sidang Komisi HAM PBB di Geneva," ujar Rachlan di akun Twitternya, Minggu (20/12).
Hanya saja, dikatakan Rachland, Komisi HAM PBB tidak menerima aduan berdasarkan individu. Hal ini dikarenakan ratifikasi Indonesia atas
International Covenant on Civil and Political Rights tidak meliputi opsi pertama kovenan yang mengatur hak setiap orang untuk mengadu.
"Sidang Komisi HAM PBB di Geneva juga tidak menerima
individual complaint. Ini adalah sidang untuk menerima laporan pemenuhan HAM dari masing-masing negara anggota. Pesertanya, tentu saja, negara-negara," jelasnya.
Namun demikian, lanjutnya, ada yang mekanisme "
intervention". Yaitu kewenangan yang diberikan Komisi HAM PBB kepada organisasi non pemerintah yang sudah terakreditasi.
Salah satu yang bisa dipakai dalam kasus enam laskar FPI itu, kata Rachland, adalah melalui saluran pengaduan Amnesty Internasional yang memang menjadi bagian akreditasi Komisi HAM PBB.
"
Office of the High Comissioner for Human Rights adalah peserta sidang Komisi HAM PBB. Jadi, bila laporan penyiksaan disampaikan pada sidang ini, akan menarik perhatian
High Commisioner. Bila sidang diyakinkan RI melanggar Konvensi Anti Penyiksaan, bisa dibuat penyelidikan," terangnya.
"Memang prosesnya tidak mudah dan panjang. Negara-negara lain harus menyetujui inisiatif penyelidikan yang biasanya ditugaskan pada
Special Rapporteur PBB. Namun, bila pun RI berhasil menjegal inisiatif ini, sebagai ganti, RI wajib menyelesaikan kasus sesuai standar HAM PBB," pungkasnya.